Rabu, 10 Mei 2017

Mewaspadai Infiltrasi Radikalisme dalam Pendidikan

Mewaspadai Infiltrasi Radikalisme dalam Pendidikan
Suhardi Alius  ;   Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
                                               MEDIA INDONESIA, 09 Mei 2017



                                                           
TERORISME beserta aksinya lahir dari hasil proses radikalisasi dari orang per orang ataupun kelompok. Saat ini, terorisme menyelipkan kekerasan secara sistematis untuk mencapai tujuan. Salah satu motifnya ialah dengan menggunakan adagium agama. Hal itu mengakibatkan labelisasi terorisme makin dilekatkan kepada para kelompok radikalisme kanan.

Berbagai propaganda klaim kebenaran berbagai pihak terhadap apa yang terjadi di negara-negara konflik terutama di Timur Tengah hadir di masyarakat kita melalui jejaring media sosial dan internet. Bungkusan agama menjadi narasi propaganda guna mendapatkan dukungan gerakan solidaritas umat.

Selain itu, gerakan ‘khilafah’ yang dilancarkan kelompok radikalisme-terorisme seperti IS telah meme­ngaruhi sebagian masyarakat bahkan menyasar kalangan pendidikan. Mereka yang terpapar terorisme berangkat ke Suriah atau melakukan aksi teror sebagai bentuk amaliah, seperti aksi-aksi penyerangan dan bom bunuh diri.

Gerakan radikalisme hingga terorisme yang mengidentikkan diri dan kelompoknya sebagai pemilik kebenaran tunggal telah merusak tatanan harmonis kehidupan umat manusia. Agama sebagai rahmatan lil alamin tercoreng oleh beragam teror yang tidak berperikemanusiaan.

Infiltrasi radikalisme

Saat ini tidak ada lini yang benar-benar steril dari radikalisme, termasuk dunia pendidikan. Fakta itu dengan beragam pelaku radikal yang berasal dari golongan ekonomi mampu dan berpendidikan cukup, bahkan ada yang sudah bergelar doktor.

Infiltrasi radikalisme dalam dunia pendidikan bukan fenomena baru, telah berlangsung seiring dengan kehadiran kelompok radikal baik ekstrem kanan maupun ekstrim kiri. Meski demikian, radikalisme seakan mendapatkan tempat dari situasi gejolak sosial politik ataupun dari pertentangan kapitalisme global.

Banyak fakta keterkaitan dan persemaian bibit radikalisme di dunia pendidikan, termasuk apa yang ditulis dosen Fakultas Teknik dan Sekolah Pascasarjana UGM Bagas Pujilaksono dalam surat terbuka pada 2 Mei lalu kepada Presiden Jokowi atas keprihatinannya terkait dengan ancaman paham radikal dan anti-Pancasila, tidak saja menguatkan bahwa dunia kampus sangat terbuka dan rentan terhadap penyusupan paham radikalisme.

Ketenteraman masyarakat terusik bukan saja pada akibat serangan fisik yang mengerikan seperti yang pernah terjadi dalam sejumlah aksi teror bom. Namun, serangan nonfisik yang secara masif menyasar pola fikir dan pandangan masyarakat melalui beragam propaganda dan doktrinasi.

Berbagai cara seperti melalui buku, majalah, buletin, dan yang paling masif melalui jejaring internet maupun media sosial. Bahkan intrumen atau media penyebaran didesain dengan pola dan gaya kehidupan kampus demi mendapatkan bibit-bibit baru radikalisme.

Fenomena tersebut membutuhkan perhatian serius dari semua pihak demi menyelamatkan dunia pendidikan dari paham radikal terorisme.

Infiltrasi radikalisme di kampus-kampus perguruan tinggi berpotensi menjadi ancaman baru bagi keutuhan negara kesatuan Indonesia.

Kampus ialah lingkungan belajar strategis bagi generasi muda bangsa. Di pundaknya masa depan bangsa diperta­ruhkan. Kegagalan memahami budaya, sejarah bangsanya, maupun dalam menghadapi gejolak ekonomi politik global akan membawa kedaulatan NKRI ke dalam krisis kedaulatan dan konflik kekerasan yang berujung kepada negara gagal.

Langkah efektif

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah mengupayakan berbagai program dan aksi dalam menangkal dan mencegah paham radikalisme dan terorisme. Disadari bahwa meski BNPT telah menjalin nota kesepahaman dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti), redesain kurikulum pendidikan menyeluruh tentu membutuhkan waktu demi menjaga stabilitas akademis-keilmuan.

Oleh karena itu, diperlukan aksi dan langkah nyata oleh semua pihak dalam mengisi kekosongan dan celah kurikulum pendidikan terhadap infiltrasi radikalisme.

Ada beberapa terobosan ataupun rekomendasi yang dapat dilakukan segera untuk mendeteksi dan mereduksi paham radikal yang mungkin tumbuh dan berkembang di lingkungan kampus.

Pertama, kalangan pendidik/dosen untuk lebih care melihat dinamika anak didiknya agar terhindar dari paham radikalisme. Penguatan nilai-nilai kebangsaan menjadi bahan matrikulasi sebelum mahasiswa memasuki jenjang perkuliahan diperlukan. Namun, hal itu tidak cukup, kalangan pendidik diharapkan dapat memberi pemahaman sepanjang proses kemahasiswaan, misalnya sebagai pengantar awal setiap mata kuliah yang disajikan. Secara teknis pengantar tersebut disampaikan 5 sampai 10 menit yang berisi penguatan wawasan kebangsaan dalam menepis paham radikalisme.

Kedua, kalangan pendidik/do­sen memiliki kualifikasi yang tidak berafiliasi dengan organisasi radikal. Infiltrasi ajaran radikal tidak hanya muncul dari buku ajar, tetapi dari pengajar yang memiliki perspektif radikal. Dosen yang terpapar radikalisme dapat merugikan mahasiswanya melalui ancaman nilai tidak lulus dan lebih berbahaya adalah penyebaran radikalisme melalui pengajaran yang diberikan dosen tersebut.

Ketiga, mahasiswa berperan penting dalam mencegah radikalisme. Kelompok-kelompok kajian dan gerak­an mahasiswa menyadari bahaya dari paham radikalisme dan terorisme dalam bingkai NKRI. Proaktif mengonter berbagai propaganda di media sosial dan internet. Mahasiswa tampil sebagai agen pembaru yang mengedepankan nasionalisme.

Keempat, organisasi-organisasi kemahasiswaan lebih giat mengadakan kegiatan-kegiatan kreatif dan inspiratif di bidang akademis maupun seni budaya dan sosial kemasyarakat­an. Hal itu mencerminkan mahasiswa sebagai agen pembaru yang akan mendorong para mahasiswa untuk berprestasi dan berorganisasi yang dapat menjauhkan dari paham radikalisme.

Kelima, kampus-kampus aktif menggelar stadium general (kuliah umum), seminar, atau pertemuan ilmiah dalam rangka menangkal paham radikalisme dan terorisme. Hal itu akan senantiasa mengingatkan para mahasiswa dan masyarakat sekaligus bentuk kontra radikalisme sehingga setiap orang akan wawas terhadap berbagai propaganda yang mengarah kepada radikalisme dan terorisme.

Keenam, rektor berikut perangkat pembantu-pembantunya bertanggung jawab dan wajib proaktif dalam memonitor dinamika kehidupan kampus dan sekitarnya sebagai langkah preventif dalam mendeteksi tumbuh dan berkembangnya paham radikal serta kegiatan negatif lainnya.

Dengan upaya-upaya di atas, kesadaran bersama di kalangan kampus tidak saja menjaga generasi masa depan dari paham radikalisme, tetapi juga kegiatan-kegiatan itu memberikan kontribusi positif terhadap problem sosial kemasyarakatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar