Membangun
Pendidikan Berwawasan Kebinekaan
Ali Usman ; Pendidik
dan Pemerhati Pendidikan
|
MEDIA
INDONESIA, 15 Mei 2017
http://www.mediaindonesia.com/news/read/104715/membangun-pendidikan-berwawasan-kebinekaan/2017-05-15
SACHI, 6, anak
perempuan saya yang pertama suatu ketika bertanya, mengapa ada teman di
sekolah (TK) yang cara dan ekspresi berdoanya berbeda dengan dirinya sebagai
anak seorang muslim. Begitu pula saat liburan tiba di hari Minggu, Sachi
terkadang merasa sedih kehilangan teman bermain karena di antara
teman-temannya memang beragama Katolik dan Kristen.
Lalu, apa
makna dari cerita di atas? Pertama, dilihat dari sisi perkembangan anak,
Sachi, yang mungkin juga dialami anak-anak lain, menunjukkan karakternya
sebagai seorang yang 'ingin tahu' terhadap apa yang dialaminya. Dalam
perspektif ilmu pengetahuan, inilah stimulasi awal tumbuh berkembangnya
pengetahuan yang dimulai dari ketakjuban, bertanya, dan pada akhirnya
menemukan jawaban.
Kedua, dilihat
dari pola pendidikan, yang memerlukan perhatian serta kehadiran orang dewasa
untuk menjelaskan secara arif dan bijaksana sesuai dengan karakternya sebagai
seorang anak. Pendidikan yang dimaksud dalam pengalaman ini tentu saja secara
formal (sekolah) maupun informal (keluarga, masyarakat, dan lain-lain).
Bukan
mustahil, pertanyaan-pertanyaan model demikian akan muncul pula di ruang
kelas sekolah yang menuntut guru untuk menjelaskannya.
Di sinilah
fungsi dan tantangan pendidikan nasional kita. Yang bahaya jika guru tidak
mempunyai wawasan kebangsaan tentang nilai-nilai toleransi dan justru
berpikiran eksklusif, menutup diri terhadap perbedaan.
Memerdekakan anak
Apa yang
dialami Sachi cerminan dari realitas pendidikan dewasa ini.
Seorang guru,
dan juga keluarga, dituntut menyelami dan masuk ke dunia anak agar bisa
dengan mudah menerangkan kebinekaan, toleransi, dan persatuan bangsa.
Dalam kondisi
tertentu, saya beserta istri bahkan meminta teman Sachi yang Katolik untuk
menjelaskannya secara langsung (aktivitas ibadah di hari Minggu).
Ki Hadjar
Dewantara dalam sebuah penggambaran mengatakan, "Berilah kemerdekaan
kepada anak-anak kita: bukan kemerdekaan yang leluasa, tetapi yang terbatas
oleh tuntutan-tuntutan kodrat alam yang nyata dan menuju ke arah kebudayaan,
yaitu keluhuran dan kehalusan hidup manusia. Agar kebudayaan itu dapat
menyelamatkan dan membahagiakan hidup dan penghidupan diri dan masyarakat,
maka perlulah dipakai dasar kebangsaan, tetapi jangan sekali-kali dasar ini
melanggar atau bertentangan dengan dasar yang lebih luas, yaitu dasar
kemanusiaan" (Djumhur dan Danasaputra, 1976: 175-176).
Menjiwai makna
pendidikan nasional sebagaimana yang dicita-citakan founding father bapak
pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara itu memberikan alarm sekaligus
motivasi bagi generasi penerus bangsa.
Di satu sisi,
pendidikan nasional dituntut maju, mampu bersaing dengan keunggulan
negara-negara lain, tetapi di sisi lain juga dituntut berpegang teguh pada
nilai-nilai keluhuran yang menjunjung tinggi norma adat maupun agama.
Sistem
pendidikan perlu direinterpretasi, yaitu tidaklah selalu berorientasi pada
kebutuhan pasar, penyerapan tenaga kerja lulusan sekolah, tetapi lebih kepada
paradigma humanisme, yang juga mengutamakan internalisasi moral.
Dengan
demikian, akan muncul ilmuwan-ilmuwan hebat juga religius dan menjaga nama
baik bangsa.
Peran sekolah/guru
Karena itulah,
pernyataan Ir Soekarno, bapak proklamator dan presiden pertama RI kita, tepat
saat mengapresiasi pendidikan yang kala itu dijalankan Ki Hadjar Dewantara.
"...sungguh
alangkah hebatnya jika tiap-tiap guru di Perguruan Tamansiswa itu satu per
satu adalah Rasul Kebangunan! Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa
kebangunan dapat menurunkan kebangunan ke dalam jiwa sang anak."
Soekarno
mengidealkan generasi bangsa mempunyai semangat nasionalisme dan patriotisme.
Inilah
cita-cita ideal pendidikan karakter bangsa; meraih kesuksesan tanpa meninggalkan
tradisi dan kebudayaan leluhur. Artinya, meskipun sekarang kita hidup dalam
arus globalisasi, akses informasi yang bebas dan luas, bahkan berhasil
menempuh pendidikan hingga ke luar negeri, jangan lupa terhadap realitas
tanah kelahiran kita, Indonesia.
Yang dimaksud
dengan Rasul Kebangunan itu, dalam wujud praksis mengacu pada guru yang modal
kecerdasan intelektualnya tidaklah cukup untuk menjadi pendidik yang bisa
menanamkan nilai-nilai kecintaan terhadap Tanah Air.
Seorang
pendidik yang disebut Rasul Kebangunan yaitu mereka yang bisa membangun
semangat pembangunan dan perjuangan untuk mengubah bangsa dari keterpurukan
menuju kebangkitan.
Seorang
pendidik yang Rasul Kebangunan ialah ketika ia bisa memberikan penanaman
nasionalisme dan patriotisme yang tinggi bagaimana bangsa ini seharusnya
dibela, bukan digadaikan demi kepentingan pribadi maupun golongannya (Yamin,
2009: 183).
Dalam skala
yang lebih luas, sistem pendidikan nasional idealnya dapat
mencerminkan--sebagaimana diulas Sujono Samba (2007: 15-21)--pertama,
pendidikan yang dilandasi semangat pembebasan serta semangat perubahan yang
lebih baik.
Membebaskan
berarti keluar dari belenggu legal formalistis yang selama ini menjadikan
pendidikan tidak kritis dan tidak kreatif. Semangat perubahan diartikan
menyatunya metode belajar (siswa) dan mengajar (guru) dalam proses
pembelajaran.
Kedua,
keberpihakan yang merupakan ideologi pendidikan itu sendiri, di saat keluarga
miskin berhak atas ilmu pengetahuan dan pendidikan yang baik dan bermutu.
Ketiga,
metodologi yang dibangun selalu berdasarkan kegembiraan siswa dan guru dalam
proses pembelajaran.
Kegembiraan
ini akan muncul apabila sekat ruang dan waktu guru-siswa tidak dibatasi.
Keduanya
merupakan tim yang berproses secara partisipatif. Guru bukanlah sosok manusia
hebat yang harus mengajari, melatih, dan mendidik siswa, tetapi fungsi mereka
ialah memfasilitasi, mendinamisasi, dan melayani siswa.
Keempat,
mengutamakan partisipasi dan komunikasi yang sehat antara pengelola
pendidikan, guru, siswa, wali siswa, masyarakat, dan lingkungannya dalam
merancang-bangun sistem pendidikan realistis dan sesuai dengan kebutuhan.
Hal ini akan
membuang jauh citra sekolah/pendidikan yang dingin dan tidak berjiwa, yang
selalu dirancang intelektual kota yang tidak membumi (karena tidak memahami
kondisi masyarakat).
Berkualitas
atau tidaknya pendidikan dengan demikian bukan karena seorang siswa-siswi itu
mempunyai nilai sembilan atau sepuluh dalam ijazahnya.
Nilai ijazah
atau surat kelulusan sekolah pada aspek lain secara substansial tidak
mengukur kompetensi sebenarnya ketika harus menghadapi realitas kehidupan.
Indikasi
sebuah lembaga pendidikan dikatakan berkualitas ialah manakala output-nya
sanggup memecahkan persoalan hidup, kreatif, mandiri, beretika, dan terus
bersemangat mengembangkan pengetahuannya sehingga merasa hidup sejahtera dan
berguna bagi orang lain.
Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar