Busana
Presiden
Bre Redana ; Penulis kolom “CATATAN MINGGU” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
30 November 2014
Yang
membuat saya menyenangi Presiden RI sekarang terutama adalah gayanya berpakaian.
Dibandingkan sebagian besar pejabat tinggi apalagi para pengacara yang demen
berpakaian kinclong, setidaknya gaya berpakaian sederhananya tidak membuat
rakyat seperti saya merasa sebagai gembel.
Tentu
banyak orang tahu kaitan busana dengan perubahan sosial politik. Kekuasaan,
dari waktu ke waktu ingin menunjukkan kekuatan termasuk kekuatan uang, antara
lain dengan pakaiannya. Dalam sejarah Eropa—di mana kita mewarisi jas yang
perfect, elegan, dan membosankan itu—dikenal Louis XIV yang dijuluki ”the consumer king”, si raja
konsumerisme. Dia memanjakan diri dengan busana, perhiasan, rumah, furnitur,
semuanya luar biasa mewah. Kalangan bangsawan yang coba masuk dalam
lingkarannya dan mengikuti gaya hidupnya berisiko bangkrut.
Kekuasaannya
berakhir, tetapi tidak demikian dengan warisannya, berupa semangat
konsumerisme. Rakyat telanjur dipameri dan diberi contoh apa itu kemewahan.
Muncul dan menguatnya kaum borjuis menggantikan kalangan istana yang berarti
juga perubahan etos kerja tetap menyisakan semangat konsumerisme dan
hedonisme tadi.
Kelompok
borjuis dan kaya baru inilah yang disoroti oleh Veblen dalam bukunya yang
terkenal, The Theory of the Leisure
Class : sebuah studi mengenai kaum kaya baru di Amerika pada zamannya.
Efisiensi Amerika kala itu dikhawatirkan Veblen terlalu dibayang-bayangi oleh
apa yang diistilahkannya sebagai ”conspicuous
consumption”, maksudnya kurang lebih konsumsi berlebihan.
Di Eropa
sendiri, selain di Perancis, kecenderungan berpakaian superperlente terjadi
di Inggris, di mana kemudian dikenal istilah dandyism pada awal abad ke-19.
George Brummel, dia bukan seniman, bukan filosof, sebutlah sekadar sosialita,
sebagaimana kecenderungan para sosialita, ingin mendapatkan pengakuan lewat
busananya yang perlente, mewah, dandi. Dandyism sedikit memiliki pernyataan
sosial ketika dihubungkan dengan pengarang terkenal, ganteng pula, Oscar
Wilde. Ia seorang homoseks.
Fashion,
untuk dunia lelaki, memang selalu ambigu. Di dalamnya seakan melekat
penolakan: lelaki sejati tidak perlu fashion. Lelaki berdandan untuk
kenyamanan dan kepraktisan, bukan untuk style atau gaya. Fashion atau style
adalah dunia perempuan.
Benarkah?
Nyatanya kemapanan dan konservatisme fashion lelaki guncang ketika sekitar
akhir 1960-an mulai dipertanyakan relasi antara lelaki dan perempuan. Dalam
masalah jender ini digugat dominasi kaum lelaki terhadap perempuan. Di sini
busana lelaki diam-diam mencoba menyesuaikan diri, tidak lagi terlalu kaku
dan formal. Bahkan di zaman merebaknya Generasi Bunga, lelaki mengenakan kaus
dengan warna-warni hasil celupan, terkenal dengan istilah tie dyed.
Kebebasan
dan otentisitas dalam berpakaian menjadi ciri gerakan budaya tanding pada
tahun 1960-an itu. Lelaki mengenakan baju berbunga-bunga, perempuan tidak
mengenakan bra. Hemmm....
Kenyataannya,
bukankah busana memang sering ada kaitan dengan politik identitas? Soekarno
menggalang solidaritas perjuangan di masa kemerdekaan dengan mengajak kaum
lelaki mengenakan peci. Sejumlah aktivis perempuan di Indonesia menyatakan
dirinya sebagai feminis dengan kegemaran mengenakan kain dan menyelempangkan
selendang.
Revolusi
mental pun menggunakan asosiasi warna, yang melekat di benak orang selama
puluhan tahun: putih untuk kerja kantoran, biru untuk teknik dan mesin, khaki
untuk tugas-tugas operasional. Kemeja lelaki dengan lengan digulung, bermakna
efisiensi dan keprigelan.
Yang hebat perancang seperti Romeo Gigli. Ia ciptakan image cewek cantik, tubuh hanya
dibalut kemeja lelaki kedodoran, untuk parfum perempuan yang baunya agak
maskulin. Aih, sangat menggoda, dan itulah kenyataan dunia kita: antara
perjuangan dan konsumsi.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar