Selasa, 02 Desember 2014

Hakim dan Jaksa

                                                     Hakim dan Jaksa

Romli Atmasasmita  ;   Guru Besar Emeritus Universitas Padjajdaran
KORAN SINDO,  01 Desember 2014

                                                                                                                       


Judul tulisan tidak ditulis ”Jaksa dan Hakim”, tetapi sebaliknya, tentu dengan alasan penulis bahwa dalam sistem kekuasaan kehakiman di negara mana pun, dalam sistem hukum apa pun, cita kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hanya tecermin dari putusan hakim, bukan jaksa.

Selain itu di dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia, dengan sistem pembuktian negatif, hakimlah penentu bukan jaksa sekalipun dalam hukum acara pidana Indonesia, hakim tidak dapat mengubah surat dakwaan jaksa penuntut. Namun jaksa penuntut tidak boleh asal menuntut. Karena jaksa penuntut juga wajib mempertimbangkan kepastian hukum dan keadilan dalam membacakan tuntutannya tentang lama pesakitan harus dihukum.

Sistem kekuasaan kehakiman Indonesia tunduk pada ketentuan UUD 1945—khususnya pada Pasal 28D yang menyatakan secara eksplisit, ”Hak setiap orang untuk memperoleh jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil...,”—sehingga implementasi tugas jaksa penuntut dan hakim adalah menciptakan kepastian hukum yang adil; bukan kepastian hukum diutamakan, keadilan dikesampingkan, bukan kepastian dan keadilan diutamakan, tetapi kemanfaatan tidak juga dipertimbangkan.

Dalam bahasa penulis, tujuan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka di Indonesia adalah kepastian hukum dalam bingkai keadilan sosial bagi segenap rakyatnya. Bagaimana konkretnya? Di dalam penuntutan tujuan tersebut sudah harus tecermin dalam pertimbangan- pertimbangan penuntutan bukan hanya aspek normatif dengan abstraksi logis semata, tapi juga mempertimbangkan dampak sosial dan perlindungan setiap masyarakat dan negara sehingga terbuka luas bagi Jaksa Agung untuk tidak menuntut demi kepentingan umum (asas oportunitas).

Begitu pula di dalam melaksanakan eksekusi terutama terkait korporasi. Seorang hakim juga harus bersikap sama, yaitu untuk mencapai tujuan sebagaimana diuraikan di atas, wajib memperhatikan/mempertimbangkan nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat tanpa harus mengesampingkan kepastian hukum.

Hal itu berarti bahwa setiap putusan pengadilan (hakim) harus dapat dipertanggungjawabkan, tercantum dalam pertimbangan-pertimbangannya (ratio decidendi) yang secara nalar hukum dan secara objektif memperkuat isi putusannya. Sistem kekuasaan kehakiman yang ditampilkan dalam proses beracara di pengadilan bukanlah tontonan sebuah film yang selalu ditunggu-tunggu akhir ceritanya.

Akan tetapi bagi para ahli hukum yang dinanti dan ingin diketahui adalah isi pertimbangan dalam setiap putusan pengadilan karena di situlah letak kebenaran materiil dalam setiap perkara pidana. Dalam konteks ini, bagi para ahli hukum, adalah suatu tirani yudisial jika hakim begitu bebasnya memutus suatu perkara tanpa mencantumkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang memadai serta mempertimbangkan alasan-alasan penuntut dan penasihat hukum dan mengemukakan pertimbangan hukum sendiri.

Karena mengabaikan pertimbangan salah satu pihak, putusan pengadilan dapat dikatakan cacat hukum dilihat dari aspek teoretik hukum. Peristiwa ini pernah terjadi pada masa sebelum Revolusi Prancis yang kemudian melahirkan asas legalitas. Contoh, dalam praktik perkara pidana di mana hakim MA telah berfungsi sebagai iudex factie bukan iudex iuris, tampak agresif untuk mengubah lamanya hukuman yang sejenis dan bahkan sangat agresif telah mengubah jenis hukuman (pidana) pokok yang telah diputus pada peradilan di bawahnya.

Mungkin sistem kekuasaan kehakiman yang sangat merdeka dalam praktik peradilan di semua negara hanya ada di Indonesia. Persoalannya bukan pada berani atau tidak berani, agresif atau tidak agresif, melainkan pada keyakinan hakim akan kebenaran materiil dari suatu perkara dan tanggung jawabnya kepada Tuhan YME.

Bukan pada rasa keadilan korban atau masyarakat semata, apalagi ketakutan pada pudarnya popularitas dan akseptabilitas masyarakat karena praktik peradilan bukan sebuah showroom untuk promosi hakim. Kedudukan jaksa selepas HIR berganti ke KUHAP telah secara sah diakui independen dalam UU Kejaksaan (2004), tetapi institusi ini sulit mewujudkannya dalam kenyataan jika masih berada di bawah ”supervisi” presiden, sekalipun terpilih jaksa agung yang berpengalaman, kompeten, akuntabel, dan akseptabel.

Dalam sejarah kejaksaan di Indonesia pernah Soeprapto, jaksa agung 1950-an yang berani tegas terhadap kekuasaan, tetapi lebih banyak peristiwa dengan banyak perkara yang maju-mundur atau berhenti tanpa sebab yang jelas, apalagi menyentuh kekuasaan atau kroni karena alasan kepentingan. Oleh karena itu saya imbau berhentilah mempersoalkan penunjukan Prasetyo sebagai jaksa agung pengganti Basrief, tetapi nantikan dengan sabar dan awasi kinerjanya paling tidak satu tahun ke depan.

Hakim dan jaksa bukan kawan seiring, melainkan kawan adu keahlian, juga bukan kawan persekongkolan karena jaksa mewakili kepentingan umum dan negara, sedangkan hakim mewakili Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu kebenaran yang hendak dicapai keduanya jauh berbeda satu sama lain; jaksa mengandalkan kepastian hukum lebih dari keadilan, sedangkan hakim mengandalkan kepastian hukum dalam bingkai keadilan.

Di luar kedua aktor penegakan hukum tersebut, dalam praktik kita sama-sama menyaksikan pers dan opini publik sangat kuat memengaruhi kinerja jaksa dan hakim, bahkan petinggi pemerintah masih bisa ikut berkomentar terhadap perkara yang tengah diadili; tidak akan kita dapati di negara jiran dan di mana pun, kecuali di Indonesia.

Negeri yang kita cintai mendambakan kesejahteraan rakyatnya dan memerlukan sikap negarawan para pemimpinnya sekaligus cendekiawan yang prokeadilan, bukan semata prorakyat karena di dalam UUD 1945 tidak ditemukan hukum pro-rakyat kecuali dalam perekonomian nasional.

Penegakan hukum yang prorakyat seharusnya fokus pada bidang pertanahan untuk kepentingan pertanian dan petani, kehutanan, sumber daya migas, dan kelautan untuk menambah devisa serta pengembalian kerugian keuangan negara dari pemberantasan korupsi yang maksimal tidak besar pasak dari tiang sehingga efek jera dengan menghukum tidak mutatis mutandis prorakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar