Senin, 19 Maret 2018

UU MD3 dan Akrobat Politik Jokowi

UU MD3 dan Akrobat Politik Jokowi
Muhammad Yahdi Salampessy  ;   Dosen Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
                                                  KORAN SINDO, 16 Maret 2018



                                                           
Per­ubah­an Kedua atas Undang-Undang No 17 Ta­hun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) telah res­mi diberi nomor oleh p­e­m­e­rin­tah, yak­ni Undang-Undang No 2 Ta­hun 2018. Penomoran UU MD3 ter­­se­but langsung m­e­nuai ber­ba­gai kecaman dari ber­ba­gai ele­men masyarakat ka­re­na dinilai da­­pat mencederai demokrasi.

Sejumlah aksi penolakan atas UU MD3 ramai dilakukan di sejumlah daerah. Masyarakat ra­mai mencibir dan menyindir undang-undang tersebut m­el­a­lui media sosial. Bahkan ma­sya­ra­kat juga menyebar petisi pe­no­lakan atas UU MD3.

Pada saat yang bersamaan, su­­dah ada permohonan uji m­a­te­­ri UU MD3 di Mahkamah Kons­ti­tusi (MK). Hingga kini ada tiga pe­mohon uji materi UU MD3 yang teregister di MK. Ke­ti­ganya ya­itu Partai Solidaritas In­donesia (PSI), Forum Kajian Hu­kum Kons­titusi (FKHK), dan pe­mo­hon perseorangan war­na negara atas nama Zico Leo­nard Dj­a­gar­do dan Joshua Sa­tria Collins.

Akibat Hukum Penolakan Presiden
 
Kontroversi UU MD3 men­do­rong Presiden Joko Widodo (Jo­kowi) untuk tidak me­nan­da­ta­ngani UU tersebut. Padahal UU MD3 tersebut telah dibahas ber­sa­ma antara DPR dan p­e­me­rin­tah serta telah mendapatkan per­se­t­ujuan bersama. Per­se­tu­ju­an ber­sama itu menjadi pe­nan­da UU MD3 telah disepakati dan di­te­ri­ma dengan segala ma­t­e­ri muatan yang terkandung di dalamnya.

Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 meng­atur bahwa setiap ran­cang­an undang-undang d­i­ba­has oleh Dewan Perwakilan Rak­yat dan Presiden untuk menda­pat persetujuan ber­sa­ma. Se­lan­jut­nya Pasal 20 ayat (4) meng­atur presiden menge­sah­kan ran­cangan undang-undang yang telah disetujui ber­s­ama un­tuk menjadi undang-undang.

Merujuk pada Pasal 20 ayat (2) dan (4) UUD 1945 tersebut, pe­merintah yang dipimpin Pre­si­den seakan mengamini se­lu­ruh ketentuan pasal yang ada di da­lam UU MD3. Lalu kenapa hing­ga detik-detik terakhir Pre­si­den mengambil sikap men­o­lak untuk menandatangani UU MD3?

Padahal mengacu pada Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pem­ben­tukan Peraturan Per­undang-undangan (UU P3), sebuah RUU di­sahkan oleh Pre­si­den dengan mem­bubuhkan tan­­da tangan da­lam jangka wak­­tu paling lama 30 (tiga pu­luh) hari terhitung sejak RUU ter­sebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.

Menjadi pertanyaan adalah, apakah tidak ditan­da­ta­ngani­nya sebuah RUU membawa dam­­pak hukum yang berarti ter­ha­dap RUU tersebut? Jawaban­nya tidak. Tidak adanya tan­da ta­ngan Presiden tidak mem­b­awa dam­pak hukum apa pun ka­rena pa­da saat sebuah RUU su­dah d­i­se­pakati bersama oleh DPR dan Pre­siden, secara oto­ma­tis ber­arti Presiden dianggap te­lah se­tu­ju terhadap seluruh ke­tentuan pa­sal yang ter­kan­dung dalam undang-undang ter­sebut.

Akrobat Politik Jokowi
 
Sikap Presiden yang tidak me­nan­datangani UU MD3 se­sung­gu­h­nya menghadirkan se­jum­lah per­tanyaan. Apakah ini me­ru­pa­kan akrobat politik Pre­si­d­en Jo­ko­wi di tahun politik? Pre­siden se­olah tidak ingin ke­hi­langan mu­ka dan dukungan pub­lik di te­ngah maraknya dan gen­carnya kri­­tik terhadap UU MD3.

Kendati secara politik sikap Pre­siden dapat dipahami, sec­a­ra hukum apa yang dilakukan Pre­siden tersebut menciptakan se­buah anomali hukum. Dalam lo­gika sederhana, Presiden de­ngan jelas mengetahui dan ter­li­bat dalam proes pembuatan UU MD3 dari awal sampai akhir pem­b­ahasan sampai undang-undang tersebut pada akhirnya men­dapatkan persetujuan ber­sa­ma DPR dan Presiden.

Jika Presiden selaku pe­me­gang kekuasaan pemerintahan ti­dak setuju dengan materi muat­an yang terkandung da­lam revisi UU MD3, seharusnya pe­nolakan Presiden dilakukan da­lam fase pembahasan dan/ atau persetujuan bersama DPR. De­ngan demikian tidak dapat di­benarkan secara etis hukum ke­tika suatu RUU yang sudah men­dapatkan persetujuan ber­sa­ma dalam sidang, kemudian ti­d­ak ditandatangani atau tidak di­sahkan Presiden.

Sikap “me­no­lak” yang saat ini dilakukan Pre­siden terkesan bak pah­la­wan kesiangan karena toh  nasi te­lah menjadi bubur. UU MD3 te­lah disahkan dan tidak adanya tan­da tangan dari Presiden ti­dak berarti apa-apa.
Fenomena tersebut juga da­pat ditangkap sebagai indikasi bu­­ru­knya komunikasi antara Pre­siden dan pejabat yang d­i­tun­juk untuk membahas UU MD3 bersama DPR pada saat sidang.
Pertaruhan di 2019
 
Polemik UU MD3 bagai se­buah panggung pertunjukan dan pemerintah terkesan m­e­main­kan dua peran. Demi me­nye­­lamatkan muka pe­me­rin­tah di hadapan publik, Presiden ke­mudian mengambil langkah un­tuk tidak mengesahkan UU MD3 dalam bentuk tidak mem­bu­buhkan tanda tangannya.

Menghadapi tahun politik di 2019 nanti disinyalir kuat men­ja­di alasan Jokowi untuk men­da­patkan apresiasi publik. Ele­k­ta­bilitas Jokowi tentu harus di­ja­ga dan dikawal.

Bagai panggung sandiwara, Jo­kowi terlihat enggan untuk ber­hadapan langsung dengan pub­lik sehingga mengambil si­kap seolah menolak UU MD3. Pa­dahal, dalam kacamata Pasal 20, ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan UU P3, sebuah undang-undang tidak akan disahkan tan­pa adanya persetujuan ber­sa­ma antara DPR dengan Presiden.

Di sisi yang lain, ter­li­hat Pre­s­i­­den juga tidak ingin me­la­ku­kan perang terbuka dengan DPR. Hal ini setidaknya terlihat da­ri pilih­an Presiden yang ti­dak akan me­ner­bitkan Per­aturan Pe­merintah Peng­­ganti Undang-Undang (Per­ppu) un­tuk me­revisi dan/atu meng­­ha­­pus beberapa ke­ten­tu­an Pa­sal da­lam UU MD3 yang dinilai men­­cederai hak kons­ti­tu­sio­nal warga negara.

Fakta di atas menunjukkan Pre­­siden tidak serius dan se­pe­nuh hati menolak UU MD3. Pre­si­d­en terlihat sungkan head to head  de­ngan kepen­ting­an par­tai yang be­gitu do­mi­nan dalam UU MD3.

Pe­­nerbitan perppu juga d­i­si­nya­lir dapat memunculkan sua­tu kegaduhan hukum, te­ta­pi perppu juga dipandang se­ba­gai sikap tegas Presiden Jokowi dalam menolak sebagian Pa­sal UU MD3 yang sangat arogan.

Penerbitan perppu dapat di­anggap sebagai cara Pe­me­rin­tah untuk mencari jalan te­ngah dan cepat untuk meng­atasi polemik UU MD3, walau te­tap harus melalui per­se­tu­ju­an DPR jika ingin diterima ­se­ba­gai Undang-Undang. Tidak pas­ti, ta­pi cukup un­tuk me­nun­jukkan ke­se­rius­an Presi­den untuk meng­atasi per­­soal­an atas ha­dir­nya UU MD3.

Hal ini pernah di­la­ku­kan Pre­siden SBY ketika me­n­er­bit­kan Per­ppu No 1 Ta­hun 2014 ten­tang Pem­ilihan Gu­bernur, Bu­pati, dan Wali Kota.
Berkaca dari sikap SBY itu, ha­­rusnya perppu bisa menjadi sa­­lah satu pilihan guna me­ne­gak­­kan demokrasi di Bumi Per­ti­wi.

Perppu bisa menjadi sa­lah s­a­tu cara bagi peme­rin­tah un­tuk me­nunjukkan ke­se­riu­s­an da­lam me­nyikapi UU MD3 yang b­e­gitu me­nyita per­ha­tian publik. Na­mun ­pe­me­rin­­tah melalui Pre­si­den Jok­o­w­i harus me­nim­bang dan ber­hi­tung dengan ce­pat dan ce­r­­mat apakah meng­ambil sikap m­e­­nerbitkan per­ppu atau te­tap ber­tahan untuk ti­d­ak me­ner­bit­kan perppu se­lain mengusulkan agar publik meng­ajukan uji m­a­te­­ri UU MD3 ke MK.

Apa pun pilihan finalnya nan­ti, publik berharap ini bu­kan bagian dari skenario dan akrobat politik menuju Pil­pres 2019. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar