Pabrikan
Spiritual…
Jean Couteau ; Penulis kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
30 November 2014
Percaya
tidak, refleksi sarkastik saya di bawah ini bermula dari halaman depan edisi
Jakarta Post tanggal 16 Mei 2012, yang kebetulan saya angkat dari tumpukan
sampah. Yang tampak ialah foto seorang petani Bali yang mengiring seekor
babi, yang terlihat dari belakang, diimbuhi sepasang buah [….] yang amat
besar. Cukup besar untuk membuat ”merah” pipi para pendukung undang-undang
anti pornografi yang tidak munafik.
Entah
kenapa, foto itu lolos sensor. Apa yang dilakukan pak tani itu? Dia membawa
babi jantannya berkeliling, mengunjungi babi-babi betina yang menantinya
dengan (tidak) sabar. Tak ada yang terlalu menggegerkan di situ. Tetapi yang
betul-betul mengagetkan ialah bahwa babi tersebut bukanlah babi Bali yang
asli, yang hitam itu, melainkan babi ”bule”, atau kadang Indo, seperti
terlihat dari kulitnya yang rada merah. Memang, babi ”pribumi” asli Bali kini
hanya tersisa di beberapa desa pedalaman. Korban tak terduga dari
globalisasi.
Bila
”bule-isasi” babi Bali bisa terjadi tanpa menuai protes dari siapa pun,
jangan-jangan hal serupa terjadi pada budayanya.
Bali
kini banyak didatangi orang bule yang berharap menemukan di situ, bukanlah
kebudayaan Bali senyatanya, melainkan suatu ketimuran sebagaimana
diangan-angankan. Dan oleh karena ketimuran itu tidak ditemukan, ya,
dipabrikasi saja. Maka jangan terlalu banyak berharap dari turis itu. Mereka
tidak mungkin meresapi indahnya doa yang dilantunkan Arjuna pada Batara Siwa
dalam kekawin Arjuna Wiwaha: Wyapi-wyapaka
sarining paramatatwa durlabha kita (Diliputi-meliputi sarinya semua, tak
terjangkaulah Kau [Tuhan]). Terlalu rumit bagi mereka. Tetapi bila Anda
berjalan-jalan di sekitar Ubud, atau sempat mengintip dari belakang tembok
vila tertentu di Canggu, tidak mustahil Anda akan melihat orang bule, matanya
melotot seperti kerasukan roh yang tidak jelas, yang tengah melakukan gerak
tubuh yang aneh atau mengucapkan kata-kata di dalam bahasa dewa entah
mana—yang mereka tidak mengerti.
Sejatinya, apakah sebagai penggemar Falun Gong, pengikut Rinpoche ini atau
Sadhu itu, ”fans” Anand Krishna, bahkan pengagum Rumi atau siapa pun guru lainnya,
semuanya tengah bersaing di seputar kebenaran ”lain” yang muncul dari suatu
Timur imajiner kreasi Barat. Hanya pengikut shaman Kamchatka
dan—anehnya—mistikus Kristen—yang tidak ditemukan di situ.
Ada
permintaan, maka muncullah penawarannya. Dilengkapi jenggot dan pakaian serba
putih serta dibantu sedikit bahasa Inggris, guru-guru lokal bermunculan,
ditemani bermacam-macam healer, penasihat cosmic energy, dan suhu beraneka
bangsa lainnya. Kehampaan spiritual dunia modern Barat menjadi kesempatan lahan
bisnis spiritual ala ”Timur”! Ada kulinernya, festivalnya, wanginya,
kundalini seksualnya, bahkan ”pembersihan” ususnya—antara lain. Oleh beberapa
kalangan dicap ”creative industry”!!!
Lucu, kan?
Tak
kurang menarik ragam Bali yang dipabrikasi untuk turis di salah satu kebun
binatang, ya kebun binatang pulau itu. Proses pabrikasinya total berbeda.
Tidak lagi spontan nan nyeleneh,
tetapi buah dari ratusan jam rapat, dengan palu final oleh investor. Apa
gerangan itu?
Suatu
pertunjukan yang luar biasa, perfect,
profesional, dengan partisipasi tidak kurang dari 150 penari, pemusik, dan
dalang Bali. Namanya ”Bali Agung”. Ceritanya? Kisah cinta mistis antara raja
Bali Sri Jayapangus dan putri Tiongkok. Yang kerap tampil di Bali di dalam
wujud Barong Landung. Hasilnya? Baguuus. Luar biasa. Tetapi…, disusun, dari
sudut struktur narasi dan presentasinya, bukan sebagai pertunjukan teater
Bali, melainkan sebagai show Dysneyland yang diramu sedemikian rupa agar
memenuhi selera dari dua pangsa pasaran sekaligus: Barat dan Timur
(Tiongkok), serta untuk memberikan pada orang Bali ilusi bahwa mereka bukan
sekadar pelengkap penderita dari pariwisata. Lihai bener!
Singkatnya, sementara kultur agrarisnya digerus urbanisasi, Bali
berhadapan dengan dua mesin giling kapitalisme mutakhir: New Age, pertanda krisis spiritual negeri-negeri maju, dan Old Capital, pertanda kerakusan
materialnya. Adakah cara untuk menanggulanginya? Saya tidak tahu. Tetapi
melihat bahwa budaya Barat versi miring ini tengah mengglobal, izinkanlah
saya untuk berkata pada kalian, teman-teman Indonesia: selamat datang, masa
depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar