Rabu, 08 Januari 2014

Dicari : Presiden yang Konstitusional!

                       Dicari : Presiden yang Konstitusional!

Tito Sulistio  ;   Kandidat Doktor Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH),
Founder Charta Politica
KORAN SINDO,  07 Januari 2014
                                                                                                                       


Reformasi itu apa sih? Reformasi yang terjadi pada 1998 dipercaya mempunyai arah utama sebagai reformasi politik. Selain menurunkan Bapak Presiden Soeharto, reformasi bermakna juga memberikan napas demokrasi yang lebih luas dan lebih segar dalam memilih dan menentukan para pemimpin di Indonesia. 

Untuk melegalisasi beberapa tujuan reformasi itu, dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun sejak 1999 hingga Agustus 2002 konstitusi republik ini telah mengalami empat kali amendemen yang secara langsung mereformasi konstitusi Indonesia. Amendemen mengubah fundamen kenegaraan, mulai dari struktur ketatanegaraan, hingga aspek-aspek HAM, ekonomi, politik, dan sosial yang menyentuh langsung hidup rakyat. Sudah hampir 12 tahun sejak amendemen terakhir dilakukan, pertanyaannya: apakah amanat UUD 1945 sudah semua diimplementasikan dalam undangundang pelaksananya? 

Apakah presiden sebagai pelaksana tertinggi pemegang amanah menjalankan pemerintahan sudah memastikan bahwa implementasi pelaksanaan konstitusi sudah berjalan sesuai konstitusi? Amendemen yang telah dibuat secara langsung mereformasi sistem politik di republik ini, sesuai salah satu tuntutan reformasi, pemilihan umum secara langsung. Tata cara yang terdapat pada Bab VIIB UU 1945 intinya mengatakan, pemilihan umum dilaksanakan secara langsung lima tahun sekali. Pemilihan umum secara langsung ini juga diselenggarakan untuk memilih presiden dan wakil presiden sesuai yang tertulis pada Bab VII B Pasal 22E ayat (2). 

Terkadang suatu UU dibentuk dengan meletakkan konsideran mengingat atau pertimbangan pasal tertentu dalam UUD 1945, namun semangatnya kadang bertolak belakang sama sekali. Sebut saja UU tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 21 Tahun 2011 yang secara tegas meletakkan Pasal 33 UUD 1945 dalam konsideran “mengingat”, namun belum jelas bagaimana prinsipprinsip yang terkandung di pasal-pasalnya dapat selaras dengan keberpihakan, penguasaan negara, ekonomi kekeluargaan, serta efisiensi berkeadilan yang menjadi jiwa Pasal 33. 

Atau jangan-jangan undang-undang tersebut tidak mengimplementasikan perintah rakyat melalui parlemen yang tertera dalam ayat (5) Pasal 33 UUD 1945 mengenai ketentuan pelaksanaan Pasal 33 ini. Situasi yang sama juga terkandung dalam paket UU politik yang dimaksudkan sebagai landasan hukum reformasi politik yang mulai berjalan sejak reformasi 1998. Selain tuntutan menurunkan Bapak Presiden Soeharto, reformasi pada 1998 juga bermakna memberikan napas demokrasi yang lebih luas dan lebih segar dalam memilih dan menentukan para pemimpin di republik ini. 

Amendemen- amendemen yang dilakukan terhadap UUD 1945 secara langsung mereformasi sistem politik di republik ini. Tata cara yang terdapat pada Bab VIIB intinya mengatakan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung lima tahun sekali. Pemilihan umum secara langsung ini juga diselenggarakan untuk memilih presiden dan wakil presiden sesuai dengan yang tertulis pada Bab VII B Pasal 22E ayat (2). Sebagai konstitusi politik, UUD 1945 harus juga menjadi acuan dasar berpolitik bagi seluruh rakyat dan otoritas negara di Indonesia. 

Tidak boleh lagi ada UU atau peraturan pelaksanaan yang implementasinya bertentangan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi politik. Konstitusi republik ini adalah dogma yang mutlak mengikat, apalagi saat ini UUD 1945 hanya terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal. Ini menghapuskan dan membuang bagian penjelasan dari batang tubuh UU. Pertanyaan yang mendasar kembali juga ada pada implementasi pasal-pasal mengenai politik dari UUD 1945. 

Apakah implementasi politik dari konstitusi ini telah diaplikasikan dan diimplementasikan dalam UU pelaksanaannya, sesuai yang tertera pada Pasal 22E (1,2,3,4,5,6) dan Pasal VIA (2) UUD 1945? Implementasi dan UU menjadi tanggung jawab mutlak dari presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah sesuai Pasal 4 UUD 1945 karena itu juga menjadi tanggung jawab konstitusional presiden untuk selalu berpijak pada konstitusi politik dan ekonomi yang terkandung dalam UUD 1945. 

Presiden tidak bisa dan tidak boleh mengajukan rancangan UU kepada DPR yang jiwa yang dikandungnya bertentangan dengan UUD 1945. Presiden dalam kekuasaannya boleh mengeluarkan peraturan pemerintah untuk menjalankan UU, juga instrumen lain seperti peraturan presiden, keputusan presiden, instruksi presiden, tetapi kembali semua harus sejalan, searah, dan sejiwa dengan pesan-pesan moral yang terkandung dalam batang tubuh UUD 1945. 

Republik ini memerlukan presiden yang selalu taat kepada konstitusi, presiden yang menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan sumpah atau janji yang dia ucapkan sesuai Pasal 9 UUD 1945 untuk sebaik-baiknya dan seadil-adilnya memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan UU dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa. Presiden yang secara konstitusi bekerja sepenuh waktu sesuai fasilitas dan proteksi yang dia miliki selurus-lurusnya hanya untuk rakyat dan negara, bahkan tidak juga bekerja untuk partainya. 

Presiden yang sudah terpilih harus bekerja selurus lurusnya kembali untuk rakyat dan negara, sesuai sumpah yang dia ucapkan menuruti konstitusi. Republik ini juga memerlukan untuk mempunyai seorang presiden yang mencalonkan diri serta dipilih secara konstitusional sesuai konstitusi yang ada dan tertulis pada pasal-pasal di UUD 1945. Jika bab, pasal, dan ayat yang ada pada UU Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU 42/2008) bertentangan dan tidak searah dan sejalan dengan konstitusi kita republik ini yaitu UUD 1945, presiden dan wakil presiden yang terpilih nanti menjadi tidak konstitusional. 

Penyimpangan terhadap konstitusi yang terjadi adalah menyangkut Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, Bab III tentang kekuasaan negara yang berbunyi: “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Dengan dihapus penjelasan dari batang tubuh UUD 1945, ayat di atas menjadi sangat terang benderang dan terbuka. 

Jika definisi pemilihan umum yang ada dalam Pasal 22E ayat (2) Bab VIIB tentang pemilihan umum dipakai sebagai patokan dasar, sewajarnya dan secara legal rakyat Indonesia sudah harus mendengar siapa calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik sebelum 9 April 2014, tanggal pelaksanaan pemilihan umum, artinya ketika partai politik masih berstatus “partai politik peserta pemilu”. Rakyat memerintahkan ini dalam konstitusi, rakyat akan beranggapan bahwa calon yang diajukan sesudah tanggal ini menjadi tidak legitimate dan melawan konstitusi Indonesia. 

Siapa pun di republik ini harus meletakkan UUD 1945 sebagai dogma yang harus ditaati. Pasal 22E ayat (6) tentang pemilihan umum tegas mengatakan bahwa “ketentuan lebih lanjut tentang pemilu diatur UU”, artinya UU itu tidak boleh bertentangan dengan ayat, pasal, dan bab yang ada dalam konstitusi. Kembali pertanyaan mendasar apakah UU 42/2008, yang meletakkan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 20, dan Pasal 22E UUD 1945 dalam konsideran pertimbangannya sudah sejiwa, searah dengan konstitusi. 

Tidak bisa dan tidak diperbolehkan hak seorang warga negara dirugikan secara konstitusional karena adanya implementasi dan pelaksanaan undang-undang yang berbeda atau bertentangan dengan konstitusi. Negara ini negara dengan sistem presidensial. Artinya, sesuai dengan kesepakatan masyarakat yang dibuat pada era proklamasi mendirikan negara ini, pemegang kontrak sosial dalam menjalankan pemerintahan adalah presiden. Karena itu, pemilu major yang akan dilaksanakan adalah pemilihan untuk presiden. 

Pemilihan parlemen adalah pemilihan minor. Jadi, memang tidak ada logikanya secara konstitusional dan arah presidensial bahwa seorang calon presiden harus menggantungkan nasib pencalonannya pada hasil pemilu legislatif. Jika itu yang terjadi, selain tidak konstitusional, pencalonan presiden dan wakil presiden juga hanya akan menjadi ajang transaksional semata. 

Yang menjadi tantangan sekarang, apakah Mahkamah Konstitusi yang mempunyai kekuasaan mutlak menjadi penjaga kesucian dari UUD 1945, sesuai dengan Pasal 24 C ayat (1) kehakiman masih terinfeksi oleh “sindrom AM” yang lebih mengedepankan materi dan kekuasaan politik, atau hakim-hakim mahkamah yang tersisa tetap mempunyai nurani dan mau menjaga kesucian konstitusi politik dari republik ini yaitu kesucian UUD 1945. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar