Rabu, 08 Januari 2014

Keputusan yang Gegabah

                                         Keputusan yang Gegabah

Chappy Hakim  ;   Pilot Senior,
Pemegang Airlines Transport Pilot Licence (ATPL) No 2391
KORAN SINDO,  07 Januari 2014
                                                                                                                        


Bandar Udara Halim akan mulai melayani penerbangan komersial pada 10 Januari 2014. Ini untuk mengurangi beban Soekarno-Hatta International Airport (SHIA) yang sudah mendekati tiga kali melebihi kapasitasnya. Dalam dunia penerbangan yang dikenal padat teknologi diketahui memiliki sifat yang sangat taat asas dalam arti semua kegiatannya diatur dengan aturan-aturan dan ketentuan yang ketat serta tanpa kompromi. 

Sedikit saja aturan dilanggar, sebenarnya itu sudah merupakan tindakan yang “membuka” pintu terjadi kecelakaan. Dalam kondisi yang seperti itu, bila berhadapan dengan masalah, menjadi tidak mudah untuk dapat mengatasinya. Seorang peneliti senior di National Aeronautic and Space Administration (NASA) Dr Judith Orasanu mengatakan, “Dalam dunia penerbangan Anda tidak akan mampu menyelesaikan masalah bila Anda tidak mengetahui bahwa Anda tengah menghadapi masalah dan bila Anda tidak mengetahui anatomi dari masalah yang tengah Anda hadapi.”
SHIA dibangun dengan kapasitas untuk melayani 22 juta penumpang setiap tahun, namun pada 2012 saja SHIA sudah harus melayani lebih dari 54 juta penumpang. Itu berarti SHIA sudah dipaksa melayani kapasitas yang sudah hampir tiga kali lipat dari kemampuannya. Ini menyimpulkan bahwa SHIA sudah dikelola melewati aturan yang ditentukan saat dirancang yaitu hanya melayani penumpang sebanyak 22 juta per tahun. Dengan perkataan lain, SHIA sudah dikelola dengan “tidak tahu aturan”. 

Seharusnya saat sudah akan melewati 100% kapasitas kemampuannya, atau bahkan sesaat sebelum itu, semua izin penerbangan langsung dibatasi agar tidak terjadi “over-loaded”. Namun, yang terjadi adalah seperti saat ini yaitu begitu banyak keterlambatan penerbangan sebagai akibat kapasitas yang sudah hampir mencapai tiga kali lipat lebih besar. Ditambah lagi dengan beberapa faktor penyebab antara lain kondisi air traffic control (ATC) baik peralatan dan kualitas serta kualitas sumber daya manusianya. 

Sangat disayangkan, solusi dari “salah urus” manajemen SHIA yang menghasilkan proyek over loaded ini adalah memindahkan beberapa penerbangan ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Solusi tersebut sungguh sangat memojokkan pihak Halim yang dipaksa untuk berhadapan dengan masyarakat banyak pengguna jasa angkutan udara yang sudah frustrasi di Cengkareng. Akses jalan menuju Halim yang hanya satu dan relatif sempit dipastikan akan menjadi “biang kerok” kemacetan di sekitar Lanud Halim. 

Seperti yang telah terjadi di Lanud Husein Bandung, beberapa waktu lalu masyarakat pengguna jalan telah memaksa pihak pangkalan untuk membuka akses jalan menembus tengah-tengah kompleks militer pangkalan udara Husein untuk mengurai kemacetan parah yang terjadi di jalan menuju Husein. Hal yang serupa kiranya akan terjadi juga nanti di Halim. Yang juga sangat tidak etis adalah ada tidak kurang dari dua sekolah penerbang yang harus “angkat kaki” dari Halim untuk memberikan jatah penerbangan bagi rute yang dipindahkan dari SHIA. 

Belum lagi keberadaan empat skuadron udara di Halim yang dipastikan akan terganggu dengan penambahan penerbangan tumpahan dari Cengkareng. Puluhan tahun rencana kerja dan latihan Angkatan Udara di Lanud Halim terganggu saat status Halim dijadikan International Airport sementara saat menunggu kesiapan SHIA. Saat itu semua latihan telah dipindahkan dengan paksa ke Bandung dan Lampung yang saat ini tidak mungkin lagi dilakukan karena sudah sangat penuh pula trafficnya. 
Banyak yang tidak memahami bahwa Halim “bukan hanya” sebuah aerodrome, melainkan juga berfungsi sebagai “subsystem” dari alat utama sistem persenjataan Angkatan Udara. Di Lanud Halim terdapat basis utama dari Markas Besar Komando Pertahanan Udara Nasional, Skuadron Udara, Skuadron Teknik Pemeliharaan Pesawat, dan Batalion Tempur Korps Paskhasau. Semua itu menggunakan Lanud Halim tidak saja sebagai sebuah pangkalan udara, tetapi juga sekali lagi sebagai subsistem pertahanan udara nasional. 

Di sisi lain, rancang bangun dari pangkalan udara Halim tidaklah diperuntukkan bagi penerbangan komersial karena di kawasan Halim terdapat dua area kawasan terbang latihan dan tes pesawat udara (pascapemeliharaan) di atas Bogor Area dan Pelabuhan Ratu Area. Kegiatan di kawasan ini akan sangat terganggu bila ada kegiatan penerbangan reguler komersial pada jam-jam tertentu. Faktor keselamatan terbang menjadi tidak dapat terjaga dengan baik. SHIA dan Halim memang sama-sama sebuah aerodrome, tetapi dengan peruntukan yang sangat berbeda. 

SHIA berorientasi “profit-oriented” atau bisnis mencari keuntungan, sementara Lanud Halim berorientasi kepada “combat-readiness” atau kesiapan tempur. Lebih tidak adil lagi dirasakan adalah SHIA yang telah melakukan kesalahan sehingga terjadi kekacauan penerbangan belakangan ini, kemudian Lanud Halim dipaksa untuk menanggung akibatnya. Masyarakat luas yang tidak begitu paham tentang apa yang sebenarnya telah terjadi akan mudah sampai pada kesimpulan bahwa Angkatan Udara tidak mau membantu kepentingan mereka! 

Angkatan Udara dalam hal ini Lanud Halim telah dibenturkan kepada kepentingan orang banyak pengguna jasa angkutan udara berbiaya murah yang kini tengah marak, murah meriah. Alangkah tragisnya. Solusi hendaknya dicarikan dengan terlebih dahulu mencermati akar masalah yang dihadapi agar dapat benar-benar memperoleh keputusan yang tepat. Jangan sampai mengambil keputusan yang gegabah! 

Bila hanya memutuskan untuk sekadar memindahkan ke Halim, tidak mustahil kelebihan kapasitas yang sangat membahayakan itu akan terulang kembali di Halim. Kita semua tentu tidak ingin dikatakan sebagai yang pernah diutarakan oleh orang Yunani: Errare humanum est. Perseverare diabolicum (Berbuat kesalahan adalah suatu hal manusiawi. Mengulangi kesalahan adalah perbuatan iblis).  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar