Ekstremisme
Islam pada Pilkada DKI
Fajri Matahati Muhammadin ; Dosen
pada Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada
|
REPUBLIKA, 24 April 2017
Perhitungan suara final oleh KPU belum resmi, tetapi semua hasil
quick count dan situs KPU senada dalam mengumumkan kalahnya petahana Basuki
Tjahaja Purnama dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta.
Hasil ini menuai banyak tanggapan. Yang menarik adalah tanggapan
yang ramai banyak pengamat baik nasional mapun internasional yang mengatakan
bahwa kemenangan ini adalah hasil atau perwujudan dari ‘ekstremisme Islam’
(ada juga yang menyebut ‘radikal’ atau 'Islamic hardliners'). Sulit untuk
tidak merenung: siapakah yang dimaksud dengan ‘ekstremis Islam’?
Apakah maksudnya Da’esh (ISIS) atau Alqaidah? Tetapi terlepas
sentimen kebencian agama yang ada, tidak ada aksi teror kecuali sebuah
serangan pada kantor polisi yang tidak berhubungan dengan pilgub DKI. Ada
satu bom mobil, tetapi sasarannya justru sebuah perkumpulan Front Pembela
Islam (FPI) yang dihadiri oleh Habib Rizieq Shihab.
Atau maksudnya FPI? Dengan sejarah warna-warni antara aksi
kekerasan dan kemanusiaan, mereka memimpin salah satu aksi demonstrasi yang menurut
kepolisian diduga akan ditunggangi untuk makar, antara lain dengan menyusup
melalui gorong-gorong. Ternyata
demonstrasi ini adalah demonstrasi paling damai dan bersih yang pernah
terjadi di Indonesia.
Sebetulnya aksi agresif FPI tertangkap kamera saat Aksi Bela
Islam 411. Pertama, mereka tampak berusaha mencegah beberapa demonstran
(bukan anggota FPI) yang mulai menyerang polisi. Kedua, mereka membuat
barikade menghadap demonstran untuk melindungi polisi. FPI pun sempat
mengawal sebuah sepasang calon pengantin beragama Katolik yang hendak menikah
di Katedral yang dilewati massa Aksi Bela Islam.
Ataukah Wahabi? Mereka jelas anti-petahana. Tapi kelompok yang
banyak merujuk ulama-ulama Saudi Arabia ini justru mengharamkan aksi
demonstrasi. Saat Aksi Bela Islam, mereka justru sibuk mengkritisi
demonstran. Salah satu da’i Wahabi Ustaz Riyadh Bajrey bahkan mengatakan
bahwa pemerintah halal menumpahkan darah para demonstran. Ekstrem? Mungkin.
Tapi ini menguntungkan petahana.
Mungkin Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)? Belum ada sejarah
kekerasan, kecuali baru-baru ini di Makassar. Itupun pembelaan diri setelah
lebih dulu diserang oleh GP Ansor. GP Ansor juga menghadang dan memaksa bubar
aksi (legal) HTI di Surabaya, tapi HTI kali ini memilih mundur menghindari
kekerasan walaupun jumlah mereka lebih banyak. Apakah tindakan GP Ansor
adalah ekstrem? Perlu dicatat bahwa GP Ansor cenderung pro-Petahana.
Semua kandidat ‘ekstremis’ ini punya satu keserupaan: menolak
pemimpin non-Muslim. Bersama-sama dengan isu penistaan agama, inilah yang
dipercayai menjadi faktor utama kekalahan petahana. Tampaknya inilah maksud
‘ekstremisme’: agama menjadi faktor dalam political choice. Label
‘ekstremisme Islam’ yang menakutkan ini telah tereduksi dari aksi kekerasan
ke pilihan politik. Apakah tepat melabeli ini sebagai ‘ekstremisme’? Apakah
seorang individu mengimani bahwa hanya boleh memilih pemimpin seiman adalah
‘ekstrem’?
Siapa sih yang menentukan apa yang ‘ekstrem’ dan apa yang tidak?
Di mana standarnya?
Apakah Hak Asasi Manusia (HAM)? Mengesampingkan isu ‘masuk
akalkah mengatur hukum Tuhan dengan hukum internasional?’, hukum HAM
internasional pun samar di sini. Pasal 26 dan 25(b) ICCPR berturut-turut
mengatur persamaan di muka hukum dan hak untuk dipilih melalui pemilu. Tapi pasal-pasal
tersebut juga memberikan kebebasan berpendapat dan hak memilih dengan jaminan
"free expression of the will of the electors".
Kebebasan memilih dan menjalankan agama juga dilindungi di Pasal
18(1). Apakah karena kebetulan mayoritas mengimani agama tertentu, yang
membuat mereka menghendaki hal yang sama, menjadikannya melanggar hak secara
sistematis atau ketertiban umum (pengecualian kebebasan beragama di PAsal
18[3])?
Hukum Indonesia pun mengakui hak yang sama, lebih diperkuat
kenyataan bahwa Indonesia adalah bukan negara sekuler melainkan beragama
(bukan agama) sesuai Pasal 29 UUD 1945.
Agak sulit memahami kenapa memilih berdasarkan nilai-nilai
sebuah agama yang diimani adalah ekstrem, tetapi memilih berdasarkan
nilai-nilai sebuah parpol tidak ekstrem. Konyol tapi sah memilih kandidat
karena gantengnya. Ketika pilihan ini adalah murni diskresi personal, kenapa
dilabeli sebagai ‘ekstrem’?
Keimanan kepada Tuhan, bagi pemeluk agama, adalah sebuah nilai.
Misalnya adalah walaupun teologi Nasrani adalah monoteis menurut pemaknaan
Nasrani, ia adalah politeis menurut konsep tauhid dalam Islam. Pemeluk agama
menjadikan Tuhan dan agama sebagai prioritas di atas yang lain, dan umat
Islam percaya bahwa dosa dan penghinaan Tuhan paling besar adalah syirik
(politeisme). Bukan berarti memaksa Nasrani mengikuti ajaran Islam. Tapi
kemudian apa salahnya seorang Muslim menolak memilih seorang pelaku syirik
(sebagaimana dimaknai oleh ajaran Islam), ketika seseorang yang berhaluan
‘kiri’ menolak memilih seorang yang kapitalis adalah wajar?
Khususnya, Alquran tegas melarang memilih pemimpin non-Muslim.
Banyak ayatnya, tapi yang terkenal adalah Surah Al Maidah ayat 51. Mayoritas
ulama sekarang pun (dulu konsensus) berpendapat demikian, termasuk yang
otoritatif di Indonesia. Misalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah
berfatwa demikian. Selain itu, dua ormas terbesar Indonesia yang terkenal
moderat pun berfatwa serupa, yaitu Muhammadiyah (fatwa tahun 2009) dan
Nahdlatul Ulama atau NU (keputusan tahun 1999).
Dalam Islam, ekstremisme adalah ketika seseorang melampaui
batasan-batasan syariat. Jika larangan memilih pemimpin adalah aturan hukum
Islam, apakah ia ekstrem?
Ataukah standarnya adalah intoleransi? Toleransi adalah
menghargai agama dan pilihan. Manakah yang intoleran: seseorang menggunakan
diskresi pribadinya untuk memilih seseorang yang tidak sesuai nilai yang ia
imani? Atau menuntut orang ini berubah serta membatasinya dalam menggunakan
diskresi pribadinya sehingga tidak boleh membuat pilihan tadi?
Kasus penistaan agama agak rumit. Memang pidana penistaan agama
keras diperdebatkan oleh para ahli HAM, tapi perspektif ‘toleransi’ akan
berbeda. Apakah sebuah penistaan agama adalah sebuah aksi yang toleran?
Apakah manusiawi jika pemeluk suatu agama menjadi murka ketika seorang
pejabat publik ketika menjalankan tugas menista agama mereka? Kemurkaan
pemeluk agama ini kemudian diekspresikan melalui demonstrasi yang besar namun
sangat damai, dan tidak menuntut sesuatu yang baru atau istimewa: mohon
jalankan hukum sesuai yang berlaku.
Apakah tuntutan tersebut semata-mata karena petahana adalah
minoritas (etnis dan agama)? Bolehkah mayoritas bebas menghina minoritas?
Jelas tidak, tapi soalan ini kompleks. Satu hal yang harus diakui adalah
bahwa aturan penistaan agama yang berlaku sulit membedakan antara penistaan
agama murni dan diskursus dalam perbandingan agama. Yang terakhir ini
tempatnya di forum ilmiah, bukan untuk diteriakkan di muka umum.
‘Klaim kebenaran’ dan
mengatakan agama lain akan masuk neraka adalah sebuah fitur yang umum pada
banyak agama, dan diceramahkan secara internal. Bersikap baik dan ramah
terhadap umat agama lain pun adalah ajaran yang umum pada kebanyakan agama,
termasuk Islam. Tidak ada cerita boleh berteriak ‘kafir’ atau ‘bau jahanam’
kepada setiap non-Muslim yang ditemui. Mungkin sebagian melihat ini sebagai
‘bermuka dua’, tapi ini lebih dekat pada upaya baik untuk tetap beriman pada
agama dan bertoleransi pada yang lain.
Pada akhirnya, apakah pilgub DKI dimenangkan oleh ‘ekstremisme
Islam’? Istilah ini kian hari makin sulit dipahami. Ini jadi semata-mata
masalah worldview dan bagaimana seseorang mengimani hubungan antara hidup dan
agamanya. Kadang agak sulit untuk sempurna memahami orang lain sehingga
kesalahpahaman dapat terjadi.
Mungkin kita memang
mengalami clash of civilizations, tapi kita harus menjembatani ‘ke-tunggal
ika-an’ dari sebuah ‘kebhinnekaan’. Ingatlah jahwa jembatan ini harus terbuka
dua arah. Ada yang bisa dikompromi dan ada yang tidak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar