Mengakhiri
Kurikulum 2013
Acep Iwan Saidi ; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB
|
KOMPAS,
02 Desember 2014
Sambutan Mendikbud Anies Baswedan pada Hari Guru (25/11/2014) menarik disimak.
Inilah pidato seorang menteri yang di dalam dirinya tecermin ”jiwa keguruan”.
Sapaannya terhadap guru pada seluruh teks itu bukan semata-mata karena
pidatonya ditulis dalam kaitan Hari Guru, melainkan di dalamnya terpancar
keikhlasan menempatkan sosok guru di dalam pikiran dan hatinya. ”Kita harus mengubah diri, kita harus
meninggikan dan memuliakan guru. Pemerintah di semua level harus menempatkan
guru dengan sebaik-baiknya dan menunaikan secara tuntas semua kewajibannya
bagi guru,” demikian antara lain Mendikbud.
Ungkapan itu menegaskan bahwa Guru pada kepemimpinan Baswedan sebagai
Mendikbud hendak diposisikan sebagai pusat dalam dunia pendidikan. Guru akan
kembali ditulis dengan G (kapital) seperti pernah terjadi dalam sejarah,
yakni sebagai sosok yang ”digugu dan ditiru” (diteladani), tentu dengan
penyesuaian ruang dan waktu kini. Hari ini, guru yang layak diteladani adalah
ia yang memiliki kapabilitas diri kreatif. Diri kreatif adalah pribadi yang
memiliki keberanian membebaskan pikirannya dari berbagai kungkungan.
Basis kreativitas, sebagaimana disebut IP Pavlov yang dielaborasi Toeti
Heraty (STA, 1983) adalah sebuah kondisi subyek berani melakukan tindakan
restrukturisasi. Berani keluar dari belenggu konvensi. Mengendalikan sistem,
bukan sebaliknya.
Guru
sebagai subyek
Ketika guru didudukkan pada posisi utama, hal-hal di luar guru tentu
menjadi nomor dua. Situasi ini dengan sendirinya juga meniscayakan bahwa
pembangunan karakter guru menjadi yang utama. Jika diyakini bahwa pendidikan
yang baik itu membebaskan, pihak pertama yang harus ”dibebaskan” adalah guru.
Tak mungkin siswa merasa terbebas jika gurunya sendiri terbelenggu. Guru yang
terbelenggu cenderung membelenggu siswa.
Tantangannya, pada saat yang sama subyek selalu merupakan hasil
”pemanggilan” sistem. Althusser (1984) menyebut dua apparatus/lembaga
pembentuk subyek dalam negara, yakni repressive state apparatus (RSA) dan
ideological state apparatus (ISA). RSA adalah lembaga yang menginterpelasi
subyek secara represif. Ini persis dilakukan rezim militeristik Orde Baru
saat menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada warga. Rakyat dipancasilakan
dengan cara-cara yang justru tak berpancasila. Sementara lembaga seperti
rumah ibadah, media massa, dan sekolah disebut Althusser sebagai lembaga
negara yang memanggil subyek secara persuasif. Lembaga ini bersifat menggoda,
menjadikan individu sebagai si Pulan atau si Palen tanpa merasa ada yang
mengajarkannya.
Berdasarkan teori itu, posisi guru menjadi kontradiktif. Di satu sisi
ia ditempatkan pada lembaga yang diandaikan bekerja secara persuasif, tetapi
pada sisi lain ia sendiri sosok yang dibentuk oleh sistem yang dengan caranya
sendiri bersifat represif. Dengan demikian, guru menjadi predikat dengan
subyek yang ”dibelah” terus-menerus. Di satu sisi ia dituntut menjadi pribadi
berbudi, tetapi pada tepi lain pribadinya diacak-acak oleh sistem tak
berbudi. Guru pun jadi sosok yang ambivalen, terbelah (divided self). Dengan demikian, secara filosofis dan psikologis,
guru di negeri ini menjadi metafora dari tragedi subyek kemanusiaan.
Sistem yang tak berbudi sedemikian faktanya belum berubah sejak awal
rezim Orde Baru hingga kini. Bentuk konkret pelaksanaan sistem ini adalah
pemberlakuan kurikulum yang terlalu jauh mengacak-acak cara berpikir guru. Kurikulum
menjadi penjelmaan negara yang menakutkan. Ia menjadi sebuah ”kontrol
disiplin” yang terus-menerus mengawasi guru. Walhasil, secara filosofis dan
psikologis, guru sesungguhnya tak pernah mengajar dengan subyektivitas
dirinya yang diandaikan sebagai diri yang kreatif. Sistemlah (kurikulum) yang
mengajar. Hal ini belum ditambah dengan kehadiran buku ajar yang juga diatur
sedemikian ketat oleh penguasa.
Kurikulum
yang sofistik
Bertolak dari analisis tersebut, perubahan kurikulum yang selalu
dilakukan setiap penggantian menteri hanya dimungkinkan oleh dua alasan.
Pertama, kegagalan tiap menteri-baru dalam melihat mekanisme kerja sistem.
Alih-alih memahami, menteri itu sendiri menjadi individu yang dikendalikan
sistem sehingga ia hanya bisa melihat lapis permukaan sistem yang akibatnya
hanya bisa bekerja secara administratif. Ia bekerja tanpa modal ideologi.
Kedua, kesengajaan dengan maksud mempertahankan kekuasaan (status quo). Di situ, perubahan
hanyalah pengalihan dengan cara seolah-olah memberi harapan baru untuk
perubahan. Ini adalah sisi lain kezaliman kekuasaan di hadapan rakyatnya. Di
situ, tim perumus kurikulum tidak lain adalah para sofis. Sofisme,
sebagaimana dijelaskan A Setyo Wibowo (Basis,
No 11-12/63/2014) adalah cara berpikir dan berargumentasi yang njlimet, canggih, sangat rasional dan
pintar, tetapi sebenarnya palsu dan membuat orang bingung.
Harapan baru tapi palsu
sedemikian tampak jelas pada Kurikulum 2013 yang kontroversial itu. Saya tak
ingin menambah ulasan kritis terhadapnya karena sudah terlalu banyak yang
melakukannya, termasuk saya sendiri. Hal yang perlu disampaikan, kurikulum
ini disebut perumusnya sebagai model yang bisa menjawab tantangan abad ke-21.
Namun, ambisi ini sekaligus menempatkan guru seolah-olah tak tahu masalah
abad ke-21 sehingga mereka perlu diberi petunjuk yang rigid, otaknya perlu diarahkan hingga pada cara-cara meyakini
keberadaan Tuhan.
Akibatnya sudah bisa dibaca, ke depan guru akan kian diatur. Subyek
guru akan kian lesap. Hal ini berarti Kurikulum 2013 akan kian menjauhkan
cita-cita Mendikbud sebagaimana dikutip di awal. Dari sisi substansinya
sendiri, sebagaimana dikatakan Kiai Maman Imanulhaq, kurikulum bertendensi
religius itu justru meninggalkan
nilai-nilai religiositas, kecuali jika yang dimaksud religiositas hanya
hal-hal permukaan. Kurikulum 2013, kata pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan
Majalengka, yang kini anggota DPR (2014-2019) itu, mencerminkan nilai
religiositas simbolik yang meninggalkan substansi ajaran agama. Walhasil,
Kurikulum 2013 menjadi kurikulum sofistik, mengelabui.
Posisi Kurikulum 2013 sedemikian sesungguhnya juga telah melanggar
UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003. Pasal
38 Ayat 1 jelas mengatur bahwa pemerintah hanya menetapkan kerangka dasar dan
struktur kurikulum (Standar Isi), sedangkan kurikulumnya ”dikembangkan sesuai
dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau
kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi
untuk pendidikan menengah” (ayat 2).
Jelas UU itu memosisikan guru sejalan dengan cita-cita Mendikbud. Di
sekolah, guru dijadikan subyek yang leluasa menyalurkan potensi dan kemampuan
kreatifnya. Saat siswa bertemu dengan subyek guru seperti itu, sekolah
niscaya akan jadi miniatur dunia pembebasan. Jadi, tunggu apa lagi, Pak
Menteri. Untuk memosisikan guru pada kursi utama pendidikan, Anda tinggal
melaksanakan UU itu. Ubahlah posisi guru dengan kebijakan, bukan hanya dengan
kata-kata sebagaimana dilakukan pejabat sebelum Anda. Nasi belum jadi bubur. Kurikulum 2013 masih bisa
dibatalkan. Dengan ini cukup sudah dunia pendidikan dikelabui penguasa. Ke
depan, jangan ada lagi rezim kurikulum. Maka, mari akhiri Kurikulum 2103 dan
mulailah sekolah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar