Demokrasi
Kekerasan
Yudi Latif ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia
|
KOMPAS, 02 Mei 2017
Kekerasan
adalah musuh utama demokrasi, bertentangan dengan spirit dan substansinya.
Demokrasi sebagai jalan hidup (way of
life) dengan seperangkat institusinya adalah sarana non-kekerasan.
Di bawah
kondisi demokratis, kepentingan dan kekuasaan tak bisa diperoleh lewat jalan
pemaksaan, tetapi melalui konsensus yang memerlukan penghormatan publik atas
rule of law. Demokrasi juga sistem pembagian kekuasaan secara legal yang
aktor-aktornya menghindari kekerasan dan sama-sama diuntungkan oleh ketiadaan
kekerasan.
Manakala
perkembangan demokrasi belakangan ini diwarnai berbagai ekspresi kekerasan,
baik fisik maupun verbal, maka kondisi demokrasi kita berada di ambang
bahaya.
Lebih
mengerikan lagi, berbagai ekspresi kekerasan di ruang publik itu makin
merebak, seolah-olah di luar kapasitas negara untuk mengendalikannya.
Otoritas hukum dan keamanan negara tidak saja gagal melindungi hak sipil dan
politik warganya, tetapi juga gagal melindungi dirinya sendiri. Ekspresi
kekerasan mengemuka dalam ragam bentuk: kekerasan warga atas warga; kekerasan
antarwarga unsipil (bentrokan antarsindikat); kekerasan negara atas warga;
kekerasan warga atas negara; dan kekerasan antaraparat.
Berbagai
bentuk kekerasan itu berkelindan dengan kecenderungan meraih kekuasaan dengan
mengoperasikan sarana pemaksaan dan kebencian (hate crime). Politik rekognisi
atas kesetaraan warga dalam perbedaan diabaikan yang melanggar prinsip nomokrasi
(negara hukum).
Perkembangan
ini mengindikasikan pelaksanaan demokrasi Indonesia belum mampu
mentransformasikan gerak sentripetal kekuasaan yang bersifat narsistik menuju
gerak sentrifugal yang berorientasi pada kemaslahatan umum. Pergeseran dari Orde
Baru ke Orde Reformasi hanya peralihan dari situasi otoriter menuju situasi
lemah otoritas (hukum) dengan risiko yang lebih mengerikan.
Humphrey
Hawksley dalam Democracy Kills memperlihatkan potret yang mengerikan,
penduduk di bawah sistem demokrasi lemah otoritas berpeluang mati lebih besar
ketimbang di bawah sistem kediktatoran. Sebagai contoh, harapan hidup warga
negara demokratis Haiti hanya 57 tahun, jauh dibandingkan mereka yang hidup
di bawah kediktatoran Kuba yang mencapai 77 tahun.
Demokrasi memang
bermaksud menghilangkan pemerintahan otoriter, tetapi tak bisa ditegakkan
tanpa wibawa otoritas. Tanpa wibawa otoritas negara hukum, demokrasi bisa
mengarah pada anarki. Dalam kondisi itu, demokrasi melakukan tindakan bunuh
diri.
Dengan
merebaknya ekspresi kekerasan, negara juga mengingkari tugas konstitusional
pertamanya: "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia". Lebih dari itu, nyaris tak ada perbantahan antara
teoretisi negara lintas zaman dan lintas ideologis, mulai dari Niccolo
Machiavelli, John Stuart Mill, hingga pengusung indikator Gross National
Happiness, dalam menempatkan tugas perlindungan negara atas warga pada
jantung dari segala kontrak negara dengan rakyatnya.
Pentingnya
proteksi warga dari bahaya juga menjadi latar yang membentuk liberalisme
modern. Dalam tulisan John Stuart Mill ditekankan, satu-satunya justifikasi
bagi tindakan melawan yang lain adalah perlindungan diri (self-protection)
dan satu-satunya rintangan atas kebebasan yang bisa dijustifikasi adalah
untuk mencegah bahaya bagi orang lain. Kebebasan beragama, misalnya, bisa
dibatasi oleh perlindungan atas keselamatan publik (public safety),
ketertiban publik (public order), kesehatan publik (public health), moral
publik (public morals), perlindungan hak dan kemerdekaan (rights and
freedom).
Perlindungan
atas keselamatan warga dan negara penting karena ketertiban dan keselamatan
sangat esensial, bukan saja agar hidup berjalan, melainkan juga agar rakyat
hidup secara baik. Data komparatif lintas negara membenarkan stabilitas dan
ketertiban politik, pemerintahan, hukum, dan keadilan menentukan pencapaian
kebahagiaan. Tingkat kebahagiaan bangsa yang paling rendah tercatat atas nama
Republik Dominika awal 1960-an setelah pembunuhan Presiden Trujillo yang
memicu kekacauan kronis. Tingkat kebahagiaan bangsa tertinggi umumnya
ditemukan di negara demokrasi yang stabil, seperti Selandia Baru, Norwegia,
Swiss, dan Denmark, yang mengindikasikan pentingnya pemerintahan yang kuat,
stabil, protektif, dan legitimate bagi kebajikan dan kebahagiaan hidup warga
(Geoff Mulgan, 2006).
Para pendiri
bangsa secara visioner menetapkan visi negara untuk meraih peri-kehidupan
bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat adil, dan makmur. Untuk mencapai hal
itu, negara mengemban misi melindungi keselamatan warga dan wilayah,
kesejahteraan umum, kecerdasan bangsa, serta ketertiban dan perdamaian.
Apabila
perkembangan demokrasi dirayakan oleh berbagai ekspresi kekerasan, tanpa
kesanggupan negara untuk menegakkan hukum dan ketertiban, negara bisa
kehilangan legitimasinya. Ironis, dalam demokrasi yang menghendaki pemuliaan
hak asasi manusia, hak sipil dan politik, keselamatan manusia di negeri ini
masih saja tak terlindungi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar