Minggu, 01 Februari 2015

Enrique Pena Nieto

Enrique Pena Nieto

Trias Kuncahyono  ;  Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
KOMPAS, 01 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Ia seorang pengacara, juga politisi. Ayahnya, Severiano, adalah Wali Kota Acambay, Meksiko. Pada tahun 1993, Enrique Pena Nieto menikah dengan Monica Pretelini. Namun, pada tahun 2007, Monica meninggal dan meninggalkan tiga anak. Tiga tahun kemudian, tahun 2010, Pena menikahi bintang telenovela, Angelica Rivera. Namun, ia mempunyai seorang anak di luar nikah.

Itulah potret kecil Enrique Pena Nieto, Presiden Meksiko sekarang. Jabatan itu dipegang sejak 1 Desember 2012, menggantikan Presiden Filepe Calderon. Pena menjadi presiden dengan membawa bendera Partai Revolusioner Institusional (Partido Revolucionario Institucional/PRI) yang menguasai panggung politik Meksiko selama 71 tahun terakhir.

Dalam kampanye Pena, kalau terpilih menjadi presiden, ia akan liberate, membebaskan negerinya dari kejahatan, korupsi, dan impunitas. Itulah tiga ”dosa” besar Meksiko. Ketiganya—kejahatan, korupsi, dan impunitas—berkait, berkelindan, saling isi-mengisi.

Meksiko dikenal dengan perdagangan obat bius secara ilegal yang menyusup di dan ke mana-mana. Perdagangan obat bius ini menumbuhsuburkan kejahatan, sekaligus penyuapan, mordida, dan korupsi, sekaligus impunitas. Korupsi berurat berakar dalam kultur Meksiko (Stephen D Morris, Corruption and Mexican Political Culture). Korupsi menguasai pemerintah, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Korupsi secara sederhana dipahami sebagai upaya menggunakan kemampuan campur tangan karena posisinya untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh uang, atau kekayaan untuk kepentingan keuntungan dirinya. Orang Meksiko, misalnya, memandang kepolisian sebagai lembaga pemerintah yang paling korup dan kurang profesional. Mereka gampang disuap, tidak konsisten dalam menindak kejahatan, dan cenderung bekerja sama dengan kartel obat bius.

PRI yang berkuasa sepanjang tujuh dekade telah menjadi faktor signifikan dalam peningkatan aktivitas kejahatan di berbagai tingkat. Pengaruh politik dalam kejahatan terorganisasi di Meksiko mencapai puncaknya selama pemerintahan Presiden Carlos Salinas de Gortari (1988-1994).

Haryatmoko, dalam Etika Politik dan & Kekuasaan (2014), menulis, macam-macam korupsi ini tidak bisa dipisahkan dari interaksi kekuasaan. Orang yang terjun ke dunia politik dengan masih bermental animal laborans, yakni orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus produksi-konsumsi sangat dominan, cenderung menjadikan politik tempat mata pencaharian utama. Sindrom yang menyertai, salah satunya, adalah korupsi.

Barangkali seperti itu pula yang terjadi di Meksiko. Tugas Pena tidak ringan. Apalagi, orang Meksiko sinis terhadap apa yang diucapkan Pena. Lagi pula, rule of law tidak dapat diciptakan di Meksiko dalam tempo semalam untuk membersihkan kepolisian, misalnya, tetapi butuh bertahun-tahun-tahun, bahkan berdekade.

Lalu, apakah Pena, yang hanya memenangi 38 persen suara (mengalahkan Andres Manuel Lopez Obrador) dalam pemilu presiden, akan mampu mewujudkan mimpinya? Sulit untuk dijawab, apalagi para koruptor merasa berada di atas hukum. Mereka merasa akan dibela institusi atau organisasi yang mempekerjakan mereka.

Cerita di negeri ini pun tak jauh berbeda dengan yang terjadi di Meksiko. Coba simak dan perhatikan secara saksama apa yang terjadi di sekitar kita belakangan ini, bukankah semacam itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar