Mengantisipasi
Politik Infrastruktur Tiongkok
I Gede Wahyu Wicaksana ; Dosen
Hubungan Internasional FISIP
Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA
POS, 15
Mei 2017
Presiden Joko
Widodo (Jokowi) menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Belt and Road
Forum for International Cooperation di Beijing, Tiongkok, pada 14–15 Mei
2017. Ada 29 kepala negara, termasuk pimpinan PBB, Bank Dunia, dan Dana
Moneter Internasional (IMF), yang hadir dalam KTT yang bermakna strategis
bagi Tiongkok itu. Bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga politik dan
keamanan internasional.
Kepentingan
Tiongkok adalah memajukan proyek raksasa One Belt One Road (OBOR), mencakup
program Jalur Sutra (Silk Road). Yakni pembangunan infrastruktur perdagangan
lintas benua yang menghubungkan wilayah barat daratan Tiongkok yang
terisolasi dengan Asia Tenggara, terus ke Samudra Hindia dan menuju Laut
Mediterania.
Tujuannya
ialah menyeimbangkan pembangunan ekonomi dalam negeri yang timpang antara
daerah barat yang terbelakang dan timur yang sudah mapan. Untuk
mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, dilakukan ekspansi besar-besaran ke Asia
Tenggara sebagai akses transportasi laut utama. Megaproyek infrastruktur
maritim dibangun melalui kerja sama bilateral. Misalnya dengan Thailand,
Malaysia, dan Pakistan. Indonesia juga masuk dalam skema Jalur Sutra. Dua
pilar pendanaan internasional didesain dalam Silk Road Fund (SRF) bernilai
USD 40 miliar dan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dengan modal
awal USD 100 miliar.
Pada 2016,
investasi Jalur Sutra di Pakistan saja sudah mencapai USD 50 miliar dan di
Malaysia USD 40 miliar. Dana disalurkan khusus untuk konstruksi pelabuhan dan
sarana penunjang industri maritim, termasuk sistem pengamanan laut
supercanggih. Sedangkan Indonesia memperoleh USD 5 miliar dan baru USD 680
juta yang terealisasi di sektor eksplorasi sumber daya alam. Cukup ironis.
Sebab, dibanding Pakistan dan Malaysia, potensi kemaritiman Indonesia jauh
lebih unggul.
Posisi
geostrategis Nusantara diakui secara eksplisit oleh Presiden Tiongkok Xi
Jinping ketika mendeklarasikan Jalur Sutra empat tahun lalu. Selain itu,
ketika berkunjung ke Beijing pada Maret 2015, Jokowi menyatakan hendak
mengintegrasikan tol laut dengan Jalur Sutra. Gagasan tersebut disambut baik
oleh Xi Jinping yang menjanjikan kolaborasi ekonomi, perdagangan, dan
teknologi dengan investasi USD 50 miliar. Artinya, hingga kini hanya 10
persen komitmen yang terpenuhi.
Banyak pihak
menyampaikan penyebabnya klasik. Pemerintah dan swasta Tiongkok terganggu
permasalahan penyediaan lahan, birokrasi rumit, dan persepsi negatif terhadap
komunis. Memang Jokowi sendiri berusaha keras menangani segala rintangan
investasi, termasuk memenangkan konsorsium Tiongkok dalam proyek kereta cepat
Jakarta–Bandung, demi menarik lebih banyak penanaman modal Negeri Panda itu.
Namun, hasilnya belum signifikan. Padahal, para pejabat tinggi di Beijing
seperti Menteri Perdagangan dan Kerja Sama Ekonomi Internasional Zhong Shan
berkali-kali mengutarakan niat untuk meningkatkan realisasi dana Jalur Sutra
di Indonesia. Pasti ada sesuatu.
Antusiasme
pemerintah untuk berpartisipasi dalam KTT Beijing didorong keinginan
menyelesaikan berbagai ganjalan nonteknis yang menghambat investasi Tiongkok.
Dalam konteks ekonomi, upaya yang dimaksud tentu positif. Apalagi bila
dikaitkan dengan percepatan capaian proyek strategis nasional di sektor
kemaritiman, termasuk implementasi tol laut. Tetapi, perlu dicermati, Jalur
Sutra punya implikasi politik bagi Indonesia. Logikanya sederhana. Jika
Tiongkok benar-benar tertarik menanamkan modal karena murni alasan ekonomi,
mengapa tidak langsung dilaksanakan?
Sebaliknya,
mengapa bantuan Jalur Sutra amat mudah digelontorkan ke Pakistan dan
Malaysia? Pakistan adalah sekutu politik dan militer lama Tiongkok. Beijing
dan Islamabad membina aliansi menghadapi India. Sedangkan Malaysia sebelumnya
tidak punya relasi politik spesial dengan Tiongkok. Setelah ketegangan antara
Kuala Lumpur dan Beijing soal sengketa Laut China Selatan (LCS) mereda,
barulah kerja sama ekonomi mereka meningkat.
Ada konsesi
politik di balik infrastruktur Jalur Sutra. Pertama, Beijing sudah secara
jelas menyatakan ingin menyambung kekuatan laut Tiongkok–Indonesia melalui
Natuna. Artinya, Beijing menunggu perubahan sikap Jakarta mengenai kedaulatan
Tiongkok atas Nine-Dash-Line yang menjangkau perairan Natuna. Poin itu
strategis bagi Tiongkok bukan semata karena proyeksi kekayaan bawah laut,
tetapi menyangkut ambisi teritorial jangka panjang. Memang wilayah Indonesia
tidak akan diduduki. Tiongkok hanya mau mendapat ruang lebih luas di lautan
yang selama ini diawasi ketat oleh kekuatan asing, khususnya Amerika Serikat
(AS).
Kedua,
peluncuran Jalur Sutra disusul sebuah reorientasi kebijakan keamanan
Tiongkok. Pada 11 Januari 2017 Beijing memublikasikan buku putih keamanan
internasional Tiongkok yang secara tegas menyebutkan bahwa Asia akan lebih
baik tanpa AS. Awalnya tidak banyak komentar serius yang muncul. Wajar saja
jika sebuah negara besar memiliki dokumen strategis. Namun, gelagat Tiongkok
semakin kuat. Setelah pelantikan Donald Trump, Beijing kian agresif. Para
pejabat pertahanan dikirim ke Asia Tenggara dan Rusia untuk menginisiatori
kemitraan baru yang disebut Transnational Maritime Collaboration. Perdana
Menteri Li Keqiang menyerukan agar negara-negara Asia segera meninggalkan
kebiasaan usang, yaitu meminta tolong ke Washington kalau ada masalah
keamanan. Berpalinglah ke Beijing, ujar Li.
Merespons
provokasi Beijing, Washington menyebut Tiongkok sedang bermain petasan.
Penasihat keamanan nasional H.R. McMaster dengan bahasa kurang diplomatis
mengatakan bahwa Asia tanpa Amerika akan guncang. Saling sahut antara Beijing
dan Washington mungkin belum menimbulkan efek politik besar. Meski begitu,
corak kepemimpinan ambisius dan asertif Xi Jinping dan Trump yang susah
ditebak cukup jadi landasan empiris buat Jakarta untuk mawas diri. Dimensi
politik KTT infrastruktur mudah dibaca. Yang diundang di antaranya adalah Uni
Eropa dan PBB, dua lembaga yang bagi Trump bukan lagi teman menguntungkan.
Jadi, Tiongkok menggandeng siapa saja yang diremehkan Trump.
Sayangnya,
belum ada kebijakan jelas tentang hubungan Indonesia-Tiongkok. Semua
normatif; bebas aktif, saling menguntungkan, dan tidak melanggar kepentingan
nasional. Tiongkok adalah aktor unik yang harus dihadapi dengan strategi
khusus. Paling tidak Jakarta menyiapkan formula dua arah. Jangan sampai
kebutuhan investasi membuat Indonesia tunduk pada politik infrastruktur dan
akhirnya terseret dalam rivalitas adidaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar