Momentum
Pendidikan Politik
Listiyono Santoso ; Staf Pengajar Mata Kuliah Etika dan Filsafat
di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Airlangga Surabaya
|
JAWA
POS, 03 Maret 2018
TAHAPAN pilkada serentak
2018 sudah memasuki masa kampanye. Kontestan pilkada sudah berikrar kampanye
damai. Sebagai bagian penting membangun kehidupan berdemokrasi, kampanye
pilkada memang harus dijauhkan dari perilaku dan kegiatan yang
kontraproduktif dengan tujuan luhur tersebut.
Kampanye dalam setiap
pilkada sesungguhnya menjadi ruang belajar berdemokrasi yang berkeadaban.
Kampanye menjadi “ajang” bagi calon kepala daerah untuk menyosialisasikan
program-program kerjanya. Melalui kegiatan itu, para calon tidak sekadar
belajar membangun citra, tapi juga menunjukkan otoritas politik yang
dimiliki. Mereka harus optimal membuktikan bahwa dirinya pantas dan layak
dipilih menjadi kepala daerah. Bagi pemilih, kampanye harus dijadikan sebagai
tahapan untuk mencermati calon yang berkualitas atau sebaliknya.
Sebagai pemilih, kita
harus belajar dari proses pemilihan yang terdahulu. Beberapa kali proses
pilkada berjalan, dalam kenyataan, belum cukup mampu menghasilkan kepala
daerah yang berkualitas. Alih-alih memimpin dengan cara demokratis dan
berkeadilan, justru banyak yang di kemudian hari menjadi tersangka kasus
korupsi. Fenomena tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap
sejumlah kepala daerah belakangan ini merupakan realitas betapa pilkada belum
menjadi “arena” rekrutmen kepemimpinan berkualitas.
Rakyat tidak boleh
melakukan kesalahan yang sama dengan membiarkan terpilihnya orang-orang yang
tidak bermutu. Yang hanya mengandalkan popularitas atau modal finansial. Yang
tiba-tiba muncul sebagai calon tanpa pernah punya track record jelas yang
layak untuk dipilih. Rakyat juga harus cermat menentukan pilihan karena
pilihannya sangat menentukan kehidupan kebangsaan demokrasi di tingkat lokal.
Kepala daerah yang
terpilih harus memiliki otoritas politik, kualitas personal maupun komunal,
serta memiliki komitmen pengabdian. Mengapa demikian? Sebab, menjadi kepala
daerah bukanlah tempat orang mencari pekerjaan yang kemudian berlimpah akses
untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan, yang kemudian dibagi-bagi kepada
tim suksesnya.
Selayaknya kita memang
pantas mengapresiasi seseorang yang sudah menentukan pilihannya menjadi
(calon) kepala daerah. Menjadi kepala daerah sesungguhnya pilihan hidup yang
mulia karena di dalamnya bersembunyi keinginan luhur mengabdikan segenap
kemampuan demi kepentingan publik.
Pemilih
yang Cerdas
Itulah sebabnya, pilkada
2018 harus menjadikan rakyat sebagai subjek politik yang berdaulat dan
menentukan. Rakyat tidak boleh hanya menjadi pemilih yang pasif. Yang hanya
dijadikan alat legitimasi dan mobilisasi politik semata. Yang berguna saat
pemilihan setelah itu nasibnya dilupakan. Sebagai subjek politik, rakyat
harus memberdayakan diri dengan memilih secara cerdas.
Rakyat tidak boleh
menentukan pilihannya hanya atas dasar uang, popularitas, “tubuh”, kerabat
sendiri, atau hal lain yang tidak berhubungan dengan kualitas berpolitik.
Moralitas politik kita tidak boleh direduksi hanya dengan iming-iming materi
berupa politik uang atau jabatan. Moralitas politik kita adalah moralitas
publik untuk kepentingan kehidupan berdemokrasi yang berinti pada nilai
keadilan, nilai kebenaran, dan nilai kemanusiaan.
Sebagai bagian dari proses
berdemokrasi, pilkada menjadi ajang bagi rakyat Indonesia belajar tentang
bagaimana memaknai politik. Sebagai subjek politik, (pilihan) rakyat sangat
menentukan dinamisme politik kebangsaan masa depan. Sudah saatnya rakyat
menjadi pemilih yang bertanggung jawab, tidak hanya secara politik, tapi juga
bertanggung jawab secara moral. Sebab, kita tidak sedang mencarikan pekerjaan
bagi seseorang sebagai kepala daerah. Tetapi, kita akan memilih “pemimpin”
yang diharapkan memiliki kemampuan mengelola ”kehidupan bersama” menjadi
lebih baik.
Pemilih yang bertanggung
jawab tidaklah sekadar memilih, tapi juga bertanggung jawab atas pilihannya.
Pertama, pemilih yang paham betul rekam jejak siapa yang akan dipilihnya
selama ini agar jangan memilih “kucing hitam dalam karung”. Pemilih yang
berproses dalam menentukan pilihannya tidak sekadar ikut-ikutan.
Kedua, menentukan pilihan
atas dasar kualitas dan otoritas politik calon kepala daerah bukan pada isu
kekerabatan, isu agama, apalagi sejumlah uang yang diberikan. Ketiga, saat
ini hampir tidak ada calon kepala daerah yang diusung parpol dengan semangat
ideologis. Karena itu, sebaiknya tentukan pilihan pada seorang calon yang
sejak awal punya track record ideologis yang kuat dan berkomitmen mengabdi
secara ikhlas. Jangan pilih calon yang menjadikan dunia politik sekadar
sebagai batu loncatan mendapatkan limpahan harta benda atau akses kekuasaan
untuk menguasai sumber daya bagi kepentingan sendiri. Bukankah kita sudah
jelas mendapat fakta betapa banyak elite politik kita yang menjadikan
kekuasaan tidak sebagai amanah, tapi sebagai berkah mendapatkan keuntungan
material dari apa yang dikuasainya.
Saatnya kita menjadi
pemilih yang cerdas. Pemilih yang berproses dalam memilih serta mampu
mengawal dan mengawasi proses pilihannya agar tetap berada pada koridor
berpolitik yang berkeadaban. Jangan sampai “salah di tingkat hulu, berakhir
fatal di tingkat hilir”. Salah menentukan pilihan di awal berakibat fatal
bagi masa depan keindonesiaan kita. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp
BalasHapus