Perlunya
Mengedukasi Siaran Infotainment
Danang Sangga Buwana ; Komisioner KPI Pusat
|
HALUAN,
30 Desember 2013
Tayangan Infotainment tentang perseteruan saling tantang adu tinju
antara Farhat Abbas dengan Ahmad Al Ghazali (Al) dan El Jalaluddin Rumi (El)
sedemikian mendominasi semua stasiun televisi nasional beberapa pekan
terakhir. Bagi industri televisi (lembaga penyiaran), tayangan konfliktual
dunia selebritas semacam ini menjadi lahan potensial kian meningkatkan
rating/share untuk keuntungan finansial melalui iklan.
Agar tetap menyedot perhatian
publik (rating tinggi), kasus ini dieksploitasi melalui dramatisasi sound
effect, editing gambar dan presenter provokatif. Bahkan bila perlu, masalah
diperuncing secara emosional melalui pelibatan keluarga, saudara dan tetangga
sang artis. Tayangan konflik antara Farhat versus dua anak musisi Ahmad Dhani
ini hanyalah satu dari ribuan kasus selebritis di layar kaca pemirsa yang kerap
didramatisasi. Inilah sejatinya anatomi infotainment terhidang di ruang
keluarga Indonesia.
Dalam disiplin ilmu jurnalisme,
terjadi perdebatan panjang tanpa titik temu mengenai: apakah infotainment
merupakan produk jurnalistik ataukah bukan? Di satu pihak dinyatakan bahwa
infotainment adalah produk jurnalistik, mengingat pemberitaan artis masih
berbasis pada metode dan teknik jurnalistik seperti reportase, pengusungan 5W
dan 1H, dan kaidah cover both sides.
Di pihak lain dinyatakan
infotainment bukan produk jurnalistik karena didasarkan pada gosip. Meski
dalam berbagai domain meliputi unsur aktualitas, namun pemberitaan tentang
dunia artis ini dipenuhi dramatisasi peristiwa dan pendasaran fakta pada
aspek ‘jikalau’ (if), sehingga ia kerapkali mengangkat unsur ‘syakwasangka’.
Di domain produksi, beberapa program infotainment masih diproduksi oleh
production house (penyedia konten) dengan kru lapangan yang kerap tak
dibekali kepiawaian jurnalisme. Terlebih, penghormatan terhadap hak privasi
pada Pasal 2 poin b dalam Kode Etik Jurnalistik kerap dilanggar.
Terlepas pro-kontra diatas,
kasus perseteruan Farhat versus Al-El memunculkan masalah kode etik, bahwa
El sebagai anak dibawah umur tak patut menjadi narasumber bagi konflik orang
tuanya. Hal ini bertentangan pula dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan
Standar Program Siaran (P3SPS) sebagai aturan baku untuk program siaran
televisi.
Perspektif Dampak
Tayangan infotainment nyata
berdampak besar bagi perkembangan psikologis masyarakat dan memengaruhi
karakter kebangsaan kita. Sebab artis merupakan figur publik dengan daya
tarik besar (great seduction) untuk kemungkinan diikuti oleh mayoritas
muda-mudi dan kaum hawa lainnya dari segala umur. Artis adalah pusat trend
(trend setter) yang akan terus diimitasi dan diadopsi pola kehidupan mereka
oleh khalayak pemirsa. Tak hanya dari segi busana, penampilan dan gaya
hidup, bahkan pula sikap dan perilaku sehari-hari. Ia secara fulgar
dieksploitasi di ruang publik melalui infotainment dan program hiburan
lainnya. Dalam jangka panjang, jika tayangan infotainment masih menyajikan
beragam konflik pribadi seputar pertengkaran antar selebritis, perceraian dan
rebutan anak, ribut soal harta goni-gini, maka lambat laun bisa jadi
mentalitas puluhan juta pemirsa terdegradasi.
Meski pemirsa kian kritis,
namun daya injeksi infotainment jauh lebih kuat, menegaskan keabsahan dalil
sosiolog Perancis, Jean Baudrillard dalam In
The Shadow of Silent Majorities (Columbia University: 1983). Ia
mengungkap televisi sebagai pencipta model acuan nilai dan makna sosial
budaya masyarakat dewasa ini, melalui telenovela, iklan, film, dan gaya hidup
selebritis (infotainment). Bagi Baudrillard, pemirsa adalah “mayoritas yang
diam” (the silent majorities),
pasif menerima segala tayangan ke dalam pikiran dan perilaku, menelannya
mentah-mentah tanpa pernah mampu merefleksikan kembali dalam kehidupan
nyata, dan bahkan hanyut dalam gelombang deras budaya massa dan budaya
populer.
Merujuk fenomena ini, agar
tayangan infotainment lebih berdampak konstruktif, peningkatan kualitas tayangan
dapat dilakukan melalui empat hal. Pertama, terkait tayangan konflik artis,
infotainment semestinya menggunakan metode jurnalisme damai, bukan
jurnalisme konflik. Artinya orientasi pemberitaan konflik artis niscaya
digeser. Bukan kian memperuncing dan memperpanas, sebaliknya berperan sebagai
peredam dan mediator rekonsiliasi konflik selebritis.
Kedua, menghindari tayangan
ber-angle konflik pribadi semacam pertengkaran antar artis, diganti dengan
tayangan bernuansa edukatif lain seperti agenda programatik artis dan
kegiatan positif lain. Konteks ini, muncul kekhawatiran apabila tidak
mengupas konflik, rating/share akan turun. Dan jika rating/share turun, harga
dan jumlah iklan pun turun. Justru disinilah akar masalahnya. Rating/share
sudah terlanjur menjadi ‘dewa’ bagi program televisi secara keseluruhan, tak
terkecuali infotainment.
Parahnya, diantara faktor utama pendongkrak
rating/share adalah jualan konflik, dan para pengiklan mengamini. Mata
rantai ini mesti diputus dan paradigma harus digeser, bahwa rating/share
bukanlah satu-satunya tools, tetapi tayangan sehat, berkualitas dan edukatif
musti dijadikan umpan utama mengail iklan.
Ketiga, berkait masalah diatas,
‘suara hati’ semua pihak musti terbuka. Pekerja media, pengiklan dan
terkhusus bagi pemilik media tak selayaknya hanya mengejar rating semata
namun melupakan pendidikan karakter bangsa. Naif bila pemasangan iklan
diarus-utamakan pada rating tinggi, namun berdampak merusak moral bangsa.
Kaitan ini, suara hati pengiklan mestinya terketuk dengan tidak memasang
iklan pada program yang terkena teguran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
perihal pelanggaran P3SPS.
Keempat, penguatan kapasitas
praktisi infotainment. reporter, kameramen, produser, penulis naskah dan
editor (news room) semestinya
dibekali kapasitas jurnalistik memadai dan memahami aturan dalam P3SPS agar
mampu meningkatkan kualitas tayangan, baik bagi production house selaku
penyedia konten maupun terhadap kru inhouse
production lembaga penyiaran. Bila perlu, semua program infotainment
dikelola secara inhouse oleh
divisi news. Atas dasar kebutuhan
penguatan kapasitas jurnalisme dan pemahaman P3SPS, dibutuhkan uji
kompetensi pekerja media secara selektif, ketat dan berkala sebagai lisensi
(syarat masuk) menjadi pekerja media di lembaga penyiaran, sebagaimana kini
digagas oleh Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
KPI telah melayangkan surat
edaran ke lembaga penyiaran agar tayangan konflik antara Farhat dengan Al dan
El segera dihentikan. Banyak aspek pelanggaran P3SPS, baik aspek penghormatan
terhadap hak privasi maupun perlindungan kepada anak.
Akhirnya, agar program
infotainment tak mendegradasi perilaku dan mentalitas jutaan pemirsa di
seluruh pelosok negeri ini, semua pihak, terutama lembaga penyiaran harus
menyadari posisi dan tanggungjawabnya dalam memperkuat karakter kebangsaan
melalui tayangan sehat dan edukatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar