Minggu, 01 Februari 2015

Santunan Korban AirAsia

Santunan Korban AirAsia

E Saefullah Wiradipradja  ;  Guru Besar Hukum Udara
Universitas Padjadjaran, Bandung
KOMPAS, 31 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

SETELAH korban dan potongan tubuh pesawat AirAsia satu per satu ditemukan, tahapan penanganan bencana sampai pada pembayaran santunan. Muncul wacana, siapa yang harus membayar santunan kepada keluarga korban, apakah pihak perusahaan penerbangan atau pihak asuransi. Demikian juga tentang berapa nominal yang akan diterima keluarga korban, ada yang mengatakan Rp 1,25 miliar dan ada yang Rp 2 miliar. Juga ada masalah bahwa AirAsia tidak memiliki izin terbang Surabaya-Singapura pada hari Minggu sehingga memengaruhi pembayaran santunan.

Berdasarkan hukum, baik hukum internasional maupun hukum nasional, yang bertanggung jawab untuk membayar santunan adalah perusahaan penerbangan, bukan asuransi. Hal ini jelas disebutkan dalam Pasal 17 Konvensi Montreal 1999, pengganti Konvensi Warsawa 1929.

Sementara dalam Pasal 141 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, pengganti UU No 15/1992, dinyatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat udara dan/atau naik turun pesawat udara.

Jelaslah bawa perusahaan penerbangan yang harus memberikan santunan, kecuali santunan dari Asuransi Jasa Raharja, yang berdasarkan UU No 33/1964 memberikan santunan kepada para korban kecelakaan transportasi (darat, laut dan udara) dan atau asuransi yang ditutup secara pribadi oleh penumpang.
Pasal 179 UU No 1/2009 mewajibkan setiap perusahaan penerbangan mengasuransikan tanggung jawabnya (legal liability insurance). Penutupan asuransi oleh perusahaan penerbangan tidak boleh kurang dari jumlah tanggung jawab yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan dan Konvensi Montreal 1999 Pasal 50. Tujuannya, untuk menjamin bahwa apabila terjadi kecelakaan pesawat udara, santunan yang dibayarkan oleh perusahaan penerbangan kepada para korban atau keluarganya akan diganti kembali oleh perusahaan asuransi sehingga perusahaan penerbangan tersebut tidak merugi.

Perusahaan asuransi hanya membayar sejumlah uang kepada perusahaan penerbangan sesuai dengan perjanjian asuransi yang diadakan. Apabila dalam perjanjian asuransi antara perusahaan penerbangan dan perusahaan asuransi jumlahnya lebih besar dari kewajiban perusahaan penerbangan kepada para korban, kelebihan tersebut menjadi milik perusahaan penerbangan.

Perjanjian asuransi antara perusahaan penerbangan dan perusahaan asuransi, di samping untuk tanggung jawab terhadap penumpang, juga dapat menutup asuransi untuk hull (badan pesawat), air crew (awak pesawat), barang-barang yang diangkut (goods atau bagasi), dan tanggung jawab terhadap pihak ketiga di permukaan bumi (korban yang tidak ada hubungannya dengan penerbangan).

Jumlah (besarnya) santunan yang menjadi tanggung jawab perusahaan penerbangan (pengangkut udara) berdasarkan Konvensi Montreal 1999 adalah 100.000 SDR (special drawing rights), satuan uang dari Dana Moneter Internasional (IMF-Badan Khusus PBB) lebih kurang senilai Rp 2 miliar.

Karena Indonesia belum meratifikasi Konvensi Montreal 1999 sehingga tidak mengikat Indonesia, dengan sendirinya untuk penerbangan internasional masih berlaku Konvensi Warsawa 1929 sebagaimana telah diubah dengan Protokol Den Haag 1955. Jumlah santunan, menurut Konvensi Warsawa-Protokol Den Haag, sebesar 250.000 gold francs atau 20.000 dollar AS.

Berdasarkan Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional, sumber hukum internasional terdiri dari (1) perjanjian-perjanjian internasional (international treaties); (2) kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum (international custom, as evidence of general practice accepted as law); (3) prinsip-prinsip umum hukum (general principles of law).

Ketiga sumber hukum tersebut memiliki kedudukan yang sama. Karena itu, apabila perjanjian internasional tidak ada, misalnya suatu negara belum meratifikasi perjanjian internasional (Konvensi Montreal), kebiasaan internasional dapat diberlakukan.

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara (domestik) menyesuaikan jumlah santunan dari Rp 40 juta per penumpang, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995, menjadi Rp 1,25 miliar per penumpang domestik.

Jumlah itu jelas mendekati jumlah yang ditetapkan dalam Konvensi Montreal. Maka, jumlah yang ditawarkan pihak AirAsia (sekitar Rp 2 miliar) adalah jumlah yang wajar dan sesuai dengan Konvensi Montreal 1999.

Selanjutnya ada pula masalah izin terbang. Apabila perizinan ini ada hubungannya dengan kecelakaan pesawat udara—misalnya berdasarkan informasi/arahan ATC pesawat dilarang terbang karena keadaan cuaca buruk sehingga membahayakan penerbangan, tetapi pilot/pegawai perusahaan penerbangan memaksakan diri untuk terbang, atau melintasi daerah yang (cuaca) berbahaya (atas dasar informasi dari ATC) demi efisiensi bahan bakar—jika terjadi kecelakaan, tanggung jawab pengangkut udara adalah tak terbatas (unlimited).

Karena ada unsur kesengajaan/kelalaian dari pihak perusahaan penerbangan, pihak korban atau keluarganya dapat menuntut santunan melebihi batas tanggung jawab yang ditentukan.

Akan tetapi, apabila perusahaan penerbangan dapat membuktikan bahwa kesalahan ada pada pihak lain (misalnya pemerintah) atau pihak korban sendiri turut dalam menyebabkan kecelakaan (contributory negligence) atau dia (penumpang) meninggal karena sakit bawaannya (misalnya karena serangan jantung yang dia derita dari sebelum naik pesawat), perusahaan penerbangan dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar