Selasa, 02 Desember 2014

Kembar Siam Dikdasmen-Dikti

                                 Kembar Siam Dikdasmen-Dikti

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  01 Desember 2014

                                                                                                                       


BELUM lagi Kementerian Ristek dan Dikti bekerja dan hanya berselang sebulan setelah dilantik Presiden Joko Widodo, Menteri Ristek dan Dikti M Nasir berkirim surat ke Presiden perihal ketidakcocokan nomenklatur kementeriannya. Nasir mengaku tak sreg dan meminta nama kementeriannya diubah dari Kemenristek dan Dikti menjadi Kemendikti dan Ristek. Konon alasannya sangat sederhana, yaitu berangkat dari fakta fi losofi s bahwa dikti itu hulu, sedangkan ristek ialah hilirnya. Nomenklatur saat ini ialah kebalikannya, ristek hulunya dan dikti ialah hilirnya. Jadilah hilir mudik.

Pentingkah persoalan itu diubah lagi? Saya tak melihat kebutuhan fundamental atasnya. Yang saya tahu beberapa rektor memang protes karena merasa kata pendidikan tinggi dianggap kurang penting jika dibandingkan dengan riset dan teknologi. Padahal pelaku riset ialah (kebanyakan) sivitas akademika perguruan tinggi (PT). Penempatan pendidikan tinggi setelah riset dan teknologi tidak hanya menimbulkan kesalahan argu men logis, tetapi juga akan menimbulkan kesan seolah-olah pendidikan tinggi ialah bagian dari riset dan teknologi. Otakatik semacam itu dalam jangka panjang akan menimbulkan efek psikologis yang tak baik bagi pendidikan tinggi kita.

Seharusnya menteri ristekdikti dan para rektor bertanya mengapa mereka dipisahkan dari akar pendidikan itu sendiri, yaitu pendidikan dasar dan menengah? Jangan-jangan seperti sering kita saksikan, memang hampir tak ada PT kita yang mau peduli dengan keberadaan sekolah? Selain Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan pendidikan itu dari dasar hingga tinggi, memisahkan mereka sama saja dengan lepas tanggung jawab terhadap input-an PT di masa depan, yaitu para siswa yang ada di sekolah tingkat dasar dan menengah. Lah, kok bisa?

Terus terang tadinya saya berharap implementasi kurikulum 2013 (K-13) akan banyak dibantu PT, dengan Kemendikbud (Kemenbuddikdasmen) memperluas Badan Standardisasi Pendidikan Nasional (BSNP) ke tingkat perguruan tinggi. Per guruan tinggi harus menjadi bagian keseharian para guru dalam meningkatkan kualitas mereka, dengan BSNP pada tingkat PT akan memperoleh dana hibah untuk melakukan riset pada tingkat sekolah serta melakukan pendampingan secara langsung ke sekolah.Terbayang oleh saya akan banyak dosen dan guru besar terlibat dalam mempersiapkan generasi muda yang bersekolah di ratusan ribu sekolah dasar dan menengah.

Pendampingan

Saya teringat ketika di 2012 berkunjung ke Faculty of Education Hiroshima University. Saya cemburu setengah mati melihat para profesor dan doktor di sana menyediakan waktu mereka 4 jam per hari untuk turun membina langsung sekolah-sekolah yang mereka jadikan binaan. Dalam 4 jam per hari, selain mengajar dan membe rikan pendampingan serta in-service training, para profesor tak segan menjadi kepala sekolah untuk tingkat dasar, menengah pertama, dan menengah atas. Sangat sulit melihat dosen di Indonesia memiliki kepedulian terhadap sekolah di sekitar kampus mereka karena biasanya jika seseorang sudah menjadi dosen atau profesor, mereka menganggap tak memiliki lagi tanggung jawab terhadap sekolah dasar dan menengah.

Kecemasan lainnya ialah jika ada bentuk kerja sama pendampingan antara sekolah dan PT, komando pasti datang dari dua menteri yang tentu saja memiliki visi-misi dan prioritas yang berbeda. Di tengah kegalauan banyak pihak akan peran dan fungsi pendidikan dasar-menengah yang terputus dengan pendidikan tinggi, pemisahan keduanya seakan memupuskan harapan sekolah untuk memperoleh bantuan pendampingan yang layak dari para dosen yang mau terjun langsung menjadi pengawas sekolah.

Melihat dikdasmen dan dikti saat ini seperti melihat bayi kembar siam yang cacat dan harus dioperasi. Saya khawatir ketika operasi berlangsung dan selesai, jangan-jangan si kembar siam ini ada yang mati ketika dipisahkan. Keterputusan hubungan secara administratif dan kurikuler nyaris terputus.

Apalagi hubungan emosional yang tak pernah terjalin antara pendidikan tinggi kita dan pendidikan dasar dan menengah. Menjadi tanda tanya besar ingin dibawa ke mana sesungguhnya arah perubahan PT kita di Indonesia, jika urusan domestiknya saja belum selesai.

Jelas perubahan nomenklatur tak serta-merta akan mengubah kondisi PT kita yang memang sedang mengalami krisis. Dalam A New Vision of the Public University, Michael Burawoy (2011) menyatakan saat ini universitas publik (PTN) di berbagai belahan dunia sedang mengalami krisis karena ada benturan berbagai kepentingan dengan kebijakan negara. Pada satu sisi, posisi penting universitas publik melahirkan keinginan agar universitas mampu mengeluarkan gagasan dan solusi berguna bagi masyarakat. Di sisi lain, pemotongan anggaran negara dan invasi konsep ‘pasar’ pada setiap dimensi universitas telah mendorong universitas publik melakukan komersialisasi pendidikan.

Konsep ‘otonomi universitas’ kemudian melahirkan tuntutan kebebasan melakukan apa pun yang dinilai mampu mendorong performa universitas, di antaranya melalui restrukturisasi fakultas-fakultas, mempekerjakan pengajar paruh waktu, outsourcing pekerjaan jasa, dan menaikkan biaya kuliah mahasiswa. Dalam semangat komersialisasi universitas, pengetahuan tak lagi dianggap barang publik yang seharusnya disediakan cabang institusi negara bagi semua orang. Komodifikasi ilmu pengetahuan telah mengubah wajah universitas publik menjadi sekadar pabrik pengetahuan, toko kelontong dari segala jenis ilmu dan keterampilan.

Jika PT kita belum selesai dengan urusan domestik mereka, bagaimana mungkin tradisi riset akan berkembang? Apalagi pisah paksa dikdasmen dan dikti itu pasti akan semakin memperlebar jarak kualitas sekolah satu dengan lainnya karena sekolah tetap tak memiliki pendamping dan pengawas yang tangguh secara akademik. Semoga Presiden Jokowi mau mengubah kembali wajah Kemendikbud kita ke corak aslinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar