Kembar
Siam Dikdasmen-Dikti
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 01 Desember 2014
BELUM
lagi Kementerian Ristek dan Dikti bekerja dan hanya berselang sebulan setelah
dilantik Presiden Joko Widodo, Menteri Ristek dan Dikti M Nasir berkirim
surat ke Presiden perihal ketidakcocokan nomenklatur kementeriannya. Nasir
mengaku tak sreg dan meminta nama kementeriannya diubah dari Kemenristek dan
Dikti menjadi Kemendikti dan Ristek. Konon alasannya sangat sederhana, yaitu
berangkat dari fakta fi losofi s bahwa dikti itu hulu, sedangkan ristek ialah
hilirnya. Nomenklatur saat ini ialah kebalikannya, ristek hulunya dan dikti
ialah hilirnya. Jadilah hilir mudik.
Pentingkah
persoalan itu diubah lagi? Saya tak melihat kebutuhan fundamental atasnya. Yang
saya tahu beberapa rektor memang protes karena merasa kata pendidikan tinggi
dianggap kurang penting jika dibandingkan dengan riset dan teknologi. Padahal
pelaku riset ialah (kebanyakan) sivitas akademika perguruan tinggi (PT).
Penempatan pendidikan tinggi setelah riset dan teknologi tidak hanya
menimbulkan kesalahan argu men logis, tetapi juga akan menimbulkan kesan
seolah-olah pendidikan tinggi ialah bagian dari riset dan teknologi. Otakatik
semacam itu dalam jangka panjang akan menimbulkan efek psikologis yang tak
baik bagi pendidikan tinggi kita.
Seharusnya
menteri ristekdikti dan para rektor bertanya mengapa mereka dipisahkan dari
akar pendidikan itu sendiri, yaitu pendidikan dasar dan menengah?
Jangan-jangan seperti sering kita saksikan, memang hampir tak ada PT kita
yang mau peduli dengan keberadaan sekolah? Selain Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional yang menyebutkan pendidikan itu dari dasar hingga tinggi,
memisahkan mereka sama saja dengan lepas tanggung jawab terhadap input-an PT
di masa depan, yaitu para siswa yang ada di sekolah tingkat dasar dan
menengah. Lah, kok bisa?
Terus
terang tadinya saya berharap implementasi kurikulum 2013 (K-13) akan banyak
dibantu PT, dengan Kemendikbud (Kemenbuddikdasmen) memperluas Badan
Standardisasi Pendidikan Nasional (BSNP) ke tingkat perguruan tinggi. Per
guruan tinggi harus menjadi bagian keseharian para guru dalam meningkatkan
kualitas mereka, dengan BSNP pada tingkat PT akan memperoleh dana hibah untuk
melakukan riset pada tingkat sekolah serta melakukan pendampingan secara
langsung ke sekolah.Terbayang oleh saya akan banyak dosen dan guru besar
terlibat dalam mempersiapkan generasi muda yang bersekolah di ratusan ribu
sekolah dasar dan menengah.
Pendampingan
Saya
teringat ketika di 2012 berkunjung ke Faculty
of Education Hiroshima University. Saya cemburu setengah mati melihat
para profesor dan doktor di sana menyediakan waktu mereka 4 jam per hari untuk
turun membina langsung sekolah-sekolah yang mereka jadikan binaan. Dalam 4
jam per hari, selain mengajar dan membe rikan pendampingan serta in-service training, para profesor tak
segan menjadi kepala sekolah untuk tingkat dasar, menengah pertama, dan menengah
atas. Sangat sulit melihat dosen di Indonesia memiliki kepedulian terhadap
sekolah di sekitar kampus mereka karena biasanya jika seseorang sudah menjadi
dosen atau profesor, mereka menganggap tak memiliki lagi tanggung jawab
terhadap sekolah dasar dan menengah.
Kecemasan
lainnya ialah jika ada bentuk kerja sama pendampingan antara sekolah dan PT,
komando pasti datang dari dua menteri yang tentu saja memiliki visi-misi dan
prioritas yang berbeda. Di tengah kegalauan banyak pihak akan peran dan
fungsi pendidikan dasar-menengah yang terputus dengan pendidikan tinggi,
pemisahan keduanya seakan memupuskan harapan sekolah untuk memperoleh bantuan
pendampingan yang layak dari para dosen yang mau terjun langsung menjadi
pengawas sekolah.
Melihat
dikdasmen dan dikti saat ini seperti melihat bayi kembar siam yang cacat dan
harus dioperasi. Saya khawatir ketika operasi berlangsung dan selesai,
jangan-jangan si kembar siam ini ada yang mati ketika dipisahkan.
Keterputusan hubungan secara administratif dan kurikuler nyaris terputus.
Apalagi
hubungan emosional yang tak pernah terjalin antara pendidikan tinggi kita dan
pendidikan dasar dan menengah. Menjadi tanda tanya besar ingin dibawa ke mana
sesungguhnya arah perubahan PT kita di Indonesia, jika urusan domestiknya saja
belum selesai.
Jelas
perubahan nomenklatur tak serta-merta akan mengubah kondisi PT kita yang
memang sedang mengalami krisis. Dalam A
New Vision of the Public University, Michael Burawoy (2011) menyatakan
saat ini universitas publik (PTN) di berbagai belahan dunia sedang mengalami
krisis karena ada benturan berbagai kepentingan dengan kebijakan negara. Pada
satu sisi, posisi penting universitas publik melahirkan keinginan agar
universitas mampu mengeluarkan gagasan dan solusi berguna bagi masyarakat. Di
sisi lain, pemotongan anggaran negara dan invasi konsep ‘pasar’ pada setiap
dimensi universitas telah mendorong universitas publik melakukan
komersialisasi pendidikan.
Konsep
‘otonomi universitas’ kemudian melahirkan tuntutan kebebasan melakukan apa
pun yang dinilai mampu mendorong performa universitas, di antaranya melalui
restrukturisasi fakultas-fakultas, mempekerjakan pengajar paruh waktu, outsourcing pekerjaan jasa, dan
menaikkan biaya kuliah mahasiswa. Dalam semangat komersialisasi universitas,
pengetahuan tak lagi dianggap barang publik yang seharusnya disediakan cabang
institusi negara bagi semua orang. Komodifikasi ilmu pengetahuan telah
mengubah wajah universitas publik menjadi sekadar pabrik pengetahuan, toko
kelontong dari segala jenis ilmu dan keterampilan.
Jika PT
kita belum selesai dengan urusan domestik mereka, bagaimana mungkin tradisi
riset akan berkembang? Apalagi pisah paksa dikdasmen dan dikti itu pasti akan
semakin memperlebar jarak kualitas sekolah satu dengan lainnya karena sekolah
tetap tak memiliki pendamping dan pengawas yang tangguh secara akademik. Semoga Presiden Jokowi mau mengubah
kembali wajah Kemendikbud kita ke corak aslinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar