Minggu, 05 Januari 2014

Perlunya Mengedukasi Siaran Infotainment

               Perlunya Mengedukasi Siaran Infotainment

Danang Sangga Buwana   ;   Komisioner KPI Pusat
HALUAN,  30 Desember 2013

                                                                             
  
Tayangan Infotainment tentang per­seteruan saling tantang adu tinju antara Farhat Abbas dengan Ahmad Al Ghazali (Al) dan El Jalaluddin Rumi (El) sedemikian mendominasi semua stasiun televisi nasional beberapa pekan terakhir. Bagi industri televisi (lembaga penyiaran), tayangan konfliktual dunia selebritas semacam ini menjadi lahan potensial kian meningkatkan rating/share untuk keuntungan finansial melalui iklan.

Agar tetap menyedot perhatian publik (rating tinggi), kasus ini dieks­ploitasi melalui dramatisasi sound effect, editing gambar dan presenter provokatif. Bahkan bila perlu, masalah diperuncing secara emosional melalui pelibatan keluarga, saudara dan tetangga sang artis. Tayangan konflik antara Farhat versus dua anak musisi Ahmad Dhani ini hanyalah satu dari ribuan kasus selebritis di layar kaca pemirsa yang kerap didramatisasi. Inilah sejatinya anatomi infotain­ment terhidang di ruang keluarga Indonesia.

Dalam disiplin ilmu jurnalisme, terjadi perde­batan panjang tanpa titik temu mengenai: apakah infotainment merupakan produk jurnalistik ataukah bukan? Di satu pihak dinyatakan bahwa infotain­ment adalah produk jurna­listik, mengingat pembe­ritaan artis masih berbasis pada metode dan teknik jurnalistik seperti reportase, pengusungan 5W dan 1H, dan kaidah cover both sides.

Di pihak lain di­nya­takan infotainment bukan produk jurnalistik karena dida­sarkan pada gosip. Meski dalam ber­bagai domain meliputi unsur aktualitas, namun pem­beritaan tentang dunia artis ini dipenuhi dra­matisasi peristiwa dan pendasaran fakta pada aspek ‘jikalau’ (if), sehingga ia kerapkali mengangkat unsur ‘syakwasangka’. Di domain produksi, beberapa program infotainment masih diproduksi oleh production house (penyedia konten) dengan kru lapa­ngan yang kerap tak dibekali kepia­waian jurna­lisme. Terlebih, penghor­matan terhadap hak priva­si pada Pasal 2 poin b dalam Kode Etik Jurna­listik kerap dilanggar.

Terlepas pro-kontra diatas, kasus perseteruan Farhat versus Al-El m­e­mun­culkan masalah kode etik, bahwa El sebagai anak dibawah umur tak patut menjadi narasumber bagi konflik orang tuanya. Hal ini bertentangan pula dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) sebagai aturan baku untuk program siaran televisi.

Perspektif Dampak

Tayangan infotainment nyata berdampak besar bagi perkembangan psikologis masyarakat dan meme­ngaruhi karakter kebang­saan kita. Sebab artis merupakan figur publik dengan daya tarik besar (great seduction) untuk kemungkinan diikuti oleh mayoritas muda-mudi dan kaum hawa lainnya dari segala umur. Artis adalah pusat trend (trend setter) yang akan terus diimitasi dan diadopsi pola kehidupan mereka oleh khalayak pemir­sa. Tak hanya dari segi busana, penampilan dan gaya hidup, bahkan pula sikap dan perilaku sehari-hari. Ia secara fulgar dieksploitasi di ruang publik melalui info­tainment dan program hibu­ran lainnya. Dalam jangka panjang, jika taya­ngan infotainment masih menya­jikan beragam konflik pribadi seputar pertengkaran antar selebritis, perceraian dan re­butan anak, ribut soal harta goni-gini, maka lambat laun bisa jadi mentalitas puluhan juta pemirsa terde­gradasi.

Meski pemirsa kian kritis, namun daya injeksi infotainment jauh lebih kuat, menegaskan keabsahan dalil sosiolog Perancis, Jean Baudrillard dalam In The Shadow of Silent Majorities (Columbia University: 1983). Ia mengungkap televisi sebagai pencipta model acuan nilai dan makna sosial budaya masyarakat dewasa ini, melalui telenovela, iklan, film, dan gaya hidup sele­britis (infotainment). Bagi Baudrillard, pemirsa adalah “mayoritas yang diam” (the silent majorities), pasif menerima segala tayangan ke dalam pikiran dan peri­laku, menelannya mentah-men­tah tanpa pernah mam­pu merefleksikan kembali dalam kehidupan nyata, dan bahkan hanyut dalam gelom­bang deras budaya massa dan budaya populer.

Merujuk fenomena ini, agar tayangan infotainment lebih berdampak konstruktif, peningkatan kualitas taya­ngan dapat dilakukan mela­lui empat hal. Pertama, terkait tayangan konflik artis, infotainment semes­tinya menggunakan metode jurnalisme damai, bukan jurnalisme konflik. Artinya orientasi pemberitaan konflik artis niscaya digeser. Bukan kian memperuncing dan memperpanas, sebaliknya berperan sebagai peredam dan mediator rekonsiliasi konflik selebritis.

Kedua, menghindari tayangan ber-angle konflik pribadi semacam perteng­karan antar artis, diganti dengan tayangan bernuansa edukatif lain seperti agenda programatik artis dan kegiatan positif lain. Konteks ini, muncul kekhawatiran apabila tidak mengupas konflik, rating/share akan turun. Dan jika rating/share turun, harga dan jumlah iklan pun turun. Justru disinilah akar masalahnya. Rating/share sudah terlanjur menjadi ‘dewa’ bagi program televisi secara keseluruhan, tak terkecuali infotainment. 

Parahnya, diantara faktor utama pendongkrak rating/share adalah jualan konflik, dan para pengiklan menga­mini. Mata rantai ini mesti diputus dan paradigma harus digeser, bahwa rating/share bukanlah satu-satunya tools, tetapi tayangan sehat, berkualitas dan edukatif musti dijadikan umpan utama mengail iklan.

Ketiga, berkait masalah diatas, ‘suara hati’ semua pihak musti terbuka. Peker­ja media, pengiklan dan terkhusus bagi pemilik media tak selayaknya hanya mengejar rating semata namun melupakan pendi­dikan karakter bangsa. Naif bila pemasangan iklan diarus-utamakan pada rating tinggi, namun berdampak merusak moral bangsa. Kaitan ini, suara hati pengiklan mestinya terketuk dengan tidak memasang iklan pada program yang terkena teguran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perihal pelanggaran P3SPS.

Keempat, penguatan kapasitas praktisi info­tainment. reporter, kame­ramen, produser, penu­lis naskah dan editor (news room) semestinya dibekali kapasitas jurnalistik mema­dai dan memahami aturan dalam P3SPS agar mampu meningkatkan kualitas tayangan, baik bagi produc­tion house selaku penyedia konten maupun terhadap kru inhouse production lembaga penyiaran. Bila perlu, semua program info­tain­ment dikelola secara inhouse oleh  divisi news. Atas dasar kebutuhan pe­nguatan kapasitas jurnalisme dan pemahaman P3SPS, dibutuhkan uji kompetensi pekerja media secara selektif, ketat dan berkala sebagai lisensi (syarat masuk) menjadi pekerja media di lembaga penyiaran, seba­gaimana kini digagas oleh Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).

KPI telah melayangkan surat edaran ke lembaga penyiaran agar tayangan konflik antara Farhat dengan Al dan El segera dihentikan. Banyak aspek pelanggaran P3SPS, baik aspek penghormatan terha­dap hak privasi maupun perlindungan kepada anak.

Akhirnya, agar program infotainment tak men­degradasi perilaku dan mentalitas jutaan pemirsa di seluruh pelosok negeri ini, semua pihak, terutama lembaga penyiaran harus menyadari posisi dan tang­gungjawabnya dalam mem­perkuat karakter ke­bangsaan melalui tayangan sehat dan edukatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar