Kamis, 18 Desember 2014

Mencegah Booming Korupsi Dana Desa

                     Mencegah Booming Korupsi Dana Desa

Siti Marwiyah  ;   Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr Soetomo Surabaya; Peneliti/Penulis Buku/Tutor dalam Pelatihan dan Sosialisasi UU Desa di Jawa Timur
MEDIA INDONESIA,  17 Desember 2014

                                                                                                                       


SALAH satu ancaman yang terbilang serius dan sangat istimewa (extraordinary) di 2015 ialah gelontoran dana dari pemerintah sekitar Rp1 miliar ke tiap-tiap desa. Mengapa menjadi ancaman? Bukankah pembangunan atau kesejahteraan masyarakat desa bisa ditingkatkan? Jika mengacu ke realitas masih kuatnya sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang yang sedang berkuasa atau menjabat, tidak terkecuali yang menjadi kepala desa, sekretaris desa, dan seterusnya, potensi mereka terjerat dalam praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sangatlah besar.
Kita tidak bisa mengabaikan doktrin Lord Acton (1834-1902) yang menyebut power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely, atau kekuasaan itu cenderung untuk digunakan korupsi atau kekuasaan yang mutlak cenderung menjadikan seseorang berbuat korupsi secara mutlak pula. Kekuasaan di tingkat desa juga istimewa. Siapa yang jadi penguasa di desa, ia mendapatkan kepercayaan secara yuridis untuk memerankan diri dalam mengelola dan mengendalikan sumber daya desa, termasuk sumber dana yang diperoleh dari pemerintahan pusat atau daerah.
Menurut Hendra Darmawan (2013), secara garis besar terdapat dua jenis korupsi; (1) korupsi karena kebutuhan (corruption by need) dan (2) korupsi karena keserakahan (corruption by greed). Jenis pertama jelas dilakukan lantaran keterdesakan ekonomi, sehingga oknum tersebut melakukan penyelewengan sampai merugikan negara. Biasanya dilakukan secara individu, tidak sistematis, dan dalam skala yang tidak terlalu besar.
Corruption by greed adalah jenis korupsi yang cukup `menggemaskan' karena dilakukan individu/sekelompok orang yang sebenarnya tidak kekurangan (kaya), tetapi karena serakah dan memiliki kesempatan, terjadilah korupsi. Kekuasaanlah yang kerap disebut-sebut sebagai katalisator seseorang berbuat korup. Korupsi jenis itu biasanya dilakukan secara sistematis, skala besar, berjamaah dan berefek domino yang kuat.
Jabatan kepala desa pun potensial menjadi katalisator terjadinya korupsi. Ketika belum ada tawaran dana Rp1 miliar lebih, tidak sedikit kepala desa jadi tersangka akibat menyalahgunakan anggaran APBN/ APBD. Secara yuridis, salah satu poin yang paling krusial dalam UU Desa (UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa) terkait dengan alokasi anggaran untuk desa. Dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 tentang Keuangan Desa, jumlah alokasi anggaran yang langsung ke desa ditetapkan sebesar 10% dari dan di luar dana transfer daerah. Kemudian dipertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan kesulitan geografi.Diperkirakan, setiap desa akan mendapatkan dana sekitar Rp1,4 miliar berdasarkan perhitungan 10%, yang totalitasnya dari APBN sebesar Rp59,2 triliun, yang ditambah dengan dana dari APBD sebesar 10% sekitar Rp45,4 triliun sehingga total dana untuk desa Rp104,6 triliun yang akan dibagi ke 72 ribu desa seluruh Indonesia.
Uang sebesar itu di tangan para penguasa desa, jelas, menjadi godaan yang mengerikan. Uang negara yang didistribusikan ke desa boleh jadi bukan sebagai `berkah' bagi para masyarakat, melainkan `musibah' akibat disalahgunakan aparat desa.Perlukah ditunda pencairannya/dibatalkan sampai aparat desa benarbenar menyadari itu amanat untuk kemakmuran rakyat?
Put not your trust in money, but put your money in trust, atau jangan letakkan kepercayaan Anda kepada uang, tetapi letakkan uang Anda dalam kepercayaan, demikian Oliver Wendell Holmes mengingatkan kalangan pemegang kekuasaan, bahwa kredibilitas tidak boleh hancur karena uang, tetapi berfungsinya uang harus dijaga dalam bingkai kredibilitas.
Dana (uang) yang sudah diproyeksikan tersalur di 2015 nanti tidak perlu ditunda/dibatalkan karena takut akan kemungkinan ancaman dari para aparat desa yang terjerumus dalam penyalahgunaan kekuasaannya. Mereka sudah diberi kepercayaan untuk menjadi penguasa sehingga biarlah uang itu menjadi eksaminasi moral kepemimpinan mereka.
Memang masyarakat layak dibayang-bayangi ketakutan terhadap kemungkinan terjadi booming korupsi yang membuat konstruksi kehidupan desa menjadi karut-marut. Tetapi mereka juga sudah mendapatkan banyak pelatihan dalam mengelola keuangan secara jujur, transparan, dan akuntabel. Memang fakta mengisyaratkan kebenaran ketakut an publik tentang kemungkinan adanya kecenderungan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, khususnya dalam pengelolaan uang bernilai miliaran ru piah, pasalnya tidak sedikit dijumpai kasus korupsi yang melibatkan para aparat desa yang kalkulasi uangnya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan yang akan diterimakan ke desa di 2015 nanti.
Ada suatu kesalahan anggapan yang dibenarkan para oknum, yaitu aji mumpung dan teladan buruk dari pemegang kekuasaan yang levelnya lebih tinggi. Dalam ranah aji mumpung ialah senyampang mereka berkuasa, yang kekuasaannya digunakan sebagai kendaraan untuk mengeruk atau menjarah kekayaan rakyat sebanyak-banyaknya.
Untuk mencegah kemungkinan aparat desa mengadopsi keteladanan kriminal dan memanfaatkan aji mumpung, bukan cuma aparat penegak hukum semata yang dituntut maksimal mengawal penyaluran dan pengelolaan dana desa miliaran rupiah itu, melainkan juga setiap elemen masyarakat berkewajiban `memolisikan' dirinya untuk cerdas membaca, mengawasi, mempertanyakan, dan secepatnya melaporkan jika diduga terindikasi adanya penyalahgunaan.
Supaya masyarakat kapabel dalam `memolisikan' dirinya itu, elemen-elemen penting rakyat harus mendapatkan pelatihan tentang strategi yang tepat dalam melakukan pengawasan, di samping dalam pelatihan itu diberikan informasi secara terbuka tentang objek yang menjadi konsentrasi dari penyaluran dana miliaran rupiah itu. Dus, `pemolisian' masyarakat ini akan menjadi model pencegahan terhadap terjadinya dan mem-booming-nya korupsi sampai ke tingkat desa.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar