Mengasingkan
Manusia Indonesia Seutuhnya
Dedi Mulyadi ; Bupati Purwakarta
|
KORAN
SINDO, 01 Desember 2014
Pendidikan merupakan tema strategis dalam setiap perjalanan
kepemimpinan nasional. Hal tersebut disebabkan kualitas kecerdasan sebuah
bangsa sangat bergantung pada fundamen sistem pendidikannya.
Pendidikan nasional bertujuan menciptakan manusia Indonesia seutuhnya.
Manusia Indonesia seutuhnya dalam konsep kenabian dikenal dengan istilah
”insan kamil”, dalam pandangan orang Jawa dikenal dengan sangkan paraning
dumadi, yang berpuncak pada manunggaling kawula Gusti .
Orang Sunda mengajarkan ajaran rawayan jati, yaitu transformasi ajaran
bambu sebagai peranti keberadaban manusia, istilah yang digunakan berbunyi
congo nyurup kana puhu. Congo nyurup kana puhu adalah konsep keutuhan atau
kemanunggalan antara langit dan bumi, ragawi dan rohani, tanpa sekat dan tanpa
batas. Cerita tentang kemanunggalan antara Tuhan dan manusia yang berpuncak
pada sikap zuhud dalam ucapan dan perbuatan melahirkan tafsir sepihak dalam
sudut pandang material.
Hal tersebut terkisah dalam perdebatan tentang asasi dan esensi fitrah
kemanusiaan dalam ketunggalan ketuhanan antara Syekh Siti Jenar dan lingkaran
sahabat-sahabatnya yang sama-sama memiliki pandangan kezuhudan. Tuduhan
kesesatan terhadap ajaran manunggaling Syeh Siti Jenar berpuncak pada
beralihnya alam kefanaan ke alam kekekalan yang dijalani oleh Sang Wali
pembawa ajaran ketunggalan.
Kesempurnaan diri Syekh Siti Jenar memancarkan aroma mewangi dari
sekujur tubuhnya. Orang menyebutnya sekujur tubuhnya tanpa nyawa. Hal
tersebut merupakan simbol sudut pandang hukum ragawi memiliki keterbatasan
cara melihat dan cara mendengar. Penerapan sebuah hukuman atas tuduhan
kesesatan ajaran bisa jadi bertentangan dengan nilai-nilai rububiyah itu
sendiri.
Kisah Syekh Siti Jenar selalu aktual dalam keberadaban perjalanan
panjang sejarah pendidikan kemanusiaan, sudut pandang mata batin kita selalu
ingin mengetahui lebih dalam tentang apa yang diajarkan selama hidupnya.
Kisah legendaris tersebut terjadi di tanah Jawa, tetapi yang paling menarik
orang Sunda telah menamakan dirinya dengan nama Jisimkuring, yang artinya
jirim adalah badan, isim adalah ruh, dan kuring adalah Tuhan.
Secara tata bahasa, baik yang memahami atau tidak, orang Sunda telah
melakukan klaim ketuhanan pada dirinya. Pertanyaan yang muncul dalam diri
saya, apakah orang Sunda mengikuti ajaran Syekh Siti Jenar atau mungkin Syekh
Siti Jenar telah melakukan reaktualisasi kesundaan sebagai ajaran tertua
dalam keberadaban Nusantara? Ajaran yang mengalami penentangan karena faktor
ketidakpahaman lingkungan atau politik kekuasaan yang berkembang saat ini.
Saya tidak akan memberikan kajian atau analisisi lebih tajam ke dalam
hal tersebut karena khawatir redaksinya yang terlalu banyak karena kolomnya
yang terbatas, nanti ceritanya tidak nyampe kepada Tuhan yang pada akhirnya
menjadi hantu dan ciri-ciri hantu. Pertama, kakinya tidak pernah menginjak
tanah. Kedua, keluarnya sejak matahari tenggelam sampai menjelang fajar
karena hantu sangat takut oleh matahari.
Pendidikan sejati mengajarkan keutuhan manusia dengan cikal bakal
penciptaannya, ketika manusia diciptakan dari tanah. Maka itu, manusia harus
dekat dengan tanah. Ketika manusia diciptakan dari air, manusia harus
bersenyawa dengan air. Ketika manusia diciptakan oleh udara, udara merupakan
bagian dari dirinya. Ketika manusia diciptakan oleh matahari, matahari adalah
dirinya.
Dengan pendidikan kita mengajarkan telapak kaki anak-anak kita untuk
melihat tanah secara utuh sehingga ada hubungan kesenyawaan antara subjek dan
objek penciptaan. Masalahnya, seluruh lapisan tanah di perkotaan berlapis
beton dan aspal sehingga sulit telapak kaki anak-anak kita untuk kembali
bersentuhan dengan leluhur penciptaannya, apalagi sekolah-sekolah memberikan
aturan untuk bersepatu, berkaos kaki ke sekolah sebagai bentuk peradaban
baru.
Tah, lamun kieu (nah , kalau begini) sangat sulit mewujudkan keutuhan.
Jadi telapak kaki anak kita geus teu wawuheun jeung taneuh nu sabenerna eta
teh akina sorangan (sudah tidak mengenal tanah yang sebenarnya merupakan
kakeknya sendiri). Bahkan yang lebih tragis lagi banyak sekali anakanak yang
jika kakinya diinjakkan ke tanah matanya terpejam dengan rasa takut, dia
sangat asing dengan leluhurnya sendiri.
Coba kita pikirkan perilaku seperti ini, mirip enggak dengan hantu?
Ketika besar dia tidak ragu lagi untuk menjual sawah, ladang, gunung, hutan,
pulau bahkan samudera yang luas, atas nama ekonomi dan kemakmuran tanpa raut
muka kesedihan sedikit pun. Perilaku yang seperti itu lebih menakutkan dari
pada hantu karena dalam catatan sejarah peradaban hantu, mereka tidak pernah
menjual tanah leluhurnya.
Ketika siang tercipta, Tuhan membuat ruang pada manusia untuk
menggerakkan seluruh badannya agar terbakar kalori dan lemaknya menjadi
aliran keringat kebahagiaan. Ketika siang kita diajarkan untuk makan enak,
anak-anak kita mengalami transformasi nilai pendidikan melalui pergerakan
otak di sayap kiri dan kanannya.
Pengalaman dan penghayatan akan menjernihkan relung hatinya menuju
puncak kecerdasan sebagai manifestasi dari perwujudan amarah Ketuhanan,
berawal dari bangun pagi ketika fajar menyingsing di ufuk timur anak-anak
kita berlari menuju pusatpusat keberadaban dalam kelas-kelas. Dialog antara
guru dan murid penuh canda, tawa dan kebahagiaan.
Saat matahari di atas kepala, mereka berlari menuju rumah peraduan
tempat menyimpan mahligai cinta yang disulam dalam benang-benang kasih sayang
orang tua, mereka merenda, menyulam, mencuci, menyetrika, mengepel,
menggembala, bertani, mengambil kayu bakar sebagai perwujudan sujud dan
pengabdian pada ibu dan bapaknya tanpa harus dikatakan pelanggaran karena
mempekerjakan anak.
Anak tumbuh menjadi bagian energi keluarga, berlari di pematang sawah
pulang membawa belut dan belalang, menyusuri semak pulang membawa rumput
untuk energi peternakan dan membawa kayu bakar untuk energi pembakaran pada
dapur ibu tercintanya. Tak ada subsidi elpiji, tak ada antrean pemegang kupon
daging kurban, tak ada tumpukan utang pada warung makanan dan rentenir, semua
terbebaskan karena kecerdasan Si Budak Angon (si anak gembala).
Seluruh tubuhnya terisi oleh nutrisi alami pancaran energi kasih sayang
seorang ibu. Ketika senja menghampiri mereka mengunci seluruh pintu, berlari
menuju surau, merenda malam dengan untaian kata memanjat menuju tepi langit,
selaksa bintang di langit tak pernah luput dari pandangan, yang mengajarkan
siklus perhitungan musim.
Purnama tersenyum mengajarkan kepastian penanggalan, gelak tawa
terpancar dari bibir manis generasi penjaga malam. Jangkrik berderik
mengantarkan tidur mereka, mengukir indahnya malam dengan mimpi penuh warna,
angin memanjakan mereka menembus bilik rumah tak berbeton, kulukis nama-Mu di
awan tak berjendela. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar