Pemilu
Serentak itu Penting
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45,
Makassar
|
KORAN
SINDO, 23 Januari 2014
Setahun
lalu Koalisi Masyarakat Sipil mengajukan uji materi UU Nomor 42/ 2008 tentang
Pemilihan Presiden/Wakil Presiden terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi
(MK).
Menurut rencana, MK akan membacakan putusannya pada Kamis, 23 Januari 2014 meski juga Prof Yusril Ihza Mahendra mengajukan hal yang sama. Salah satu substansi yang dimintakan uji materi adalah pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden dilakukan serentak. Pengajuan itu patut diapresiasi sebagai hak konstitusional warga negara. Memang sejumlah elite partai politik berharap agar MK tidak mengabulkan gugatan itu. Alasannya, tidak tepat waktu diwujudkan untuk Pemilu 2014 karena pemilu legislatif tinggal hitungan hari. Mereka khawatir tahapan pemilu yang sudah berjalan sesuai jadwal akan kacau sehingga bisa terjadi gesekan dan instabilitas dalam masyarakat. Alasan itu bisa dipahami jika melihat mepetnya waktu pelaksanaan Pemilu Legislatif 9 April 2014 yang sudah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tetapi, secara substansial, pemilu serentak bukan hanya penting, melainkan juga akan meminimalisasi potensi konflik sekaligus menekan besar biaya seperti yang dikeluhkan selama ini. Tetapi, apa salahnya pemilu legislatif yang disatukan dengan pemilu presiden/ wakil presiden diundur sampai batas waktu yang rasional seperti alasan pemohon? Tetapi, di tengah kredibilitas hakim MK yang merosot di mata publik akibat ulah mantan Ketua MK Akil Mochtar dan belum lengkap keanggotaan hakim MK, putusan MK yang tidak sejalan dengan mayoritas kehendak publik bisa tidak membumi. Maka itu, kita berharap MK memberikan putusan yang lebih arif sebab putusannya final dan mengikat. Jika uji materi itu dikabulkan, apakah bisa dieksekusi pada Pemilu 2014 ini atau akan membuat amar putusan bahwa pemilu serentak berlaku pada Pemilu 2019. Pelaksanaan pemilu serentak membutuhkan persiapan mendasar seperti regulasi yang baik, sosialisasi, dan kesiapan sumber daya manusia. Pilkada Serentak Hal yang juga penting adalah pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara serentak. Apalagi saat ini Rancangan Undang- Undang Pilkada sedang alot dibahas di DPR yang juga menimbulkan perbedaan keinginan. Pemerintah menghendaki pemilihan bupati/wali kota dikembalikan kepada DPRD seperti sebelum 2005. Wacana yang patut disambut baik adalah ada kesepahaman anggota DPR dengan pemerintah agar pelaksanaan pilkada berlangsung murah, baik dari sisi penyelenggaraan maupun biaya sosial sebagai dampak yang menyertainya. Berdasarkan catatan Kementerian Dalam Negeri, sejak pilkada langsung digelar hingga Agustus 2013 sedikitnya 75 orang meninggal dan 256 lain cedera. Belum termasuk kerusakan infrastruktur dan sarana umum akibat amuk massa yang menolak hasil pilkada. Ini imbas dari semakin dinamisnya kehidupan sosial-masyarakat sehingga pemilihan kepala daerah selama ini berdampak pada stabilitas politik, hukum, dan ekonomi. Pengembalian pemilihan kepala daerah kepada DPRD memang cukup efektif, tetapi banyak kalangan yang menolak lantaran mencederai hak konstitusional rakyat dalam memilih pemimpinnya. Jika pemilihan langsung tetap menjadi pilihan, solusi yang ditawarkan seperti banyak disampaikan berbagai kalangan adalah pelaksanaan pilkada serentak dilakukan di tingkat provinsi. Selain dapat menekan potensi konflik dalam masyarakat, juga menekan besar biaya yang dibutuhkan. Selama ini 33 provinsi dan 492 kabupaten/kota yang harus melaksanakan pemilihan kepala daerah, kecuali Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak melaksanakan pemilihan gubernur. Akibat itu, pemilihan kepala daerah setiap lima tahun dilakukan 525 kali, yang berarti setiap empat hari sekali kita melakukan pilkada. Berdasarkan catatan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), biaya pelaksanaan satu pemilihan bupati/wali kota bisa mencapai Rp25 miliar. Sedangkan biaya pelaksanaan pemilihan gubernur sekitar Rp100 miliar. Keseluruhan biaya pemilihan gubernur dan bupati/wali kota selama lima tahun berkisar Rp17 triliun. Biaya Murah Berbagai persoalan yang timbul selain biaya tinggi dan dampak sosial, juga politik uang marak, penegakan hukum lemah, serta kecenderungan penyelenggara tidak netral. Aspek yang juga sering menjadi kendala adalah profesionalitas dan independensi penyelenggara lemah. Akibat itu, 84 komisioner KPUD dalam 2013 dipecat oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Begitu pula, kesejahteraan masyarakat yang masih di bawah rata-rata membuat mereka mudah dimanfaatkan oleh para calon kepala daerah. Rakyat begitu mudah dipengaruhi oleh iming-iming uang sehingga para pasangan calon harus mengeluarkan uang yang besar. Bukan hanya itu, energi juga habis untuk menyelesaikan konflik karena calon yang kalah tidak siap menerima kekalahan. Jika pilkada serentak di provinsi dilakukan, pelaksanaan pilkada hanya 33 kali setiap lima tahun, selain pemilu legislatif dan presiden yang juga sedang diuji di MK agar dilakukan serentak. Hitung-hitungan penghematan anggaran karena hanya menggunakan satu kertas suara, bahkan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota juga bisa melakukan patungan biaya. Lebih dari itu, pelaksanaan pilkada secara keseluruhan hanya dua bulan sekali yang selama ini setiap empat hari sekali. Khusus di kabupaten/kota hanya tiga kali melaksanakan pemilu dalam lima tahun yaitu pilkada, pemilu legislatif, dan presiden (kalau tidak dikabulkan MK). Sisa biaya yang selama ini dipakai dapat dialokasikan untuk menunjang program kesejahteraan rakyat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar