Umat
yang Jarang Membaca
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 01 Desember 2014
Dalam kesenian klasik Jawa ”Macapat” dan bisa juga dalam gending
Palaran, orang mengidungkan tembang ”Pucung”, yang di dalamnya, antara lain
terdapat ungkapan bijak para resi zaman dahulu atau kelompok elite yang
disebut kaum literati, yang menyatakan bahwa ”ngelmu iku kalakone kanthi laku
”, maksudnya ilmu hanya bisa dicapai melalui laku.
Dalam tradisi Jawa yang disebut laku itu ”laku rohani”: tirakat. Di
dalam bahasa dunia pesantren disebut ”riadhah”, kadang ditulis ”riadlah ”,
artinya menempuh hidup serbaprihatin, serbarohani, untuk memperoleh petunjuk
Yang Ilahi dan adikodrati mengenai suatu jenis ilmu yang hendak diraihnya. Di
dunia modern, urusannya lebih ringan, lebih sederhana: membaca.
Bila urusannya menyangkut pengembangan ilmu secara lebih serius, lebih
hakiki, lebih mendalam, dan mengharapkan terjadi suatu penemuan baru, secara
total, utuh baru, suatu ”invention”, atau penemuan baru secara parsial, baru
sebahagian, ” innovation”, maka ”laku” keilmuan yang lebih berat, dan tak
kalah dari laku batin orang Jawa tadi, harus dilakukan suatu penelitian.
Di kalangan para ilmuwan sosial disebut penelitian lapangan. Mereka
yang bergulat di dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan murni, penelitian bisa
dilakukan di laboratorium, dengan suatu percobaan yang ruwet, njlimet, dan
memerlukan ketelitian tingkat tinggi. Tentu saja masih banyak jenis-jenis
penelitian lain, percobaan lain, yang menuntut sikap ilmiah yang tak
main-main. Ini memerlukan suatu kesalehan sosial yang bahkan lebih berat
daripada berdoa tiga hari tiga malam.
Dengan ”laku” ilmiah macam itu suatu bangsa mencapai kemajuan. Bila
suatu bangsa bersaing, melakukan ”fastabikul khairat ”, berlomba di dalam
kebaikan dan amal saleh untuk meninggalkan suatu warisan budaya bagi
bangsanya, atau bagi dunia, maka bangsa itu telah secara nyata telah
mendaftarkan dirinya untuk menjadi bagian elite dunia di bidang keilmuan. Ini
bangsa unggul.
Kita kagum melihatnya. Bisa saja bangsa itu menang, dan menjadi yang
terbaik di dunia. Kita membelalak memandangnya. Bisa juga kalah, dan disebut
bangsa pejuang yang gigih dan tak mau ketinggalan. Dia kalah, tapi bukan
kalah judi yang menjadi sejenis orang ”terkutuk” secara moral keagamaan,
melainkan tetap terpuji. Mata dunia memandangnya, dan media memperingatkan:
bangsa ini boleh jadi tak lama lagi menjadi juara satu di dunia, di bidang
keilmuan.
Betapa harum sebutan yang disandangkan pada namanya. Betapa mulia
bangsa itu di mata Yang Ilahi dan Terpuji, yang dari kesunyian malam di Gua
Hira yang dingin bersabda: bacalah. Kita ini umat yang mendengar seruan itu,
bahkan umat yang secara khusus diseru, diperintah membaca, tapi adakah kita
membaca? Jangan keras-keras menjawabnya, kita semua tahu, kita tidak membaca.
Ah , bukan, kita jarang membaca. Umat yang jarang membaca ya kita ini.
Apakah itu memalukan? Kelihatannya tidak. Kita tidak malu. Dalam banyak
hal, termasuk dalam kejahatan korupsi, kita masih kanak-kanak yang belum
mengenal malu. Kita tenang saja melihat tingkat baca kita berada dalam posisi
110 dari 173 negara. Presiden, menteri pendidikan, rektor-rektor,
kepala-kepala sekolah, guruguru, dan yang lebih penting lagi kepala
perpustakaan dan para stafnya, semua tenang, seolah tak sedikit pun masalah
bangsa yang kita hadapi.
Jika kita membandingkan buku-buku yang harus dibaca di SMA di seluruh
dunia, posisi kita bukan terendah, melainkan terkubur di bawah tanah. Bangsa
yang tingkatnya terendah itu Thailand karena murid-murid SMA hanya wajib
membaca lima buku. Sedikit lebih tinggi dari itu, Malaysia, yang murid-murid
SMA-nya membaca enam buku. Singapura juga hanya enam buku.
Brunei lebih tinggi lagi, tujuh buku. Tapi, mereka ini tergolong
rendah. Tahu, berapa buku yang dibaca bocah-bocah SMA Indonesia? Nol besar.
Nol. Inilah umat yang tidak membaca. Tapi, seluruh bangsa tenang. Tak ada
kegemparan dan keprihatinan secuil pun yang diberitakan media. Tapi, kalau
ada makanan haram tidak diberi label haram, kita bisa geger.
Mengapa umat tidak membaca, tak diberi status hukum ”haram”,
atau”dosa”, sebagaimana umat yang tak menjalankan perintah agama yang kita
teriakteriakkan melalui pengeras suara di masjid-masjid, sebagai, konon,
dakwah? Mengapa Muhammadiyah, ”The
Modernist” diam saja? Apa hanya urusan kapan mulai puasa kapan lebaran,
yang dianggap masalah penting dalam kehidupan umat? Mengapa NU diam saja?
Mengapa menteri pendidikan bisu? Mengapa presiden tak pernah
mempersoalkannya? Seharusnya kita malu dengan Swiss, yang murid SMAnya
membaca 15 buku. Kita juga malu pada Rusia, yang lebih tinggi lagi, 20 buku.
Apalagi Jepang, 22 buku. Belanda,bahkan lebih tinggi lagi yaitu 30 buku dan
AS merupakan yang tertinggi dan tak tertandingi:32 buku. Itulah potret ”human development index, yang disebutkan
Center for Social Marketing”.
Kalau menteri pendidikan tidak malu melihat aib tercoreng di wajah
kita, paling tidak gubernur harus malu. Mungkin, terutama gubernur DKI dulu.
Gubernur bisa mengambil langkah atau kebijakan membaca yang betul-betul
dikontrol secara ketat. Semua kepala sekolah diwajibkan lapor. Kalau kepala
sekolah tak mengajarkan membaca, apa yang diajarkan? Kita ini sudah lama
menjadi juara satu dalam perkara tawuran. Pelajar-pelajar jagonya.
Tapi, sebaiknya sekarang diubah: bikin mereka semua jago membaca.
Wajibkan berapa puluh buku. Wajib benarbenar wajib. Dikontrol dengan baik.
Semua perpustakaan dibuat sibuk. Sehari penuh, dari pagi hingga sore, banyak
warga masyarakat yang datang membaca. Pelajar dan mahasiswa yang paling
utama. Mampukah perpustakaan memanggul mandat, mendukung menteri, mendukung
gubernur, memajukan bangsa? Universitas? Semua bernafsu, tapi hanya omong
kosong mau menjadi ”research
university, world class university”.
Apa tindakannya? Universitas hanya sibuk membangun gedung, tanpa
membangun human resource di dalamnya. Orde Baru dulu siap tinggal landas.
Tinggal landas (mu), mana bisa tinggal landas tanpa membaca tanpa penelitian
yang beneran ? Ada rektor yang peduli pada mahasiswa yang tak membaca?
Kelihatannya tak pernah ada. Rektor juga jarang peduli pada perpustakaan.
Masjid kampus, berteriak kemajuan, bangga kita mayoritas, tapi kita
masih nyata sekali, umat yang tak membaca, bangsa yang tak membaca. Tapi kita
diam saja. Orang perpustakaan pun diam seribu bahasa. Kita tak malu, dan
tetap diam, melihat potret diri kita sebagai umat yang jarang membaca? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar