Hakim
dan Jaksa
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Universitas Padjajdaran
|
KORAN
SINDO, 01 Desember 2014
Judul tulisan tidak ditulis ”Jaksa dan Hakim”, tetapi sebaliknya, tentu
dengan alasan penulis bahwa dalam sistem kekuasaan kehakiman di negara mana
pun, dalam sistem hukum apa pun, cita kepastian, keadilan, dan kemanfaatan
hanya tecermin dari putusan hakim, bukan jaksa.
Selain itu di dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia, dengan
sistem pembuktian negatif, hakimlah penentu bukan jaksa sekalipun dalam hukum
acara pidana Indonesia, hakim tidak dapat mengubah surat dakwaan jaksa
penuntut. Namun jaksa penuntut tidak boleh asal menuntut. Karena jaksa
penuntut juga wajib mempertimbangkan kepastian hukum dan keadilan dalam
membacakan tuntutannya tentang lama pesakitan harus dihukum.
Sistem kekuasaan kehakiman Indonesia tunduk pada ketentuan UUD
1945—khususnya pada Pasal 28D yang menyatakan secara eksplisit, ”Hak setiap
orang untuk memperoleh jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil...,”—sehingga implementasi tugas jaksa penuntut dan hakim adalah
menciptakan kepastian hukum yang adil; bukan kepastian hukum diutamakan,
keadilan dikesampingkan, bukan kepastian dan keadilan diutamakan, tetapi
kemanfaatan tidak juga dipertimbangkan.
Dalam bahasa penulis, tujuan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka
di Indonesia adalah kepastian hukum dalam bingkai keadilan sosial bagi
segenap rakyatnya. Bagaimana konkretnya? Di dalam penuntutan tujuan tersebut
sudah harus tecermin dalam pertimbangan- pertimbangan penuntutan bukan hanya
aspek normatif dengan abstraksi logis semata, tapi juga mempertimbangkan dampak
sosial dan perlindungan setiap masyarakat dan negara sehingga terbuka luas
bagi Jaksa Agung untuk tidak menuntut demi kepentingan umum (asas
oportunitas).
Begitu pula di dalam melaksanakan eksekusi terutama terkait korporasi.
Seorang hakim juga harus bersikap sama, yaitu untuk mencapai tujuan
sebagaimana diuraikan di atas, wajib memperhatikan/mempertimbangkan nilai
keadilan yang berkembang dalam masyarakat tanpa harus mengesampingkan
kepastian hukum.
Hal itu berarti bahwa setiap putusan pengadilan (hakim) harus dapat
dipertanggungjawabkan, tercantum dalam pertimbangan-pertimbangannya (ratio decidendi) yang secara nalar
hukum dan secara objektif memperkuat isi putusannya. Sistem kekuasaan
kehakiman yang ditampilkan dalam proses beracara di pengadilan bukanlah
tontonan sebuah film yang selalu ditunggu-tunggu akhir ceritanya.
Akan tetapi bagi para ahli hukum yang dinanti dan ingin diketahui
adalah isi pertimbangan dalam setiap putusan pengadilan karena di situlah
letak kebenaran materiil dalam setiap perkara pidana. Dalam konteks ini, bagi
para ahli hukum, adalah suatu tirani yudisial jika hakim begitu bebasnya
memutus suatu perkara tanpa mencantumkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang
memadai serta mempertimbangkan alasan-alasan penuntut dan penasihat hukum dan
mengemukakan pertimbangan hukum sendiri.
Karena mengabaikan pertimbangan salah satu pihak, putusan pengadilan
dapat dikatakan cacat hukum dilihat dari aspek teoretik hukum. Peristiwa ini
pernah terjadi pada masa sebelum Revolusi Prancis yang kemudian melahirkan
asas legalitas. Contoh, dalam praktik perkara pidana di mana hakim MA telah
berfungsi sebagai iudex factie
bukan iudex iuris, tampak agresif
untuk mengubah lamanya hukuman yang sejenis dan bahkan sangat agresif telah
mengubah jenis hukuman (pidana) pokok yang telah diputus pada peradilan di
bawahnya.
Mungkin sistem kekuasaan kehakiman yang sangat merdeka dalam praktik
peradilan di semua negara hanya ada di Indonesia. Persoalannya bukan pada
berani atau tidak berani, agresif atau tidak agresif, melainkan pada
keyakinan hakim akan kebenaran materiil dari suatu perkara dan tanggung
jawabnya kepada Tuhan YME.
Bukan pada rasa keadilan korban atau masyarakat semata, apalagi
ketakutan pada pudarnya popularitas dan akseptabilitas masyarakat karena
praktik peradilan bukan sebuah showroom
untuk promosi hakim. Kedudukan jaksa selepas HIR berganti ke KUHAP telah
secara sah diakui independen dalam UU Kejaksaan (2004), tetapi institusi ini
sulit mewujudkannya dalam kenyataan jika masih berada di bawah ”supervisi”
presiden, sekalipun terpilih jaksa agung yang berpengalaman, kompeten,
akuntabel, dan akseptabel.
Dalam sejarah kejaksaan di Indonesia pernah Soeprapto, jaksa agung
1950-an yang berani tegas terhadap kekuasaan, tetapi lebih banyak peristiwa
dengan banyak perkara yang maju-mundur atau berhenti tanpa sebab yang jelas,
apalagi menyentuh kekuasaan atau kroni karena alasan kepentingan. Oleh karena
itu saya imbau berhentilah mempersoalkan penunjukan Prasetyo sebagai jaksa
agung pengganti Basrief, tetapi nantikan dengan sabar dan awasi kinerjanya
paling tidak satu tahun ke depan.
Hakim dan jaksa bukan kawan seiring, melainkan kawan adu keahlian, juga
bukan kawan persekongkolan karena jaksa mewakili kepentingan umum dan negara,
sedangkan hakim mewakili Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu kebenaran yang
hendak dicapai keduanya jauh berbeda satu sama lain; jaksa mengandalkan
kepastian hukum lebih dari keadilan, sedangkan hakim mengandalkan kepastian
hukum dalam bingkai keadilan.
Di luar kedua aktor penegakan hukum tersebut, dalam praktik kita
sama-sama menyaksikan pers dan opini publik sangat kuat memengaruhi kinerja
jaksa dan hakim, bahkan petinggi pemerintah masih bisa ikut berkomentar
terhadap perkara yang tengah diadili; tidak akan kita dapati di negara jiran
dan di mana pun, kecuali di Indonesia.
Negeri yang kita cintai mendambakan kesejahteraan rakyatnya dan
memerlukan sikap negarawan para pemimpinnya sekaligus cendekiawan yang
prokeadilan, bukan semata prorakyat karena di dalam UUD 1945 tidak ditemukan
hukum pro-rakyat kecuali dalam perekonomian nasional.
Penegakan hukum yang prorakyat seharusnya fokus pada bidang pertanahan
untuk kepentingan pertanian dan petani, kehutanan, sumber daya migas, dan
kelautan untuk menambah devisa serta pengembalian kerugian keuangan negara
dari pemberantasan korupsi yang maksimal tidak besar pasak dari tiang
sehingga efek jera dengan menghukum tidak mutatis
mutandis prorakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar