Memajukan
Pedagang Kaki Lima
Samsuridjal Djauzi ; Komunitas Sahabat Pedagang Kaki Lima
|
KOMPAS,
04 Januari 2014
MELEWATI Pasar Tanah Abang setelah
1 September 2013, Anda akan merasakan perubahan. Lalu lintas lebih lancar dan
jalan menjadi lebih bersih karena pedagang kaki lima yang semula menempati
bahu jalan telah ditertibkan. Mereka dipindahkan ke gedung Blok G yang dapat
menampung sekitar 900 PKL.
Proses penertiban berjalan lancar
tanpa kekerasan karena didahului dialog cukup lama. Banyak pihak yang memuji
pendekatan ini berikut penertiban yang dinilai cukup berhasil. Bahkan,
beberapa kota lain di Indonesia berniat meniru.
Sayangnya, setelah dipindahkan ke
tempat baru, kondisinya memprihatinkan. Serombongan mahasiswa Universitas
Indonesia yang berkunjung ke Blok G awal November lalu melihat para PKL,
terutama di lantai tiga, sepi pengunjung. Padahal, di situ ada sekitar 200
kios. Sejak pindah ke Blok G awal September, omzet beberapa pedagang baru Rp
500.000. Semasa di pinggir jalan, dagangan mereka laku Rp 500.000 sampai Rp 1
juta dalam sehari.
Jangankan untuk makan sehari-hari,
untuk biaya transpor pun tidak mencukupi. Para pedagang menjerit. Jika
keadaan tetap seperti ini, mereka tidak mungkin bertahan. Mereka memerlukan
kepedulian kita semua.
Berpotensi
Selama ini keberadaan PKL
dikaitkan dengan kemacetan jalan dan mengotori kota. Padahal, tidak sedikit
PKL yang menyejahterakan. Mas Agung, pemilik jaringan Toko Buku Gunung Agung,
juga memulai usahanya dari gerobak di pinggir Jalan Kwitang di Senen.
Bebek Kaleyo yang punya gerai di
mana-mana juga berawal di pinggir jalan. Menurut Asosiasi Pedagang Kaki Lima,
jumlah PKL di Indonesia 24 juta. Hiza Siregar, Ketua Asosiasi PKL Jakarta,
menyatakan, omzet penjualan PKL sehari dapat mencapai Rp 225 miliar.
Selama ini memang sudah ada
program yang membantu PKL, tetapi cakupannya hanya sedikit dan tidak
direncanakan untuk berkelanjutan.
Jika kita menengok Chattuchak (sunday market) dan Patpong di Bangkok,
Thailand, PKL yang ditampung di sana mencapai ribuan. Begitu juga Bugis Market di Singapura. Di
stasiun-stasiun kereta api di Tokyo tertampung ribuan pedagang kecil.
Program pengembangan usaha kecil
pemerintah terlalu memusatkan pada bantuan modal. Mereka memang memerlukan
modal dan pelatihan, tetapi yang lebih mereka perlukan adalah kesempatan
untuk berdagang.
Karena pemerintah belum
menyediakan tempat untuk mereka, pedagang berjualan di mana saja, termasuk di
pinggir jalan. Jumlahnya semakin lama semakin banyak sehingga akhirnya
mengganggu lalu lintas.
Jalan keluar
Tulisan akademis tentang PKL
ternyata banyak. Harlan Dimas (Unpad) mengulas Street Vendor, Urban Problem and Economic Potential. Bahkan, Prof
Moebyarto (almarhum) tahun 2004 mempertanyakan kebijakan calon presiden dalam
mengembangkan usaha kecil, termasuk PKL.
Kebijakan terhadap PKL di suatu
negara tentu ditentukan oleh situasi politiknya. India merupakan negara yang
memperhatikan PKL dan bahkan punya undang-undang tentang PKL.
Di Indonesia mulai tumbuh minat
untuk mempertimbangkan masalah PKL dalam pengembangan kota.
Di Universitas Tarumanegara pernah
ada diskusi mengenai pengembangan PKL sebagai identitas kota, potensi
ekonomi, serta daya tarik wisatawan.
Jika direncanakan dengan baik, PKL
dapat menjadi daya tarik tersendiri, seperti pengaturan PKL di Maroko.
Dengan demikian, dukungan yang
berarti bagi PKL adalah dengan mengubah cara pandang. Potensi PKL bisa
diakomodasi dengan perencanaan kota yang baik, tetapi tetap menjaga keteraturan,
ketertiban, dan kecantikan suatu kota.
Penataan PKL di Surabaya dinilai
berhasil tidak hanya dalam mengembalikan kebersihan kota, tetapi juga
meningkatkan pendapatan PKL.
Kebutuhan utama PKL adalah
kesempatan berusaha. Pemerintah perlu mempunyai program untuk menempatkan
mereka di lokasi strategis. Mereka adalah pedagang yang ulet, mau bermandi
matahari, dan terpapar debu jalanan. Berilah kesempatan berusaha agar mereka
berkembang.
Stasiun kereta api, terminal bus,
halte bus, pusat perbelanjaan, dan perkantoran dapat menyediakan tempat yang
layak untuk PKL. Teman-teman desainer dapat menciptakan desain gerobak yang
menarik.
Pemerintah dapat mengatur agar
gerai perusahaan raksasa, seperti McDonald’s, KFC, Dunkin’ Donuts, Rumah
Makan Sederhana, dan Bakmi GM, dapat menampung PKL. Dengan demikian, berita
penggusuran dan penertiban PKL akan berganti dengan berita keberhasilan PKL.
Ukuran keberhasilan
Hendaknya kita jangan melupakan
dimensi manusia dalam pembangunan. Pembangunan bertujuan untuk kesejahteraan
manusia. Masyarakat memerlukan makan, perumahan, kesempatan kerja, serta
kesempatan sekolah, hidup sehat, dan rasa aman. Keluarga PKL yang jumlahnya
jutaan pun berhak menikmati hasil pembangunan, bertambah maju dan sejahtera.
Ketika Lula terpilih menjadi presiden Brasil, dia membawa anggota kabinetnya yang baru ke permukiman kumuh dan menunjukkan keadaan nyata penduduk miskin di Brasil. Dua kali periode pemerintahan, Lula berhasil memajukan Brasil. Kita berharap pemimpin baru tahun 2014 nanti akan terjun memperbaiki nasib saudara-saudara kita yang masih hidup dalam keadaan tidak layak. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar