Menghidupkan
Pilar Literasi
Dian Marta Wijayanti ; PNS
Dinas Pendidikan Kota Semarang;
Mantan Asesor EGRA USAID
Prioritas
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Mei 2017
SELAMA ini gerakan literasi menggaung di
mana-mana. Apalagi, Kemendikbud sejak awal 2017 mengajak masyarakat
menyukseskan gerakan literasi nasional, gerakan literasi sekolah, dan
literasi keluarga. Akan tetapi, pemakaian literasi sekadar membaca, padahal
menurut Phoenix (2017) terbagi atas tiga pilar literasi, yaitu membaca,
menulis, dan pengarsipan. Selain membaca dan menulis, pengarsipan harus
diutamakan, baik dari sisi penulisan, percetakan, maupun penyebaran di
pelosok-pelosok. Tanpa buku, pilar literasi akan pincang karena buku menjadi
'pengikat' ilmu pengetahuan. April dan Mei menjadi momentum menggerakkan
minat baca. Kita merayakan Hari Buku Sedunia (National World Book Day) pada
23 April dan Hari Buku Nasional pada 17 Mei 2017 ini. Momentum ini menjadi
refleksi bersama bahwa membaca itu penting. Kedua peringatan ini harus
menjadi momentum melestarikan pilar literasi.
Di zaman global sangat susah mengajak anak
mencintai buku. Padahal, buku menjadi 'arsip pengetahuan' yang menyimpan
ribuan 'mahkota kehidupan'. Jangankan pelajar, para guru juga sedikit yang
cinta buku dan literasi. Era digital mendorong masyarakat bermanjaan dengan
media sosial, gadget, gim daring, televisi, dan lainnya. Tidak mengherankan
jika saat ini sulit ditemukan pelajar dan guru yang benar-benar 'kutu buku'.
Padahal, guru benar-benar 'menjadi guru' ketika ia menjadi 'kutu buku' karena
memuliakan ilmu pengetahuan.
Minimnya budaya membaca di Indonesia
memperburuk kualitas pendidikan. Catatan UNESCO pada 2012 menempatkan indeks
membaca bangsa Indonesia hanya 0,001. Artinya, di antara 1.000 orang hanya
satu orang yang membaca serius (Kompas, 24/3/2017). Data USAID Prioritas juga
menunjukkan minimnya budaya baca karena sampai 2017 RI masih di peringkat 60
dari 61 negara yang minat bacanya rendah.
Ironis jika budaya baca terkikis karena
pengaruh modernisasi. Kita sekarang seperti berada di zaman prasejarah di
saat orang belum mengenal 'tulisan' dan buta literasi lantaran malas membaca.
Padahal, saat ini kita berada di era digital, milenium, modern, tetapi
mengapa justru malas membaca? Pergeseran zaman memengaruhi budaya ilmiah.
Jika dulu orang bangga punya 'banyak buku' berjubel di rak-rak rumah, saat
ini tidak demikian. Orang lebih bangga punya alat-alat modern daripada buku.
Tidak hanya kalangan biasa, tetapi juga kaum terdidik.
Di tiap sekolah dan kampus, hampir semuanya berdiri
perpustakaan. Namun, isinya monoton, koleksinya tak berganti, katalognya dan
pengurusnya tak jelas. Jangankan dikunjungi siswa, pengelolanya saja hanya
formalitas. Jika perpustakaan mati, di mana kita bisa mencari referensi?
Apakah di internet yang kebenarannya hanya terjamin 75%? Apalagi sekarang
semua artikel di internet hanya bergantung pada keyword (kata kunci) dan
viewer (pengunjung). Mencintai buku bukan berarti menolak sumber literasi
modern seperti medsos. Guru harus tahu porsi kapan bermedsos. Tanpa punya
takaran rinci, guru pasti tak bisa cerdas karena kurangnya intensitas membaca
ilmiah. Gadget menjadikan manusia seperti mesin. Meski banyak aplikasi
bermanfaat, kecenderungan 'berlebihan' selalu dilakukan.
Selain memberi contoh tak baik, hal itu
membuat siswa 'menyepelekan guru', terutama di kota-kota besar. Pengalaman
penulis, daya kritis anak-anak SD di kota sangat tinggi. Mereka 'dewasa dini'
karena pertumbuhan psikis dan mental lebih cepat daripada akselerasi siswa di
desa-desa. Jika guru suka main-main gadget di kelas, hal itu justru
memperburuk citra guru sebagai sosok yang harus 'digugu' dan 'ditiru'. Guru
harus menjadi kiblat budaya baca dan menjadi kutu buku, bukan sebaliknya.
Genjot minat baca
Tidak hanya membaca dan menulis, pengarsipan
menjadi hal urgen dalam menjaga ilmu pengetahuan. Lewat arsip berupa buku,
majalah, koran, ilmu akan abadi dan menyejarah. Jika kaum terdidik sadar akan
pentingnya budaya literasi, penulis yakin kualitas pendidikan kita pasti
tidak tertinggal oleh negara sekaliber Finlandia, Jepang, dan AS. Guru
harusnya tidak sekadar membaca buku pelajaran, tetapi juga buku-buku
literatur ilmiah, buku pemikiran, novel, antologi cerpen/puisi, dan lainnya.
Guru itu sumber informasi, ilmu, serta sumber moral. Jika guru wawasannya
sempit, bagaimana bisa mencetak generasi cerdas? Tentu susah.
Saat menjadi asesor Early Grade Reading
Assessment (EGRA) USAID Prioritas, penulis menemukan intensitas membaca
sangat didukung kepemilikan buku dan jadwal baca. Khusus di sekolah, meski
ada perpustakaan sekolah, perlu dibuat kebijakan 'jam baca'. Artinya, tiap
hari harus ada jam baca bagi anak-anak. Jika maksimal, mereka bisa melahap 30
sampai 50 buku per bulan bahkan bisa ratusan buku. Meskipun ada dokumen
daring, secara fisik lebih nyaman membaca buku, koran, dan majalah. Maka
memiliki 'banyak buku' bagi guru dan pelajar hukumnya wajib. Bayangkan saja,
satu kali membeli kuota internet sebulan, bahkan sebulan dua kali bisa
mencapai Rp50 ribu-Rp300 ribu. Jumlah itu jika dibelanjakan buku bisa
mendapat puluhan buku.
Buku bagi guru adalah 'kekayaan termahal'
daripada harta benda. Mentradisikan budaya baca sangat penting. Selain
menambah oasis pengetahuan, membaca bisa mencetak pola pikir yang 'punya
karakter'. Apalagi guru sehari-hari dihadapkan dengan siswa yang majemuk.
Maka rajin membaca, punya banyak buku, menjadi kutu buku hukumnya wajib bagi
guru. Jika guru kualitasnya rendah, bagaimana siswanya? Pasti rendah. Sudah
saatnya guru menjadi kutu buku. Tidak perlu jauh-jauh, minimal dimulai dari
sendiri untuk mencetak kutu buku. Membaca buku sangat berbeda dengan membaca
artikel di internet yang parsial, bahkan datanya tidak valid. Meski saat ini
era global, buku tetaplah 'harta' termahal dalam kehidupan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar