Kamis, 18 Desember 2014

Mengambil Momentum Pelemahan Rupiah

                Mengambil Momentum Pelemahan Rupiah

Enny Sri Hartati  ;   Direktur Indef
MEDIA INDONESIA,  17 Desember 2014

                                                                                                                       


MENJELANG akhir 2014, perekonomian Indonesia dilanda kekhawatiran. Salah satu pemicunya ialah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang semakin tajam dan menembus level terendah sejak 2008.
Pada perdagangan Senin 15 Desember 2014, rupiah mencapai 12.700 per dolar melesat jauh dari asumsi pada APBNP 2014 sebesar 10.050 per dolar. Apalagi rupiah sudah mengalami tekanan sepanjang Januari-Desember 2014 dengan rata-rata kurs rupiah terhadap dolar sebesar 11.851.Padahal dalam periode yang sama tahun sebelumnya, rata-rata kurs rupiah sebesar 10.373. Artinya, rupiah terus melemah sebesar 14,25% secara year on year.

Sinyal bahwa rupiah akan terus melemah sebenarnya sudah terlihat sejak akhir September, ketika kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar (Jisdor) sempat mencatat nilai rupiah anjlok hingga 12.900.

Tak dimungkiri saat ini hampir seluruh mata uang dunia mengalami pelemahan terhadap dolar. Hal itu tidak terlepas dari membaiknya perekonomian Amerika Serikat yang ditandai dengan berkurangnya tingkat pengangguran dari 10% di 2009 menjadi 5,8% pada November 2014, ditambah pertumbuhan ekonomi yang mencapai 3,5% di triwulan III 2014.

Capaian tersebut membuat rencana The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan (The Fed fund rate) menjadi semakin nyata. Indikasi itu semakin kuat setelah isu beberapa pejabat The Fed akan menaikkan suku bunga menjadi 1,375% di akhir 2015. Kontan, kebijakan tersebut dikhawatirkan akan mendorong dolar kembali `pulang kampung' ke Amerika Serikat setelah lama terparkir di negara-negara ekonomi baru termasuk Indonesia sejak 2008.

Jika demikian, persoalan paling mendasar sebenarnya bukan mengapa rupiah mengalami pelemahan, melainkan mengapa rupiah mengalami tekanan yang tajam dan menjadi mata uang yang sangat rapuh. Titik krusialnya tentu terletak pada persoalan fundamental, yaitu tekanan defisit transaksi berjalan, terutama defisit neraca perdagangan. Titik fokus persoalan itu yang selalu tidak mendapat perhatian dan solusi yang mendasar.

Hampir setiap terjadi fluktuasi nilai tukar rupiah, penjelasan persoalan gejolak eksternal sampai justifikasi intrik politik yang berdampak spekulasi dan sentimen pasar lebih mengemuka daripada langkah-langkah konkret agar keluar dari belitan defisit neraca perdagangan.

Tekanan rupiah di akhir tahun tentu tidak terlepas dari tingginya utang jatuh tempo baik pemerintah maupun swasta. Juga siklus rutin pembayaran dividen BUMN maupun perusahaan swasta.Terlebih sekitar 83,34% dari total utang luar negeri Indonesia menggunakan dolar. Posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir September 2014 mencapai US$292,3 miliar, meningkat US$6,1 miliar atau 2,1% jika dibandingkan dengan akhir triwulan II 2014. Kondisi tersebut semakin diperparah fakta bahwa 16,72% dari total utang luar negeri Indonesia bersifat jangka pendek. Apalagi dari total utang luar negeri swasta sebesar US$70,4 miliar ternyata hanya 13,6% yang telah melakukan lindung nilai (hedging).

Melemahnya nilai rupiah tentu tidak boleh dipandang sebelah mata. Meski Bank Indonesia dan pemerintah menganggap bahwa kondisi itu hanya bersifat sementara, sejumlah dampak langsung membutuhkan langkah antisipasi pemerintah segera.

Terutama imbasnya terhadap harga kebutuhan pokok yang masih mengalami ketergantungan impor dan keberlangsungan industri yang didominasi bahan baku dan barang modal impor.Apalagi dunia usaha sudah terperangkap penaikan harga BBM dan tarif listrik sehingga sulit untuk kembali menaikkan harga sebagai akibat lonjakan dolar.

Namun demikian, pelemahan rupiah sebenarnya selalu dapat dilihat seperti dua mata koin yang berbeda. Di samping dampak negatif yang dihasilkan, melemahnya rupiah justru dapat menjadi momentum untuk memperbaiki struktur perekonomian Indonesia yang rapuh.

Bagaimanapun, faktor utama kerapuhan rupiah ialah defisit neraca perdagangan yang disebabkan tingginya tekanan impor. Hampir semua industri manufaktur mempunyai impor konten yang tinggi. Tidak saja ketergantungan terhadap bahan baku, tapi juga barang modal dan teknologi. Belum lagi, tekanan impor produk pertanian yang terus membengkak, baik produk pangan, holtikultura dan peternakan.

Pelemahan rupiah justru dapat digunakan untuk memperbaiki struktur industri untuk fokus pada industri substitusi impor dan industri hilir yang berbahan baku lokal. Tingginya harga barang impor tentu menjadi kesempatan emas bagi para produsen lokal dalam memasarkan produknya di tingkat domestik maupun di pasar global.

Pemerintah harus segera melakukan terobosan strategi dan program guna memberikan insentif, stimulus dan fasilitas bagi para pelaku usaha sektor riil. Termasuk koordinasi dengan kebijakan moneter agar segera mengendorkan likuiditas sebagai bentuk dukungan pembiayaan. Utamanya dukungan bagi industri substitusi impor dan industri hilir yang berorientasi ekspor.

Penguatan potensi sumber daya domestik akan lebih memberikan kepastian di tengah pelemahan kondisi global. Dengan demikian, terdapat dua momentum besar yang dapat diambil dari pelemahan rupiah, yaitu upaya reformasi struktural ekonomi Indonesia dan memperkukuh kekuatan fundamental rupiah di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar