Undang-Undang Desa dan Tantangannya
Laode Ida ;
Wakil Ketua DPD
|
KOMPAS,
08 Januari 2014
DISAHKANNYA
Undang-Undang Desa oleh DPR dalam penutupan masa sidang tahun 2013 membawa angin
segar sekaligus perubahan penting dalam paradigma pembangunan daerah.
Betapa tidak. Alokasi dana desa
(ADD) memiliki kepastian dengan nominal (skenarionya) berkisar rata-rata di
atas Rp 1 miliar. ADD itu diambil dari dana perimbangan di luar dana alokasi
khusus (DAK), yakni dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH), yang
bersifat memaksa bagi pemerintah daerah direalisasikan. Jika tidak,
pemerintah pusat akan langsung memotong sebagian dana yang ditransfer ke
daerah itu sejumlah hak (pemerintah) desa sesuai dengan kuota alokasi.
Jumlah ini, utamanya bagi
desa-desa di luar Pulau Jawa, tentu sangat berarti sehingga desa berpeluang
sebagai pusat pertumbuhan dan kreativitas sosial ekonomi masyarakat. Pemda
pun akan sangat terbantu dalam memberikan sentuhan nyata nan merata bagi
masyarakat di seluruh wilayahnya karena sudah ada kepastian anggaran
negara yang dialokasikan langsung ke setiap desa.
Pemda dengan demikian hanya perlu
mengefektifkan koordinasi imperatif sehingga tata kelola pemerintah dan
pembangunan bisa mangkus dan tak disorientasi. Singkatnya, UU Desa yang baru
ini merupakan pintu masuk terjadinya modernisasi desa.
Memunculkan konflik
Kendati demikian, UU tentang Desa
ini diperkirakan juga berpotensi memunculkan konflik atau permasalahan
politik dan sosial terbatas di desa.
Pertama, terkait dengan
proses-proses politik, perebutan kepala desa akan sangat panas seperti halnya
dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada) langsung selama ini. Praktik
politik uang pun bukan mustahil akan kian marak dalam pilkada itu.
Soalnya,
yang diperebutkan pada dasarnya bukan sekadar jabatan kepala desa, melainkan
nilai nominal dan sudah adanya kepastian ADD, yang dibayangkan akan
begitu strategis peran pemimpin tertinggi di komunitas berbasis ruang itu.
Apalagi, dengan peluang masa
jabatan sampai tiga periode (18 tahun, setiap periode 6 tahun), diperkirakan
jabatan kepala desa berikut perangkatnya akan diperebutkan para figur
potensial di desa. Singkatnya, pada tingkat tertentu, kecenderungan seperti itu
akan mengancam harmoni sosial di pedesaan.
Kedua, pengelolaan dana desa yang
mana kepala desa diposisikan semacam ”kuasa pengguna anggaran” akan
berpotensi untuk selalu ”dicurigai” masyarakat desa, terutama para pesaing
politiknya, termasuk bagian dari buntut dalam pilkada.
Peluang penyalahgunaan kewenangan
atau penyalahgunaan dana berpotensi terjadi dilakukan oknum kepala desa dan
atau perangkat terkait lainnya. Soalnya, adanya ADD yang cukup banyak itu
(selama ini belum pernah terjadi untuk sebagian besar desa-desa di luar Jawa)
boleh jadi akan menimbulkan semacam geger budaya bagi para kepala desa.
Apalagi, jika tak dilakukan berbagai persiapan sosial yang matang,
termasuk di dalamnya beberapa bentuk pelatihan keterampilan dalam manajemen
keuangan desa.
Dalam konteks ini, moralitas dan
kapasitas para kepala desa dan perangkatnya akan sangat menentukan tata
kelola pemerintahan desa berikut anggarannya. Jika orientasinya pada upaya
mengakumulasi harta dengan memanfaatkan jabatan kepala desa, apalagi meniru
ada pengalaman konspiratif yang kerap terjadi di elite atas, dana yang
dialokasikan di desa itu hanya akan menjadikan sebagian oknum kepala desa dan
perangkatnya akan menjadi klien aparat penegak hukum, dan selanjutnya terbuka
untuk mengisi hotel prodeo.
Atau, sebagaimana dalam kebiasaan
yang dilakukan selama ini, para kepala desa yang tersangkut masalah dalam
pengelolaan dana desa itu akan menjadi ”ATM” bagi para oknum penegak hukum.
Ketiga, pada tahap awal,
perencanaan pembangunan desa belum tentu bisa dilakukan dengan baik mengingat
kapasitas sumber daya manusia yang belum tentu tersedia dan atau sama di
setiap desa. Sementara itu, anggaran harus dialokasikan secara efektif dan
digunakan secara efisien untuk mencapai target terfokus untuk menjadikan desa
sebagai basis sekaligus ujung tombak penciptaan kesejahteraan rakyat.
Kualitas perencanaan
Ini artinya, tercapai tidaknya
misi mulai dari UU Desa ini sangat bergantung pula pada kualitas perencanaan
dan pengawasan atas implementasi agenda pembangunan desa dengan memastikan
alokasi dana memberi sentuhan langsung atau menjawab kebutuhan
masyarakat desa.
Untuk mewanti-wanti itu, hal
terpenting yang diperlukan adalah (1) persiapan sosialisasi UU ini harus
dilakukan secara intens dan menyeluruh di seluruh desa dengan pendekatan dan
metodologi yang tepat; (2) pendidikan politik rakyat sangat urgen agar UU
Desa diimplementasikan dengan tetap menjadikan masyarakat yang berbasis ruang
sebagai modal sosial yang berkarakter saling percaya dan tetap solid; (3) kepemimpinan
dan pengelolaan anggaran desa diintervensi dengan ”virus” akuntabilitas dan
transparansi sehingga secara pasti mengarah pada good village governance; dan (4) pendampingan profesional dalam
kaitan dengan kepemimpinan desa dalam paradigma baru sangat dibutuhkan.
Jika langkah-langkah itu
dilakukan, niscaya desa akan berkembang pesat, bahkan tak berlebihan
dikatakan sebagai ”ujung tombak
pencapaian tujuan kita bernegara, yakni menyejahterakan rakyat”.
Bagi kader-kader muda potensial pun terbuka peluang untuk secara profesional
mengembangkan kreativitas sosial ekonomi di desa. Tugas kita bersama adalah
menanamkan nilai-nilai kecintaan kepada desa di satu pihak, dan pada saat
yang sama mengembangkan jiwa wirausaha bagi para generasi muda untuk berkarya
di desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar