Senin, 06 Januari 2014

Tahun Pemilu, Tahun Rakyat?

                                  Tahun Pemilu, Tahun Rakyat?

Toriq Hadad  ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO,  02 Januari 2014
                                                                                                                        


Kalau dilakukan survei, mungkin "rakyat"-dalam terminologi politik-merupakan kata yang akan paling sering diucapkan pada 2014. 

Dua belas partai mengikuti pemilu legislatif pada 9 April 2014 untuk memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Sebanyak 6.607 calon anggota DPR berjuang untuk meraih 560 kursi Senayan. Tercatat ada 945 calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Lebih 25 ribu calon legislator bertarung demi 2.137 kursi dewan tingkat provinsi. Sekitar 200 ribu calon mengincar 17.560 kursi dewan di kota atau kabupaten. 

Andaikata setiap calon legislator selama kampanye menyebut seratus kali saja kata "rakyat", barangkali kata itu sedikitnya diucapkan 20 juta kali. Itu belum terhitung kata "rakyat" yang berhamburan dari panggung pemilihan presiden.

Alhasil, rakyat menjadi "darling", tapi sekaligus pelengkap penderita. Buktinya, sampai sekarang belum ada partai yang secara terbuka bertanya,"Wahai rakyat, siapa calon presiden yang engkau inginkan?". Tak ada partai yang membuka kotak pos atau kotak e-mail untuk menampung pilihan rakyat. 

Orang ramai hanya disodori calon pilihan partai. Partai Golkar, Gerindra, dan Hanura merupakan contohnya. 

Partai Demokrat menggelar konvensi dan memilih sebelas orang sebagai calon presiden. "Kesebelasan" itu memasang iklan guna mengumpulkan dukungan. Pengumpul dukungan terbanyak, berdasarkan hasil survei dari lembaga survei yang kabarnya independen, konon ditetapkan sebagai calon presiden. Rakyat terwakili? Belum tentu. Sebab, belum ada kepastian Ketua Dewan Pembina Demokrat tak akan memakai haknya untuk menunjuk calon presiden. 

"Presiden versi polling" sebenarnya sudah terpilih: Jokowi. Padahal, sampai akhir 2013, Gubernur Jakarta itu belum pernah menyatakan keinginan untuk maju sebagai calon presiden. Sepanjang 2013, satu-satunya polling yang tak memenangkan Jokowi dilakukan oleh lembaga yang ternyata tak memasukkan nama kader PDI Perjuangan itu sebagai salah satu pilihan. 

Sejak masa Reformasi, rasanya belum pernah PDI Perjuangan memiliki calon sepopuler Jokowi. Bahkan, seorang pengamat berani mengatakan ketenaran Jokowi "menelan" dampak negatif kasus-kasus yang melibatkan kader PDI Perjuangan yang lain. Citra partai banteng sepertinya diselamatkan gubernur yang tak canggung turun ke dalam gorong-gorong atau menggulung celana guna mendatangi rakyat di daerah banjir itu. 

Jokowi belum berhasil membenahi Jakarta. Tapi dia sudah melakukan sejumlah pekerjaan penting. Jokowi tak melakukan hal-hal hebat, tapi mengerjakan apa yang seharusnya dilakukan pemimpin: bertanya langsung kepada rakyat tentang apa yang mereka inginkan dan membuat program untuk mewujudkannya. 

Adakah dia mendapatkan kesempatan maju sebagai calon presiden? Jawabannya ternyata: belum tentu. Restu Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati merupakan penentu segala-galanya di partai banteng itu. Jokowi pun merupakan kader yang taat. Hitam kata Mega, hitam pula menurut Jokowi. Kalau kelak Megawati-yang sudah tiga kali kalah dalam pemilu sebelumnya-meminta Jokowi mendampinginya sebagai wakil presiden, banyak yang tak yakin Jokowi akan menolak.

Anda kecewa, atau tak ambil pusing dengan apa pun yang kelak diputuskan Megawati tentang calon presiden, itu akan dianggap urusan internal partai. Bukan urusan "orang luar". Rakyat dimuliakan sebagai tambang suara, tapi ditinggalkan dalam urusan presiden. 

Susahnya, sistem politik Indonesia tak memiliki mekanisme "pengimbang" kekuasaan partai itu. Jalur presiden independen, yang lazim di negeri demokrasi, pernah ditolak Mahkamah Konstitusi. Agar rakyat bisa benar-benar menyuarakan calon presiden sendiri, gotong-royong membiayai kampanye sang calon, sebaiknya jalur presiden independen diperjuangkan kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar