Kamis, 16 Januari 2014

Satgas Gagal Dukung Pemerintahan yang Efektif

Satgas Gagal Dukung Pemerintahan yang Efektif

Annas Syaroni  ;  Peneliti Yunior The Indonesian Institute
SINAR HARAPAN,  16 Januari 2014
                                                                                                                        


Sekretariat Gabungan (Setgab) sudah seperti mati suri menjelang Pemilu 2014. Hal ini ditegaskan beberapa petinggi partai koalisi dalam Setgab belum lama ini, seperti pernyataan dari Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Viva Yoga Mauladi, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Hasrul Azwar, Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Marwan Jafar, dan anggota Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Refrizal.

Setgab dibentuk pada Mei 2010 atas inisiatif Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ketika itu, Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie dipercaya memimpin Setgab.
Setgab bertempat di satu rumah di kawasan elite, Menteng, Jakarta Pusat, tepatnya di Jalan Diponegoro Nomor 43. Namun, sejak September 2013, rumah tersebut beralih fungsi menjadi pusat media untuk pemenangan Pramono Edhie Wibowo dalam Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat.

Koalisi Lemah

Koalisi pemerintahan di era pemerintahan SBY ini adalah koalisi yang besar. Hal tersebut dapat menjadi masalah sejak awal. Menurut teori "veto player" dari Tsebelis yang dikutip Moury (2013) menyatakan, setiap partai koalisi adalah veto player yang dapat mempertahankan posisi kebijakannya dalam menghadapi partner koalisi.
Oleh karena itu, dalam koalisi pemerintahan yang besar memungkinkan terjadinya perubahan yang signifikan, terutama karena perbedaan perspektif kebijakan yang begitu besar di antara partner koalisi.

Seperti diketahui, Setgab merupakan koalisi yang terdiri atas enam parpol, yaitu Partai Demokrat (PD), Partai Golkar, PKS, PAN, PPP dan PKB. Setgab dibentuk dengan tujuan meningkatkan kualitas komunikasi antarparpol pendukung pemerintah.
Setgab merupakan perwujudan konkret koalisi, walaupun sebenarnya koalisi partai-partai yang kemudian tergabung dalam Setgab sudah terbentuk menjelang Pilpres 2009.

Ketika itu, Partai Demokrat dan beberapa partai yang tergabung dalam Setgab, kecuali Golkar mendukung SBY untuk bertarung dalam Pilpres 2009 sebagai capres didampingi cawapres Boediono (nonpartai). Setelah Pilpres 2009, barulah Partai Golkar bergabung ke dalam koalisi.

Pada pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II, partai-partai koalisi ini mendapatkan jatah pos-pos menteri bervariasi antara dua hingga empat posisi. Partai Demokrat mendapatkan enam posisi menteri.

Wakil partai di kabinet dan jumlah kursi partai di parlemen/DPR inilah yang menjadi bargaining power antara Partai Demokrat dengan partai koalisi lainnya. PD membutuhkan dukungan dari partai-partai koalisi untuk mengegolkan kebijakan yang membutuhkan persetujuan DPR. Sementara itu, partai-partai koalisi menikmati beberapa posisi di kementerian.

Sebenarnya hal itu bukanlah barter yang cukup seimbang karena PD berada pada posisi yang lebih membutuhkan dukungan partai lain dalam pemerintahan. Seperti kita ketahui, PD hanya memiliki 26 persen kursi di DPR. Ketika PD mencalonkan SBY sebagai presiden, PD tidak mengandeng calon dari partai lain untuk mengisi posisi cawapres guna membentuk koalisi yang solid.

Setgab dibentuk salah satu tujuannya untuk meningkatkan kualitas komunikasi antarparpol pendukung pemerintah. Namun, tetap saja terjadi tindakan pembangkangan dari anggota Setgab, seperti pada kasus penolakan PKS terhadap rencana untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah pada pertengahan 2013.

Padahal, pada 15 Oktober 2009 telah ditandatangani kontrak di antara partai-partai koalisi. Kontrak tersebut kemudian disempurnaankan pada 23 Mei 2011.
Beberapa poin penting dalam kontrak tersebut, yaitu mengenai semangat kebersamaan dalam koalisi, mendukung kebijakan presiden, pertemuan rutin antara presiden dengan pemimpin parpol koalisi minimal sekali dalam tiga bulan, sanksi untuk partai koalisi yang tidak di dalam koridor, dan membentuk Setgab sebagai sarana untuk koordinasi.

Namun, memang Setgab tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti pertemuan rutin yang tidak berlangsung.

Pertemuan akan terjadi jika ada isu yang perlu dibahas. Pada 2013, Setgab melaksanakan pertemuan untuk hal yang penting yaitu keputusan perpu untuk Mahkamah Konstitusi dan sebelumnya mengenai keputusan menaikkan harga BBM.

Perbedaan sikap hingga pada proses final pengambilan keputusan kerap terjadi. Salah satunya muncul ketika PD dan PPP yang tidak menginginkan perpanjangan masa kerja Tim Pengawas (Timwas) Century karena mungkin beberapa politikus PD tersangkut dalam kasus tersebut. Partai koalisi yang lain, Partai Golkar, PKS, PKB, dan PAN menginginkan perpanjangan Timwas.

Kasus yang sangat menyita perhatian publik adalah sikap membangkang dari PKS. PKS tidak setuju dengan kenaikan harga BBM. Ini karena mungkin PKS ingin mengambil simpati masyarakat dan dalam rangka meningkatkan elektabilitas partai menjelang Pemilu 2014.

Sebenarnya, bukan hal yang sangat penting dalam sistem presidensial untuk membentuk koalisi. Namun, karena konstelasi politik di Indonesia, tidak ada partai yang memperoleh single majority di DPR dan presiden dari partai yang sama. 

Diperlukan koalisi dengan partai lain untuk membentuk pemerintah yang kuat dan efektif, terutama dalam pengambilan keputusan oleh Presiden yang melibatkan DPR.
Setgab yang dibentuk SBY pada 2011 sebenarnya diharapkan menjadi wadah untuk mengomunikasikan dan mengompromikan kebijakan-kebijakan penting dengan partai koalisi. Hal tersebut agar ketika SBY memutuskan kebijakan tertentu, mendapatkan dukungan suara di DPR dan tidak terjadi penolakan dari partai-partai koalisi yang mendukungnya.

Ada beberapa hal mengapa Setgab gagal menjadi forum guna mencapai efektivitas pemerintahan. Pertama, partai di dalam koalisi terlalu banyak. Semakin banyak partai, akan semakin banyak ragam kepentingan. Hal ini akan menyulitkan mencapai kompromi dalam memutuskan suatu hal.

Kedua, ada kontrak, tetapi tidak dilaksanakan dengan tegas. SBY lemah dalam menerapkan aturan dari kontrak tersebut. Jadi, partai lain merasa tidak khawatir jika bersikap berseberangan dengan PD dalam suatu isu.

Ketiga, tidak ada partai mayoritas sehingga PD berada pada posisi yang lebih membutuhkan partai dalam koalisi untuk mendukungan pemerintahan, walupun ada beberapa partai koalisi yang melakukan pembangkangan.

Format Koalisi ke Depan

Konstelasi kekuatan partai-partai setelah Pemilu 2014 mungkin tidak akan banyak berubah karena masih menganut sistem multipartai. Oleh karena itu, konstelasi yang akan terbentuk adalah dua atau tiga partai besar dan beberapa partai menengah dan kecil.

Bentuk koalisi ke depan sebaiknya koalisi satu partai besar dengan beberapa partai menengah, tetapi ramping atau koalisi dua partai besar saja. Format tersebut akan memudahkan partai dari presiden yang berkuasa dalam mengoordinasi koalisi dan mewujudkan pemerintahan yang efektif. Selain itu, masalah kontrak yang berisi aturan-aturan, kesamaan visi dan etika penting dalam pembentukan sebuah koalisi.

Setgab sebenarnya dibentuk untuk mewujudkan pemerintah yang kuat dan efektif. Namun, pada perjalanannya tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya karena lemahnya partai PD dan Presiden sebagai inisiator Setgab. Oleh karena itu, pada koalisi pemerintahan selanjutnya diperlukan partai, pemimpin yang kuat, dan kontrak koalisi yang mengikat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar