Senin, 06 Januari 2014

Memajukan Pedagang Kaki Lima

                              Memajukan Pedagang Kaki Lima

Samsuridjal Djauzi  ;   Komunitas Sahabat Pedagang Kaki Lima
KOMPAS,  04 Januari 2014
                                                                                                                        


MELEWATI Pasar Tanah Abang setelah 1 September 2013, Anda akan merasakan perubahan. Lalu lintas lebih lancar dan jalan menjadi lebih bersih karena pedagang kaki lima yang semula menempati bahu jalan telah ditertibkan. Mereka dipindahkan ke gedung Blok G yang dapat menampung sekitar 900 PKL.

Proses penertiban berjalan lancar tanpa kekerasan karena didahului dialog cukup lama. Banyak pihak yang memuji pendekatan ini berikut penertiban yang dinilai cukup berhasil. Bahkan, beberapa kota lain di Indonesia berniat meniru.

Sayangnya, setelah dipindahkan ke tempat baru, kondisinya memprihatinkan. Serombongan mahasiswa Universitas Indonesia yang berkunjung ke Blok G awal November lalu melihat para PKL, terutama di lantai tiga, sepi pengunjung. Padahal, di situ ada sekitar 200 kios. Sejak pindah ke Blok G awal September, omzet beberapa pedagang baru Rp 500.000. Semasa di pinggir jalan, dagangan mereka laku Rp 500.000 sampai Rp 1 juta dalam sehari.

Jangankan untuk makan sehari-hari, untuk biaya transpor pun tidak mencukupi. Para pedagang menjerit. Jika keadaan tetap seperti ini, mereka tidak mungkin bertahan. Mereka memerlukan kepedulian kita semua.

Berpotensi

Selama ini keberadaan PKL dikaitkan dengan kemacetan jalan dan mengotori kota. Padahal, tidak sedikit PKL yang menyejahterakan. Mas Agung, pemilik jaringan Toko Buku Gunung Agung, juga memulai usahanya dari gerobak di pinggir Jalan Kwitang di Senen.

Bebek Kaleyo yang punya gerai di mana-mana juga berawal di pinggir jalan. Menurut Asosiasi Pedagang Kaki Lima, jumlah PKL di Indonesia 24 juta. Hiza Siregar, Ketua Asosiasi PKL Jakarta, menyatakan, omzet penjualan PKL sehari dapat mencapai Rp 225 miliar.

Selama ini memang sudah ada program yang membantu PKL, tetapi cakupannya hanya sedikit dan tidak direncanakan untuk berkelanjutan.

Jika kita menengok Chattuchak (sunday market) dan Patpong di Bangkok, Thailand, PKL yang ditampung di sana mencapai ribuan. Begitu juga Bugis Market di Singapura. Di stasiun-stasiun kereta api di Tokyo tertampung ribuan pedagang kecil.
Program pengembangan usaha kecil pemerintah terlalu memusatkan pada bantuan modal. Mereka memang memerlukan modal dan pelatihan, tetapi yang lebih mereka perlukan adalah kesempatan untuk berdagang.

Karena pemerintah belum menyediakan tempat untuk mereka, pedagang berjualan di mana saja, termasuk di pinggir jalan. Jumlahnya semakin lama semakin banyak sehingga akhirnya mengganggu lalu lintas.

Jalan keluar

Tulisan akademis tentang PKL ternyata banyak. Harlan Dimas (Unpad) mengulas Street Vendor, Urban Problem and Economic Potential. Bahkan, Prof Moebyarto (almarhum) tahun 2004 mempertanyakan kebijakan calon presiden dalam mengembangkan usaha kecil, termasuk PKL.

Kebijakan terhadap PKL di suatu negara tentu ditentukan oleh situasi politiknya. India merupakan negara yang memperhatikan PKL dan bahkan punya undang-undang tentang PKL.

Di Indonesia mulai tumbuh minat untuk mempertimbangkan masalah PKL dalam pengembangan kota.

Di Universitas Tarumanegara pernah ada diskusi mengenai pengembangan PKL sebagai identitas kota, potensi ekonomi, serta daya tarik wisatawan.
Jika direncanakan dengan baik, PKL dapat menjadi daya tarik tersendiri, seperti pengaturan PKL di Maroko.

Dengan demikian, dukungan yang berarti bagi PKL adalah dengan mengubah cara pandang. Potensi PKL bisa diakomodasi dengan perencanaan kota yang baik, tetapi tetap menjaga keteraturan, ketertiban, dan kecantikan suatu kota.

Penataan PKL di Surabaya dinilai berhasil tidak hanya dalam mengembalikan kebersihan kota, tetapi juga meningkatkan pendapatan PKL.

Kebutuhan utama PKL adalah kesempatan berusaha. Pemerintah perlu mempunyai program untuk menempatkan mereka di lokasi strategis. Mereka adalah pedagang yang ulet, mau bermandi matahari, dan terpapar debu jalanan. Berilah kesempatan berusaha agar mereka berkembang.

Stasiun kereta api, terminal bus, halte bus, pusat perbelanjaan, dan perkantoran dapat menyediakan tempat yang layak untuk PKL. Teman-teman desainer dapat menciptakan desain gerobak yang menarik.

Pemerintah dapat mengatur agar gerai perusahaan raksasa, seperti McDonald’s, KFC, Dunkin’ Donuts, Rumah Makan Sederhana, dan Bakmi GM, dapat menampung PKL. Dengan demikian, berita penggusuran dan penertiban PKL akan berganti dengan berita keberhasilan PKL.

Ukuran keberhasilan

Hendaknya kita jangan melupakan dimensi manusia dalam pembangunan. Pembangunan bertujuan untuk kesejahteraan manusia. Masyarakat memerlukan makan, perumahan, kesempatan kerja, serta kesempatan sekolah, hidup sehat, dan rasa aman. Keluarga PKL yang jumlahnya jutaan pun berhak menikmati hasil pembangunan, bertambah maju dan sejahtera.

Ketika Lula terpilih menjadi presiden Brasil, dia membawa anggota kabinetnya yang baru ke permukiman kumuh dan menunjukkan keadaan nyata penduduk miskin di Brasil. Dua kali periode pemerintahan, Lula berhasil memajukan Brasil. Kita berharap pemimpin baru tahun 2014 nanti akan terjun memperbaiki nasib saudara-saudara kita yang masih hidup dalam keadaan tidak layak.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar