Kamis, 23 Januari 2014

Konstitusionalitas Undang-Undang Pilpres

Konstitusionalitas Undang-Undang Pilpres

Hajriyanto Y Thohari   ;   Wakil Ketua MPR RI
KORAN SINDO,  23 Januari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         

Hari ini, Kamis 23 Januari 2014, kalau tidak ada penundaan, Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengambil keputusan atas uji materi mengenai ketentuan ambang batas (presidential threshold disingkat PT) dalam UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden. 

Implikasi dari gugatan atau uji materi mengenai PT tentu terkait dengan pelaksanaan pemilu presiden dan wapres (pilpres) yang harus serentak dengan pemilu legislatif. Tidak secara berurutan dalam waktu yang berbeda seperti praktik pemilu selama ini, yaitu diawali dengan pemilu legislatif (pileg) dan kemudian pilpres. Uji materi tersebut bertolak dari bacaan terhadap UUD 1945 Pasal 6A ayat 2. 

Dalam pasal tersebut disebutkan “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Pertanyaannya adalah apa pengertian “pemilihan umum” dalam ayat tersebut di atas? 

Atau dengan kata lain: kata “pemilihan umum” dalam ayat tersebut yang dimaksudkan apakah pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang dikenal dengan pemilu legislatif (pileg), atau pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden yang sering dikenal dengan pilpres? 

Pertanyaan ini sangat penting dan relevan oleh karena jawaban atas pertanyaan itulah yang menjadi inti atau dasar dari uji materi tersebut di atas. Merupakan kenyataan tekstual bahwa UUD 1945 menggunakan kata “pemilihan umum” dalam pengertian yang bermacam-macam. Mari coba kita simak bunyi Pasal 22E ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut: “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. 

Walhasil, pengertian pemilihan umum dalam UUD 1945 itu bisa berarti pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD yang sering disebut pileg, tetapi bisa juga pemilihan umum dalam arti pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden yang sering dikenal dengan pilpres. Jika kata “pemilihan umum” dalam UUD 1945 Pasal 6A ayat 2 itu dipahami sebagai pemilu legislatif (pileg) maka uji materi atau gugatan tersebut memang memiliki argumen yang kuat, bahkan sangat kuat. 

Dan benar pula kalau penggugat menuding praktik pilpres yang dilakukan selama ini tidak konstitusional. Pasalnya, yang dimaksud dengan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum legislatif (pileg). 

Pertanyaannya atas dasar apa UU Pilpres membuat ketentuan partai politik atau gabungan partai politik yang melampaui presidential threshold saja yang berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden? 

Mestinya, demikian kata penggugat, semua partai politik peserta pemilu (legislatif) berhak mengusulkan calon presiden dan wakil presiden. Dan karena itu pula maka sebagai konsekuensinya— demikian kira-kira kelanjutan dari gugatan itu— pileg dan pilpres mutlak harus dilaksanakan secara serentak. 

Penafsiran yang Nisbi 

Pertanyaan saya adalah atas dasar apa penggugat atau pengaju uji materi meyakini bahwa kata “pemilihan umum” yang disebutkan dua kali dalam UUD 1945 Pasal 6A ayat itu adalah pemilihan umum legislatif atau pileg? Saya rasa ini hanya penafsiran belaka yang sifatnya nisbi. 

Dan karena penafsiran yang nisbi maka tidak relevan menuding mereka yang memiliki penafsiran berbeda sebagai menginjak-injak konstitusi, sementara sebaliknya penafsiran dirinya sebagai yang satusatunya yang benar dan suatu upaya penegakan konstitusi. Apalagi—ini perlu dicatat tebal—bahwa Pasal 6A ayat 2 itu tidak masuk dalam bab tentang Pemilihan Umum, melainkan masuk ke dalam Bab III UUD 1945 tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. 

Walhasil, jika dalam bab ini dicantumkan atau diatur tentang pemilihan umum maka pengertian pemilihan umum di sini adalah bukan tentang pemilihan umum pada umumnya, melainkan pemilihan umum dalam arti khusus, yaitu pemilihan umum untuk memilih salah satu penyelenggara kekuasaan negara yang menjadi lingkup bab itu: tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden. 

Sangat meyakinkan, oleh karena Pasal 6A ayat 2 itu masuk ke dalam Bab III UUD 1945 tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, dalam hal ini presiden, maka pengertian “partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum” di dalam pasal 6A ayat 2 tersebut adalah “Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum untuk memilih Presiden (Pilpres)”, bukan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif (pileg). 

Telah ditegaskan bahwa dalam UUD 1945, Pemilihan umum itu memang ada bermacam-macam. Ada pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden, ada pula pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dan itu diatur dalam bab yang khusus pemilu, yaitu Bab VIIB Pemilihan Umum. (Bahkan pemilihan umum untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota, juga disebut dengan pemilihan umum juga). 

Pertanyaannya sekarang adalah siapa yang dimaksud “partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu” dalam Pasal 6A ayat 2 itu? Jawabnya tidak lain dan tidak bukan adalah “partai politik atau gabungan parpol peserta pemilihan umum untuk memilih presiden dan wapres”, bukan partai politik atau gabungan partai politik peserta pileg atau apalagi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilukada (gubernur, bupati, atau walikota). 

Siapakah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden yang disingkat pilpres? Partai politik peserta pilpres adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pileg yang mencapai presidential threshold sebagaimana yang diatur dalam UU Pemilu Presiden. 

Pengaturan itu sendiri merupakan pelaksanaan dari Pasal 6A ayat 6 yang berbunyi “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum (baca: Pilpres) diatur dengan undang-undang”, dalam hal ini adalah: UU No 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Walhasil, praktik Pileg dan Pilpres selama ini juga sangat konstitusional. Dan UU No 42 Tahun 2008 sudah sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945. Dus, konstitusional belaka! 

Artinya, ketentuan lebih lanjut tentang pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD diatur dalam UU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD; ketentuan lebih lanjut tentang pemilu untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota ya diatur dalam UU tentang pemerintah daerah; serta ketentuan lebih lanjut tentang pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, ya diatur dengan UU tentang Pemilu Presiden. Walhasil, UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres dan praktik Pilpres selama ini tidak inkonstitusional. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar