Selasa, 02 Desember 2014

Mengasingkan Manusia Indonesia Seutuhnya

             Mengasingkan Manusia Indonesia Seutuhnya

Dedi Mulyadi  ;   Bupati Purwakarta
KORAN SINDO,  01 Desember 2014

                                                                                                                       


Pendidikan merupakan tema strategis dalam setiap perjalanan kepemimpinan nasional. Hal tersebut disebabkan kualitas kecerdasan sebuah bangsa sangat bergantung pada fundamen sistem pendidikannya.

Pendidikan nasional bertujuan menciptakan manusia Indonesia seutuhnya. Manusia Indonesia seutuhnya dalam konsep kenabian dikenal dengan istilah ”insan kamil”, dalam pandangan orang Jawa dikenal dengan sangkan paraning dumadi, yang berpuncak pada manunggaling kawula Gusti .

Orang Sunda mengajarkan ajaran rawayan jati, yaitu transformasi ajaran bambu sebagai peranti keberadaban manusia, istilah yang digunakan berbunyi congo nyurup kana puhu. Congo nyurup kana puhu adalah konsep keutuhan atau kemanunggalan antara langit dan bumi, ragawi dan rohani, tanpa sekat dan tanpa batas. Cerita tentang kemanunggalan antara Tuhan dan manusia yang berpuncak pada sikap zuhud dalam ucapan dan perbuatan melahirkan tafsir sepihak dalam sudut pandang material.

Hal tersebut terkisah dalam perdebatan tentang asasi dan esensi fitrah kemanusiaan dalam ketunggalan ketuhanan antara Syekh Siti Jenar dan lingkaran sahabat-sahabatnya yang sama-sama memiliki pandangan kezuhudan. Tuduhan kesesatan terhadap ajaran manunggaling Syeh Siti Jenar berpuncak pada beralihnya alam kefanaan ke alam kekekalan yang dijalani oleh Sang Wali pembawa ajaran ketunggalan.

Kesempurnaan diri Syekh Siti Jenar memancarkan aroma mewangi dari sekujur tubuhnya. Orang menyebutnya sekujur tubuhnya tanpa nyawa. Hal tersebut merupakan simbol sudut pandang hukum ragawi memiliki keterbatasan cara melihat dan cara mendengar. Penerapan sebuah hukuman atas tuduhan kesesatan ajaran bisa jadi bertentangan dengan nilai-nilai rububiyah itu sendiri.

Kisah Syekh Siti Jenar selalu aktual dalam keberadaban perjalanan panjang sejarah pendidikan kemanusiaan, sudut pandang mata batin kita selalu ingin mengetahui lebih dalam tentang apa yang diajarkan selama hidupnya. Kisah legendaris tersebut terjadi di tanah Jawa, tetapi yang paling menarik orang Sunda telah menamakan dirinya dengan nama Jisimkuring, yang artinya jirim adalah badan, isim adalah ruh, dan kuring adalah Tuhan.

Secara tata bahasa, baik yang memahami atau tidak, orang Sunda telah melakukan klaim ketuhanan pada dirinya. Pertanyaan yang muncul dalam diri saya, apakah orang Sunda mengikuti ajaran Syekh Siti Jenar atau mungkin Syekh Siti Jenar telah melakukan reaktualisasi kesundaan sebagai ajaran tertua dalam keberadaban Nusantara? Ajaran yang mengalami penentangan karena faktor ketidakpahaman lingkungan atau politik kekuasaan yang berkembang saat ini.  

Saya tidak akan memberikan kajian atau analisisi lebih tajam ke dalam hal tersebut karena khawatir redaksinya yang terlalu banyak karena kolomnya yang terbatas, nanti ceritanya tidak nyampe kepada Tuhan yang pada akhirnya menjadi hantu dan ciri-ciri hantu. Pertama, kakinya tidak pernah menginjak tanah. Kedua, keluarnya sejak matahari tenggelam sampai menjelang fajar karena hantu sangat takut oleh matahari.

Pendidikan sejati mengajarkan keutuhan manusia dengan cikal bakal penciptaannya, ketika manusia diciptakan dari tanah. Maka itu, manusia harus dekat dengan tanah. Ketika manusia diciptakan dari air, manusia harus bersenyawa dengan air. Ketika manusia diciptakan oleh udara, udara merupakan bagian dari dirinya. Ketika manusia diciptakan oleh matahari, matahari adalah dirinya.

Dengan pendidikan kita mengajarkan telapak kaki anak-anak kita untuk melihat tanah secara utuh sehingga ada hubungan kesenyawaan antara subjek dan objek penciptaan. Masalahnya, seluruh lapisan tanah di perkotaan berlapis beton dan aspal sehingga sulit telapak kaki anak-anak kita untuk kembali bersentuhan dengan leluhur penciptaannya, apalagi sekolah-sekolah memberikan aturan untuk bersepatu, berkaos kaki ke sekolah sebagai bentuk peradaban baru.

Tah, lamun kieu (nah , kalau begini) sangat sulit mewujudkan keutuhan. Jadi telapak kaki anak kita geus teu wawuheun jeung taneuh nu sabenerna eta teh akina sorangan (sudah tidak mengenal tanah yang sebenarnya merupakan kakeknya sendiri). Bahkan yang lebih tragis lagi banyak sekali anakanak yang jika kakinya diinjakkan ke tanah matanya terpejam dengan rasa takut, dia sangat asing dengan leluhurnya sendiri.

Coba kita pikirkan perilaku seperti ini, mirip enggak dengan hantu? Ketika besar dia tidak ragu lagi untuk menjual sawah, ladang, gunung, hutan, pulau bahkan samudera yang luas, atas nama ekonomi dan kemakmuran tanpa raut muka kesedihan sedikit pun. Perilaku yang seperti itu lebih menakutkan dari pada hantu karena dalam catatan sejarah peradaban hantu, mereka tidak pernah menjual tanah leluhurnya.

Ketika siang tercipta, Tuhan membuat ruang pada manusia untuk menggerakkan seluruh badannya agar terbakar kalori dan lemaknya menjadi aliran keringat kebahagiaan. Ketika siang kita diajarkan untuk makan enak, anak-anak kita mengalami transformasi nilai pendidikan melalui pergerakan otak di sayap kiri dan kanannya.

Pengalaman dan penghayatan akan menjernihkan relung hatinya menuju puncak kecerdasan sebagai manifestasi dari perwujudan amarah Ketuhanan, berawal dari bangun pagi ketika fajar menyingsing di ufuk timur anak-anak kita berlari menuju pusatpusat keberadaban dalam kelas-kelas. Dialog antara guru dan murid penuh canda, tawa dan kebahagiaan.

Saat matahari di atas kepala, mereka berlari menuju rumah peraduan tempat menyimpan mahligai cinta yang disulam dalam benang-benang kasih sayang orang tua, mereka merenda, menyulam, mencuci, menyetrika, mengepel, menggembala, bertani, mengambil kayu bakar sebagai perwujudan sujud dan pengabdian pada ibu dan bapaknya tanpa harus dikatakan pelanggaran karena mempekerjakan anak. 

Anak tumbuh menjadi bagian energi keluarga, berlari di pematang sawah pulang membawa belut dan belalang, menyusuri semak pulang membawa rumput untuk energi peternakan dan membawa kayu bakar untuk energi pembakaran pada dapur ibu tercintanya. Tak ada subsidi elpiji, tak ada antrean pemegang kupon daging kurban, tak ada tumpukan utang pada warung makanan dan rentenir, semua terbebaskan karena kecerdasan Si Budak Angon (si anak gembala).

Seluruh tubuhnya terisi oleh nutrisi alami pancaran energi kasih sayang seorang ibu. Ketika senja menghampiri mereka mengunci seluruh pintu, berlari menuju surau, merenda malam dengan untaian kata memanjat menuju tepi langit, selaksa bintang di langit tak pernah luput dari pandangan, yang mengajarkan siklus perhitungan musim.

Purnama tersenyum mengajarkan kepastian penanggalan, gelak tawa terpancar dari bibir manis generasi penjaga malam. Jangkrik berderik mengantarkan tidur mereka, mengukir indahnya malam dengan mimpi penuh warna, angin memanjakan mereka menembus bilik rumah tak berbeton, kulukis nama-Mu di awan tak berjendela.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar