Rabu, 08 Januari 2014

Ujian Lembaga Tepercaya

                                        Ujian Lembaga Tepercaya

Toto Suryaningtyas  ;   Litbang Kompas
KOMPAS,  08 Januari 2014
                                                                                                                        


KEKUATAN media sebagai alat pengubah sosial makin terwujud. Peran media massa tak lagi terbatas pada fungsi penyebaran informasi, edukasi, dan hiburan. Media telah menjelma menjadi sosok baru dengan menciptakan ruang publik dan perlahan menjadi ”lembaga publik” yang dipercaya.

Menjelang berlangsungnya perhelatan politik Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014, sorotan publik terhadap posisi dan peran media kembali hangat. Bersama dengan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, media telah jadi ”pilar keempat” demokrasi.

Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers menyebut peran pers sebagai ”…partisipasi masyarakat melakukan kontrol sosial yang konstruktif”. Di tengah pengungkapan arus suap dan korupsi, media adalah satu-satunya lembaga yang dipandang masih relatif bisa dikategorikan ”sehat” dari unsur kepentingan politis ataupun materi. Responden dalam jajak pendapat KompasMei 2012 menempatkan media sebagai lembaga tepercaya penyalur aspirasi.

Media ibarat tumpuan terakhir publik sebagai alat kontrol proses penyelenggaraan negara. Kekuatan pers menggerakkan persepsi publik besar dampaknya. Dari rangkaian jajak pendapat telepon terungkap, hanya gempuran pemberitaan atas isu pelanggaran hukum atau penyimpangan moral saja yang relatif efektif mengubah persepsi. Sementara itu, efek pencitraan politik melalui iklan politik dan semacamnya masih disikapi secara berbeda-beda oleh publik.

Bukti di Anggodo

Jika ditilik, makin strategisnya peran media terjadi bersamaan dengan hadirnya lembaga negara bentukan era reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi.

”Kolaborasi” ketiga elemen demokrasi itu terlihat jelas saat sidang MK (3/11/2009) yang memutar rekaman percakapan Anggodo Widjojo dan disiarkan langsung berbagai televisi. Esok harinya, isi rekaman itu kembali dimuat berbagai media cetak. Substansi rekaman dan nuansa yang tercipta memunculkan ”obyektivasi” publik dalam menilai jual beli perkara hukum Anggoro dan Anggodo yang sebelumnya hanya ada di tataran dugaan.

Gempuran penyajian peristiwa yang makin utuh, makin dramatis, dan bahkan ”berlebihan” kini makin sering ditampilkan media. Media juga makin sering menggunakan ukuran kuantitatif dan hasil riset lembaga penelitian dalam mengukur penerimaan publik atas wacana politik. Alhasil, yang dipandang ”berhasil” adalah yang memenangi wacana publik di media. Domain yang dipakai media menggunakan ukuran kuantitas yang terkadang disertai kekuatan nada pemberitaan (tone) sebagai barometer akseptabilitas.

Ambil contoh jelang Pemilu 2014. Sejumlah stasiun televisi sudah menampilkan acara debat capres dan liputan khusus. Tak ketinggalan surat kabar mengemas liputan khusus sosok populer kandidat capres. Di media sosial, catatan percakapan netizen terhadap figur calon presiden tak kurang semarak.

Bagaimanapun, media semakin besar perannya dalam menampilkan tokoh-tokoh baru idola masyarakat baik di tingkat nasional maupun daerah. Masyarakat yang merasa kecewa, lelah, dan bosan dengan perilaku elite politik dan parpol yang korup kini mengalihkan pilihan kepada sosok yang bersih dari korupsi.

Peran kelas menengah

Dari sejumlah hasil jajak pendapat Kompas terlihat pemberitaan masif atas kasus suap kuota daging impor dan kasus Hambalang berperan memerosotkan citra Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat di mata publik hingga titik terendah. C Wright Mills dalam buku The Power Elite menunjuk kekuatan opini publik masyarakat kelas menengah perkotaan sebagai ”fitur terpenting” yang mampu mengorganisasi diri secara otonomi bahkan merealisasikan ide menjadi gerakan.

Di tengah semakin kuatnya arus ”ranah publik media”, ada bahaya mengintai. Ellis S Kraus dalam buku Democracy and The Media mengingatkan media juga bisa terjerumus menjadi ”peliharaan” pemilik modal, penguasa, ataupun kepentingan partisan lainnya. Dalam format ini, media jadi alat komunikasi antara penguasa dan rakyat, tetapi dengan tujuan memobilisasi dukungan terhadap kebijakan, otoritas, dan kinerja.

Konteks politik memang memungkinkan untuk hal itu. Masuknya sejumlah pemilik media ke politik praktis membuat aspek pengawasan kampanye di media semakin rawan. Tiga perempat responden jajak pendapat Januari 2013 mengungkapkan kekhawatiran ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar