Senin, 01 Desember 2014

Busana Presiden

                                                      Busana Presiden

Bre Redana  ;   Penulis kolom “CATATAN MINGGU” Kompas Minggu
KOMPAS,  30 November 2014

                                                                                                                       


Yang membuat saya menyenangi Presiden RI sekarang terutama adalah gayanya berpakaian. Dibandingkan sebagian besar pejabat tinggi apalagi para pengacara yang demen berpakaian kinclong, setidaknya gaya berpakaian sederhananya tidak membuat rakyat seperti saya merasa sebagai gembel.

Tentu banyak orang tahu kaitan busana dengan perubahan sosial politik. Kekuasaan, dari waktu ke waktu ingin menunjukkan kekuatan termasuk kekuatan uang, antara lain dengan pakaiannya. Dalam sejarah Eropa—di mana kita mewarisi jas yang perfect, elegan, dan membosankan itu—dikenal Louis XIV yang dijuluki ”the consumer king”, si raja konsumerisme. Dia memanjakan diri dengan busana, perhiasan, rumah, furnitur, semuanya luar biasa mewah. Kalangan bangsawan yang coba masuk dalam lingkarannya dan mengikuti gaya hidupnya berisiko bangkrut.

Kekuasaannya berakhir, tetapi tidak demikian dengan warisannya, berupa semangat konsumerisme. Rakyat telanjur dipameri dan diberi contoh apa itu kemewahan. Muncul dan menguatnya kaum borjuis menggantikan kalangan istana yang berarti juga perubahan etos kerja tetap menyisakan semangat konsumerisme dan hedonisme tadi.

Kelompok borjuis dan kaya baru inilah yang disoroti oleh Veblen dalam bukunya yang terkenal, The Theory of the Leisure Class : sebuah studi mengenai kaum kaya baru di Amerika pada zamannya. Efisiensi Amerika kala itu dikhawatirkan Veblen terlalu dibayang-bayangi oleh apa yang diistilahkannya sebagai ”conspicuous consumption”, maksudnya kurang lebih konsumsi berlebihan.

Di Eropa sendiri, selain di Perancis, kecenderungan berpakaian superperlente terjadi di Inggris, di mana kemudian dikenal istilah dandyism pada awal abad ke-19. George Brummel, dia bukan seniman, bukan filosof, sebutlah sekadar sosialita, sebagaimana kecenderungan para sosialita, ingin mendapatkan pengakuan lewat busananya yang perlente, mewah, dandi. Dandyism sedikit memiliki pernyataan sosial ketika dihubungkan dengan pengarang terkenal, ganteng pula, Oscar Wilde. Ia seorang homoseks.

Fashion, untuk dunia lelaki, memang selalu ambigu. Di dalamnya seakan melekat penolakan: lelaki sejati tidak perlu fashion. Lelaki berdandan untuk kenyamanan dan kepraktisan, bukan untuk style atau gaya. Fashion atau style adalah dunia perempuan.

Benarkah? Nyatanya kemapanan dan konservatisme fashion lelaki guncang ketika sekitar akhir 1960-an mulai dipertanyakan relasi antara lelaki dan perempuan. Dalam masalah jender ini digugat dominasi kaum lelaki terhadap perempuan. Di sini busana lelaki diam-diam mencoba menyesuaikan diri, tidak lagi terlalu kaku dan formal. Bahkan di zaman merebaknya Generasi Bunga, lelaki mengenakan kaus dengan warna-warni hasil celupan, terkenal dengan istilah tie dyed.

Kebebasan dan otentisitas dalam berpakaian menjadi ciri gerakan budaya tanding pada tahun 1960-an itu. Lelaki mengenakan baju berbunga-bunga, perempuan tidak mengenakan bra. Hemmm....

Kenyataannya, bukankah busana memang sering ada kaitan dengan politik identitas? Soekarno menggalang solidaritas perjuangan di masa kemerdekaan dengan mengajak kaum lelaki mengenakan peci. Sejumlah aktivis perempuan di Indonesia menyatakan dirinya sebagai feminis dengan kegemaran mengenakan kain dan menyelempangkan selendang.

Revolusi mental pun menggunakan asosiasi warna, yang melekat di benak orang selama puluhan tahun: putih untuk kerja kantoran, biru untuk teknik dan mesin, khaki untuk tugas-tugas operasional. Kemeja lelaki dengan lengan digulung, bermakna efisiensi dan keprigelan.

Yang hebat perancang seperti Romeo Gigli. Ia ciptakan image cewek cantik, tubuh hanya dibalut kemeja lelaki kedodoran, untuk parfum perempuan yang baunya agak maskulin. Aih, sangat menggoda, dan itulah kenyataan dunia kita: antara perjuangan dan konsumsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar