Trump
dan Globalisasi Baru
Mari Pangestu ; Profesor Ekonomi Internasional
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 02 Mei 2017
Baru saja
Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence mengunjungi Indonesia. Salah satu
hal yang disepakati setelah pertemuan dengan Presiden Jokowi adalah
kesepakatan untuk bagaimana pengaturan perdagangan dan investasi bilateral
berdasarkan prinsip saling menguntungkan (win-win solution).
Namun,
memaknakan prinsip tersebut sementara ini dari kacamata AS sepertinya masih
diwarnai proteksionisme ala Presiden AS Donald Trump dalam arti pengaturan
perdagangan internasional yang terbuka, tetapi adil, dan akses untuk
perusahaan-perusahaan AS.
Defisit
perdagangan dan globalisasi yang tidak adil selama ini dianggap penyebab
pengangguran untuk berbagai jenis pekerjaan dan sektor, pendapatan kelas
menengah AS yang stagnan selama 20 tahun terakhir, dan semua ini merugikan
AS. Maka pendekatan AS saat ini adalah bagaimana menurunkan defisit
perdagangan barang yang besar dan tidak adil dan mencegah
perusahaan-perusahaan AS untuk investasi pabrik-pabrik di luar negeri, yang
memberikan pekerjaan kepada pekerja di negara lain (offshoring).
Neraca
perdagangan jasa-jasa di mana AS mengalami surplus tidak banyak disinggung
maupun kemampuan bersaing yang diperoleh dari perusahaan AS dengan melakukan
offshoring tidak banyak disinggung.
Executive
Order (EO) yang baru dikeluarkan akhir Maret akan melakukan investigasi
terhadap 16 negara di mana AS mempunyai defisit perdagangan barang, termasuk
Indonesia di peringkat ke-15 dan direncanakan akan menerapkan pembatasan
impor untuk menghadapi perdagangan yang tidak adil. Saat ini pun beberapa
produk Indonesia seperti kertas, udang, dan pelat besi baja sudah dikenakan
bea masuk anti dumping dan countervailing duty, dan sedang ada petisi
terhadap biodiesel Indonesia. Sementara Indonesia tidak ada kasus terhadap
AS.
Fokus
pendekatan fair trade AS sesungguhnya bertentangan dengan proses globalisasi
yang berjalan maupun new globalization yang akan lebih cepat lagi berada di
tengah-tengah kita, di mana perdagangan jasa dan pergerakan pengetahuan
(knowledge) jadi keniscayaan. Justru kebijakan fair trade yang akan
dijalankan tak akan menghasilkan solusi win-win, apalagi dalam konteks new
globalization, dan bahkan akan merugikan AS.
Globalisasi, revolusi teknologi, dan "new
globalization"
Sejak kata
globalisasi mulai dipopulerkan awal 1980-an, diskusi mengenai proses global
ini tak pernah berhenti. Tetapi, kelihatannya pemahaman mengenai globalisasi
ini masih harus terus diperbarui. Terbukti kita masih terguncang ketika
fenomena Brexit mengemuka dan Presiden Trump dengan retorika anti
globalisasinya menjadi pilihan rakyat AS.
Dalam bukunya,
The Great Convergence: Information Technology and the New Globalization,
Richard Baldwin percaya bahwa untuk mengerti implikasi dari proses
globalisasi yang terjadi saat ini, kita harus melihatnya sebagai bagian dari
proses yang berlangsung sejak ribuan tahun lalu ketika manusia memulai
aktivitas produksi dan perdagangan.
Baldwin-memberikan
kuliah umum di Panglaykim Memorial Lecture di CSIS, Jakarta, 2 Mei
2017-membagi sejarah produksi ekonomi dan perdagangan hingga hari ini ke
dalam tiga periode. Periode pertama adalah ketika produksi dan konsumsi harus
berada pada suatu tempat, di mana perdagangan sangatlah terbatas disebabkan
tingginya biaya transportasi. Periode kedua adalah globalisasi gelombang
pertama yang ditandai meningkatnya perdagangan barang sejak abad ke-19 karena
revolusi teknologi yang mampu menurunkan biaya produksi dan transportasi
dengan temuan mesin uap.
Produksi,
pengetahuan, dan inovasi tetap di negara-negara yang akhirnya jadi negara
"maju" melalui industrialisasi dan peningkatan pesat dari
pendapatan yang terjadi menyebabkan ketimpangan antara negara
"maju" dan berkembang. Pihak lain yang terkalahkan adalah pekerja
tidak terampil yang tidak bisa bersaing dengan produksi yang menggunakan
tenaga mesin dan produksi secara massal. Tetapi, banyak pihak lain yang
diuntungkan, yaitu tenaga terampil yang mulai muncul, dan terjadinya
spesialisasi keterampilan, inovasi, dan produktivitas yang terus berkembang,
dan konsumen yang dapat mengonsumsi produk yang tak diproduksi di negaranya.
Periode ketiga
terjadi ketika perdagangan semakin didominasi arus pertukaran ide,
pengetahuan dan jasa, yang merupakan bagian dari globalisasi gelombang kedua.
Di sini perdagangan bukan lagi mengenai barang, melainkan lebih dalam bentuk
pekerjaan dan bagian dari proses produksi yang dilakukan offshore atau dikerjakan
di negara lain karena biaya tenaga kerja yang lebih rendah. Globalisasi kedua
sejak tahun 1970-an dimungkinkan karena perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) yang mempermudah pertukaran pengetahuan dan informasi, dan
koordinasi global value chain yang kompleks dan berlokasi di berbagai tempat.
Pada gelombang
kedua globalisasi, pihak yang terkalahkan adalah para pekerja yang sebelumnya
mendapat keuntungan, terutama yang berada di negara maju. Dengan kemajuan
teknologi informasi, tidak hanya barang, tetapi juga pekerjaan dapat
dikirimkan ke luar negeri, khususnya ke negara berkembang. Karena biaya
mengirim orang yang punya pengetahuan masih relatif mahal, terjadi juga
konsentrasi bagian-bagian global value chain di beberapa negara saja dan
sebagian besar di Asia Timur.
Partisipasi
Indonesia dalam GVC tidak tinggi seperti di China atau beberapa negara ASEAN
lain, tetapi Indonesia tetap diuntungkan oleh permintaan komoditas yang
terjadi karena pertumbuhan pesat di Asia Timur. Pekerja dan kelas menengah di
negara-negara yang bisa tumbuh karena produksi offshore dan mengalami
percepatan proses industrialisasi, mengalami pertumbuhan tinggi (sebesar
sekitar 80 persen selama 20 tahun terakhir).
Bagaimana
ceritanya di negara maju? Kelompok yang kehilangan pekerjaan karena
offshoring dan kelompok kelas menengah dan bawah yang pendapatannya stagnan
dalam 20 tahun terakhir inilah yang merasa dirugikan dengan globalisasi.
Mereka adalah target yang ingin diberikan "keadilan" oleh pendekatan
kebijakan Trump saat ini walaupun sesungguhnya penjelasan pengangguran di
level tidak terampil dan padat karya 80 persen karena perubahan teknologi
(seperti otomasi dan robotik) dan hanya 20 persen karena persaingan yang
terjadi melalui perjanjian perdagangan.
Adapun sumber
pengetahuan dan inovasi tetap di negara maju, dan pemiliknya mengalami
peningkatan pendapatan yang besar atau sekitar 70 persen dalam 20 tahun
terakhir ini. Maka terjadi ketimpangan pendapatan di AS. Dengan globalisasi
gelombang kedua, juga terjadi "convergence" pendapatan antara
negara maju dan sedang berkembang (walaupun tidak semua negara sedang
berkembang).
Masa depan globalisasi
Globalisasi
akan terus berlanjut, tetapi dengan wajah berbeda. Baldwin dan banyak pihak
lain memprediksi dunia akan memasuki gelombang ketiga globalisasi dengan
revolusi teknologi yang berikutnya. Digitalisasi dan teknologi akan mengubah
cara produksi barang dan jasa-jasa (misalnya 3-D printing, robotik) dan cara
kita memperdagangkan barang dan jasa-jasa (seperti e-commerce). Biaya
"menghadirkan orang" menjadi lebih murah karena tak perlu terjadi
pergerakan secara fisik. Seperti juga murahnya pengiriman barang dan
pengetahuan telah mendorong globalisasi gelombang pertama dan kedua, maka
globalisasi baru ini akan lebih cepat, lebih mendadak, dan lebih tidak pasti.
Implikasinya terhadap kondisi ekonomi dunia juga akan sangat masif.
Saat ini
kebanyakan kita masih memahami globalisasi seperti pada gelombang pertama di
abad ke-20. Berbagai kebijakan sosial ekonomi juga masih didasarkan pemahaman
lama ini. Akibatnya kita semua kaget ketika implikasinya jauh dari yang
diharapkan, dan berbagai kebijakan yang dibuat untuk mengurangi dampak
negatifnya tak efektif. Padahal, ada paradigma baru proses globalisasi yang
berarti pengambilan kebijakan sosial dan ekonomi harus juga berubah.
Dengan
gelombang globalisasi persaingan terjadi antarpekerja, terutama yang biaya
lebih rendah ditemukan di negara sedang berkembang. Tetapi, pengetahuan dan
inovasi, pekerjaan yang terampil dan intensif ilmu pengetahuan, tetap berada
di negara maju dan perusahaan atau pemilik ilmu pengetahuan tetap dapat
manfaat dengan memproduksi produk yang bersaing dengan biaya lebih rendah
karena kemungkinan offshore dan impor kembali ke AS-untuk menjadi produk final
dengan bagian high-end (high value) seperti penelitian, pengembangan dan
inovasi, dan HAKI maupun brand-tetap di AS.
Dengan
memahami globalisasi yang sudah dan akan terus terjadi, justru jika impor
dibatasi dengan pendekatan Trump saat ini, yang akan dirugikan adalah ekspor
karena impor jadi lebih mahal-daya saing ekspor AS terpengaruh. Selain itu,
biaya produk terkait akan lebih mahal untuk konsumen. Dan, jika bagian
produksi yang bisa dilakukan offshore diminta kembali atau dicegah untuk
keluar, yang terjadi bukan penciptaan lapangan kerja karena pekerjaan yang
direlokasi yang padat karya dan rutin. Kemungkinan besar yang akan terjadi,
penggunaan mesin atau robot untuk menggantikan offshoring.
Maka justru
menyalahkan negara asing yang tak adil dan menolak perjanjian- perjanjian
perdagangan yang ada untuk menolak new globalization yang tak adil akan
merugikan AS dan tak menciptakan lapangan pekerjaan yang diharapkan.
Solusi win-win
adalah globalisasi dan arus perdagangan, investasi, modal, pengetahuan dan
orang yang terjadi akan ada yang rugi dan untung, dan yang penting adalah
mendesain program-program yang mengatasi yang mengalami kerugian-bukan
menolak new globalization. Program seperti melakukan pelatihan ulang, memberi
keterampilan yang lebih sesuai dengan new globalization, diberi dukungan
untuk jadi wirausaha dan dukungan lain yang langsung membantu individu yang
terpengaruh akan lebih tepat. Bukan perlindungan terhadap sektor atau jenis
pekerjaan tertentu.
Memang
kenyataan politik dan keterbatasan anggaran sering kali menghasilkan yang
berbeda, dan instrumen dari old globalization seperti bea masuk dan hambatan
dianggap paling mudah dilaksanakan. Padahal, hasilnya merugikan dan tidak
mengembalikan pekerjaan. Ini solusi lose-lose yang harus dihindari. Semoga AS
dan Trump menyadari hal ini, dan kita di Indonesia juga menyimak dan
mengantisipasi dinamika new globalization. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar