Mencegah
Booming Korupsi Dana Desa
Siti Marwiyah ; Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr Soetomo Surabaya;
Peneliti/Penulis Buku/Tutor dalam Pelatihan dan Sosialisasi UU Desa di Jawa Timur
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Desember 2014
SALAH satu ancaman yang
terbilang serius dan sangat istimewa (extraordinary)
di 2015 ialah gelontoran dana dari pemerintah sekitar Rp1 miliar ke tiap-tiap
desa. Mengapa menjadi ancaman? Bukankah pembangunan atau kesejahteraan
masyarakat desa bisa ditingkatkan? Jika mengacu ke realitas masih kuatnya
sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang yang sedang berkuasa atau
menjabat, tidak terkecuali yang menjadi kepala desa, sekretaris desa, dan
seterusnya, potensi mereka terjerat dalam praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sangatlah besar.
Kita tidak bisa mengabaikan
doktrin Lord Acton (1834-1902) yang menyebut power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely,
atau kekuasaan itu cenderung untuk digunakan korupsi atau kekuasaan yang
mutlak cenderung menjadikan seseorang berbuat korupsi secara mutlak pula.
Kekuasaan di tingkat desa juga istimewa. Siapa yang jadi penguasa di desa, ia
mendapatkan kepercayaan secara yuridis untuk memerankan diri dalam mengelola
dan mengendalikan sumber daya desa, termasuk sumber dana yang diperoleh dari
pemerintahan pusat atau daerah.
Menurut Hendra Darmawan (2013),
secara garis besar terdapat dua jenis korupsi; (1) korupsi karena kebutuhan (corruption by need) dan (2) korupsi
karena keserakahan (corruption by greed).
Jenis pertama jelas dilakukan lantaran keterdesakan ekonomi, sehingga oknum
tersebut melakukan penyelewengan sampai merugikan negara. Biasanya dilakukan
secara individu, tidak sistematis, dan dalam skala yang tidak terlalu besar.
Corruption
by greed adalah jenis korupsi yang cukup `menggemaskan' karena dilakukan
individu/sekelompok orang yang sebenarnya tidak kekurangan (kaya), tetapi
karena serakah dan memiliki kesempatan, terjadilah korupsi. Kekuasaanlah yang
kerap disebut-sebut sebagai katalisator seseorang berbuat korup. Korupsi
jenis itu biasanya dilakukan secara sistematis, skala besar, berjamaah dan
berefek domino yang kuat.
Jabatan kepala desa pun
potensial menjadi katalisator terjadinya korupsi. Ketika belum ada tawaran
dana Rp1 miliar lebih, tidak sedikit kepala desa jadi tersangka akibat
menyalahgunakan anggaran APBN/ APBD. Secara yuridis, salah satu poin yang
paling krusial dalam UU Desa (UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa) terkait dengan
alokasi anggaran untuk desa. Dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 tentang
Keuangan Desa, jumlah alokasi anggaran yang langsung ke desa ditetapkan
sebesar 10% dari dan di luar dana transfer daerah. Kemudian dipertimbangkan
jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan kesulitan
geografi.Diperkirakan, setiap desa akan mendapatkan dana sekitar Rp1,4 miliar
berdasarkan perhitungan 10%, yang totalitasnya dari APBN sebesar Rp59,2
triliun, yang ditambah dengan dana dari APBD sebesar 10% sekitar Rp45,4 triliun
sehingga total dana untuk desa Rp104,6 triliun yang akan dibagi ke 72 ribu
desa seluruh Indonesia.
Uang sebesar itu di tangan para
penguasa desa, jelas, menjadi godaan yang mengerikan. Uang negara yang
didistribusikan ke desa boleh jadi bukan sebagai `berkah' bagi para
masyarakat, melainkan `musibah' akibat disalahgunakan aparat desa.Perlukah
ditunda pencairannya/dibatalkan sampai aparat desa benarbenar menyadari itu
amanat untuk kemakmuran rakyat?
Put not
your trust in money, but put your money in trust, atau
jangan letakkan kepercayaan Anda kepada uang, tetapi letakkan uang Anda dalam
kepercayaan, demikian Oliver Wendell Holmes mengingatkan kalangan pemegang
kekuasaan, bahwa kredibilitas tidak boleh hancur karena uang, tetapi
berfungsinya uang harus dijaga dalam bingkai kredibilitas.
Dana (uang) yang sudah
diproyeksikan tersalur di 2015 nanti tidak perlu ditunda/dibatalkan karena
takut akan kemungkinan ancaman dari para aparat desa yang terjerumus dalam
penyalahgunaan kekuasaannya. Mereka sudah diberi kepercayaan untuk menjadi
penguasa sehingga biarlah uang itu menjadi eksaminasi moral kepemimpinan
mereka.
Memang masyarakat layak
dibayang-bayangi ketakutan terhadap kemungkinan terjadi booming korupsi yang
membuat konstruksi kehidupan desa menjadi karut-marut. Tetapi mereka juga
sudah mendapatkan banyak pelatihan dalam mengelola keuangan secara jujur,
transparan, dan akuntabel. Memang fakta mengisyaratkan kebenaran ketakut an
publik tentang kemungkinan adanya kecenderungan terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan, khususnya dalam pengelolaan uang bernilai miliaran ru piah,
pasalnya tidak sedikit dijumpai kasus korupsi yang melibatkan para aparat
desa yang kalkulasi uangnya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan yang
akan diterimakan ke desa di 2015 nanti.
Ada suatu kesalahan anggapan
yang dibenarkan para oknum, yaitu aji mumpung dan teladan buruk dari pemegang
kekuasaan yang levelnya lebih tinggi. Dalam ranah aji mumpung ialah
senyampang mereka berkuasa, yang kekuasaannya digunakan sebagai kendaraan
untuk mengeruk atau menjarah kekayaan rakyat sebanyak-banyaknya.
Untuk mencegah kemungkinan
aparat desa mengadopsi keteladanan kriminal dan memanfaatkan aji mumpung,
bukan cuma aparat penegak hukum semata yang dituntut maksimal mengawal
penyaluran dan pengelolaan dana desa miliaran rupiah itu, melainkan juga
setiap elemen masyarakat berkewajiban `memolisikan' dirinya untuk cerdas
membaca, mengawasi, mempertanyakan, dan secepatnya melaporkan jika diduga
terindikasi adanya penyalahgunaan.
Supaya
masyarakat kapabel dalam `memolisikan' dirinya itu, elemen-elemen penting
rakyat harus mendapatkan pelatihan tentang strategi yang tepat dalam
melakukan pengawasan, di samping dalam pelatihan itu diberikan informasi
secara terbuka tentang objek yang menjadi konsentrasi dari penyaluran dana
miliaran rupiah itu. Dus,
`pemolisian' masyarakat ini akan menjadi model pencegahan terhadap terjadinya
dan mem-booming-nya korupsi sampai
ke tingkat desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar