Revolusi
Kebudayaan
Yudhistira ANM Massardi ; Sastrawan
|
KOMPAS,
02 Desember 2014
Mari kita renungkan kembali jati diri kita sebagai sebuah bangsa yang
belum selesai. Dari masa silam, kita selalu membanggakan Kerajaan Sriwijaya
yang berjaya di sekitar Palembang pada 600-1400. Kita juga membanggakan
Majapahit di sekitar Surabaya pada kurun 1293-1519. Kita pun membanggakan
kemegahan Borobudur dan Prambanan di sekitar Yogyakarta.
Terhadap tonggak-tonggak masa silam itu, kita (ingin) menyatakan diri
sebagai bagian darinya: sebagai generasi pemilik dan penerus. Namun, pada
saat yang sama, kita juga menyadari bahwa itu adalah hasil karya ”mereka” dan
tak ada hubungannya dengan ”kita”. Lalu, muncullah pertanyaan eksistensial
itu: ”Jadi, sebenarnya, siapakah kita?”
”Simsalabim”
Dari sejarah Indonesia modern, kita belajar tentang sekelompok priayi
di ”Sekolah Dokter Jawa” (STOVIA) di Jakarta yang—pada 20 Mei 1908—mendirikan
perkumpulan Boedi Oetomo. Para pemuda itu tercerahkan dan menyadari bahwa
mereka adalah bagian dari sebuah nasion besar yang harus memerdekakan diri
dari belenggu penjajahan Belanda. Kesadaran itu kemudian berlanjut dengan
berdirinya partai-partai politik yang berjuang bagi kemerdekaan Indonesia.
Tonggak penting berikutnya adalah ikrar Sumpah Pemuda yang dirumuskan
dalam Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 di Jakarta. Sebuah penegasan
tentang semangat persatuan dalam keindonesiaan: bertumpah darah, berbangsa,
dan menjunjung bahasa satu: Indonesia.
Kita tahu bahwa Sumpah Pemuda itu tak disertai semacam petunjuk
pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) bagi pengejawantahannya.
Alhasil, ikrar itu seolah-olah menjadi sesuatu yang taken for granted,
diterima begitu saja sebagai sebuah kebenaran faktual.
Sebuah masalah eksistensial mahabesar dan mendasar, yang menjangkau
sekitar 13.500 pulau, 700 bahasa, dan 300 kelompok etnis/suku bangsa dari
Sabang sampai Merauke, dalam dua hari, bagaikan disulap dengan mantra
simsalabim, dinyatakan sudah langsung melebur menjadi satu: Indonesia!
Padahal, kita tahu, itulah isu-isu yang jadi sumber pemicu konflik
primordial-sektarian yang sangat sensitif hingga sekarang.
Memang tak terbayangkan, bagaimana mungkin ketiga isu besar yang
diikrarkan Sumpah Pemuda itu bisa menjadi, tanpa sebuah proses transformasi
sosial-politik-budaya yang panjang dan sukar. Karena itu, menganggap masalah
besar itu selesai begitu saja pada 28 Oktober 1928 adalah tindakan yang,
selain absurd, tidak bertanggung jawab. Ini harus segera disadari dan
dijadikan sebagai agenda Revolusi Kebudayaan yang belum usai.
Menjadi ”orang Indonesia” itu sungguh tidak mudah. Adalah tidak mudah
menjawab pertanyaan orang asing: ”Bagaimana Anda mengidentifikasi diri sebagai
seorang Indonesia?” Karena, di balik kata ”Indonesia” itu berderet sejumlah
fakta yang harus ditaruh sebagai
catatan kaki, atau masing-masing memerlukan penjelasan sebuah buku.
Bagi mayoritas bangsa Indonesia, langkah pertama untuk menjadi orang Indonesia
adalah wajib mempelajari bahasa Indonesia sebagai ”bahasa asing pertama”.
Langkah kedua, menjadikan diri sebagai ”orang asing pertama” di lingkungan
budaya lokal. Langkah ketiga, membayangkan bersaudara dengan orang-orang yang
hidup di daerah yang jauh, yang bahasanya sukar dipahami dan masakannya
rasanya ”aneh”. Langkah keempat, harus menerima dan menghormati agama, norma,
hukum, dan adat-istiadat yang beraneka rupa banyaknya sebagai bagian dari
identitas diri, dan seterusnya.
Selain Sumpah Pemuda, ideologi negara Pancasila dan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika adalah kesepakatan-kesepakatan abstrak yang harus dikonkretkan
melalui kerja besar seluruh bangsa di dalam arahan pemerintahan yang sadar,
paham, penuh kesungguhan, dan konsisten sepanjang hayat menjadi Indonesia.
Republik
hidroponik
Namun, sekali lagi, ”menjadi Indonesia” itu bukan perkara mudah. Para
bapak pendiri bangsa pun tak selesai merumuskannya.
Dalam sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), 29 Mei 1954, dengan agenda Dasar Negara Indonesia,
Mohamad Yamin menegaskan: ”Negara baru yang akan kita bentuk adalah suatu
Negara Kebangsaan Indonesia… yang berketuhanan.” Itu bukanlah kelanjutan dari
Kerajaan Syailendra-Sriwijaya ataupun Kerajaan Majapahit. Karena, tradisi
kenegaraan kedua kerajaan itu, ”dengan Negara Indonesia Merdeka tidak
tersambung, melainkan sudah putus,” katanya. Itu karena, ”aspirasi kita
sekarang jauh berlainan daripada zaman yang dahulu itu. Agama sudah
berlainan, dunia pikiran sudah berbeda, dan susunan dunia sudah berubah.”
Tak jelas berapa kuat pemikiran Yamin itu memengaruhi 65 anggota
peserta sidang BPUPKI. Satu hal yang pasti, hingga disepakatinya Pancasila
sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi, tak ada lagi diskusi
yang merujuk Sriwijaya dan Majapahit sebagai contoh negara yang berjaya
berkat keunggulan armada lautnya. Dengan kata lain, sejak awal berdirinya,
Republik Indonesia tak memberi tempat lagi pada semangat bahari dan
kemaritiman. Melupakan ”nenek moyang”-nya yang ”orang pelaut”. Seperti
dikatakan Yamin, hubungannya ”sudah putus”! Artinya, kita pun menjadi warga
negara ”republik hidroponik” yang akarnya tidak membumi.
Setelah runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit, sesungguhnya semangat
kemaritiman masih kuat dikibarkan oleh Kesultanan Demak sebagai penerus
Majapahit. Pelabuhan-pelabuhan besar pun masih berperan penting bagi hubungan
perdagangan domestik dan internasional, seperti Cirebon, Sunda Kelapa, dan
terutama Banten. Namun, setelah Demak runtuh dan dilanjutkan Kerajaan Pajang
pada 1549, dan Kesultanan Banten runtuh pada 1813, boleh dikatakan
berakhirlah semangat bahari di Nusantara.
Pusat Kerajaan Pajang tak lagi di pesisir, tetapi di pedalaman Jawa
Tengah. Sultan Ageng Tirtayasa pun menarik diri dari pantai dan masuk ke
Serang, membuka sawah baru secara spektakuler. Menghentikan penanaman lada,
komoditas yang jadi rebutan bangsa Eropa yang datang dengan kapal-kapal
dagang dan kapal perang dari Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda, yang
merangsang ketamakan. Sejak itu, kita tidak lagi berorientasi ke laut yang
terbuka, tetapi mengolah tanah yang terbatas di pedalaman!
Revolusi
belum selesai
Ketika Bung Karno berkali-kali menyatakan bahwa ”revolusi belum
selesai”, seharusnya itu dalam konteks transformasi segenap nilai yang hendak
diraih oleh ikrar Sumpah Pemuda dan pengamalan filosofi Pancasila. ”Revolusi
belum selesai” yang dimaksudkannya seharusnya adalah Revolusi Kebudayaan!
Yakni, gerakan perubahan fundamental yang cepat untuk mengubah paradigma primordial-sektarian
ke lingkup nasional dan mondial. Mengubah paradigma maritim ke paradigma
agraris. Dengan begitu, bangsa Indonesia yang baru dilahirkan memperoleh
cukup waktu dan ilmu untuk menjadi warga dunia yang maju dan bermartabat.
Pemutusan hubungan dengan masa silam yang berbasis kemaritiman
(Sriwijaya dan Majapahit) seperti yang dianjurkan Yamin pun tak diikuti
langkah-langkah fundamental yang bertanggung jawab: apakah kita akan
melakukan Revolusi Agraria atau Revolusi Industri. Akibatnya, kita melewati
jembatan emas kemerdekaan dengan kebingungan, dan akhirnya baku-bunuh sendiri
di depan pintu gerbang dunia baru: hingga sekarang!
Bahkan, kita kini berada di ambang jurang negara gagal. Pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla memang memberikan harapan baru. Dengan konsep hendak
menjadikan Indonesia sebagai ”poros maritim dunia,” Joko Widodo diharapkan
bisa melaksanakan bukan hanya Revolusi Mental, melainkan sekaligus juga
Revolusi Bahari! Dan itu adalah Revolusi Kebudayaan! Perubahan paradigma: dari
kekacauan paradigma agraris-industri yang inkonsisten ke paradigma semesta
kemaritiman yang terpadu. Menjadi ”poros maritim” bukan hanya dalam
pengertian bisnis-perdagangan, melainkan juga geopolitik dan budaya.
Nyi
Loro Kidul
Kegagalan Revolusi Kebudayaan ala Mao Zedong di Tiongkok adalah karena
ia kaku, bengis, dan berdarah. Revolusi Kebudayaan Jokowi hanya akan berhasil
jika digerakkan dengan pembaruan sistem pendidikan, dan dimulai sejak
pendidikan anak usia dini. Dimulai dengan pelajaran berenang, makan ikan, dan
tamasya yang menyenangkan ke tepi laut. Bersamaan dengan itu, industri
pembuatan kapal digalakkan, seperti yang dilakukan Sriwijaya dan Majapahit,
seperti yang dilakukan Kekaisaran Ottoman sejak 1518 untuk menguasai Eropa,
dan dilakukan Jepang di awal Reformasi Meiji pada 1868.
Tentu, tidak seperti negara-negara penakluk itu, armada laut yang harus
kita bangun adalah lebih untuk memaknai substansi Sumpah Pemuda dan
Pancasila: persatuan, keadilan, dan kemakmuran bagi semua anak bangsa dari Sabang
hingga Merauke. Sementara, secara mental, itu untuk menepis legenda Nyi Loro
Kidul yang membuat anak-anak kita takut ke laut. Juga untuk menepis legenda
Malin Kundang yang memberi contoh negatif bahwa anak yang merantau melalui
laut akan durhaka kepada ibunya.
Itu artinya, pemerintah harus menggerakkan rakyat Indonesia untuk
membangun dan menggali kembali semua potensi yang diwariskan para
nenek-moyangnya. Sebab, Jalesveva Jayamahe artinya adalah ’justru di laut
kita jaya’. Bukan di sawah atau di kebun yang membuat kita jadi petani yang
harus bersusah payah mencangkul, menanam, dan memanen hasilnya dalam waktu
berbulan-bulan, dan kemudian lahannya kian menyempit karena diwariskan kepada
anak-cucu-cicit, dan akhirnya dijual, disulap jadi ojek sepeda motor! Dan
kini sawahnya pun berubah menjadi mal! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar