Keputusan
Berdampak Luas
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
19 Januari 2014
Perlu lima tahun bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono membekukan ekspor mineral mentah sesuai dengan amanat Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Keputusan ini menimbulkan
kontroversi di antara orang asing ataupun para petambang mineral dan batubara
skala kecil.
Kontroversi terjadi karena ketidakjelasan
dan ketisetimbangan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014. Sikap
pemerintah ini juga dituduh sebagai nasionalisme sumber daya alam.
Penggunaan istilah pemurnian dan
pengolahan mineral dan batubara (minerba) mengundang perdebatan di dalam dan
luar negeri. Terutama karena memberikan preferensi atas batas minimum kadar
pengolahan yang memungkinkan perusahaan besar, seperti PT Freeport Indonesia
dan PT Newmont Nusa Tenggara, tetap bisa mengekspor sampai tahun 2017.
Keputusan Indonesia untuk melarang ekspor mentah minerba menjadi keputusan
penting walaupun terlambat diberlakukan.
Bersamaan dengan preferensi
tersebut, muncul berita penundaan kapal-kapal pengangkut minerba berbendera
China di Sulwaesi Selatan karena dianggap melanggar peraturan pemerintah
tersebut. Beragam komentar bermunculan dengan pemberlakuan undang-undang
tersebut karena dianggap tidak akan efektif bersamaan dengan pergantian
pemerintahan menjelang akhir tahun 2014 ini.
Ada yang menganggap peraturan itu
menyebabkan Indonesia merugi 1,6 miliar dollar AS dari pelarangan ekspor
mentah minerba. Sejak reformasi ekonomi China, Indonesia menjadi eksportir
utama minerba, khususnya bauksit, tembaga, dan nikel, yang digunakan untuk
membuat baja. Selama satu dekade lebih, Indonesia adalah pemasok 20 persen
nikel dunia, pemasok bauksit sebesar 10 persen untuk menjadi bahan dasar
pembuatan aluminium, dan 3 persen tembaga.
Dalam skala global, keputusan ini
harus dilihat dampaknya dalam kurun satu dekade ke depan karena usaha minerba
bukan permasalahan 1-2 tahun ke depan menyangkut persoalan teknis
penambangan, pengolahan, perpajakan, dan sebagainya.
Di sisi lain, persoalan minerba
juga berdampak luas terhadap persoalan geostrategis kita karena menyangkut
kepentingan nasional banyak negara mempertahankan pertumbuhan ekonominya.
Dampak strategis
Dalam satu dekade terakhir ini,
persoalan keamanan energi ataupun sumber daya alam menjadi sangat strategis
yang bisa memicu pertikaian berkepanjangan menghambat terjadinya kerja sama
regional dan global, bahkan pada titik tertentu memicu konflik internal
serius, seperti yang terjadi di kawasan Asia. Dalam konteks Indonesia,
minerba pun menjadi komoditas strategis dan tidak bisa lagi dianggap sebagai
produk kerja sama investasi, disurvei, digali, dan dikapalkan belaka.
Di sisi lain, kepentingan
strategis kepemilikan minerba yang berada di suatu negara dengan mudah
berubah menjadi persaingan antarnegara. Seperti yang terjadi antara negara
maju dan China yang impresif pertumbuhan ekonominya ketika memutuskan untuk
menghentikan ekspor tanah langka dan menyebabkan perselisihan serius mengarah
ke perang dagang pada tahun 2011.
Keputusan larangan ekspor minerba
Indonesia pun akan berdampak strategis sangat luas ketika negara-negara
dunia, terutama antara negara maju dan China, menggelar kekuatan strategis
nasional. Dalam konteks regional, kita bisa melihat rencana China yang
menganggarkan 40 triliun yuan (sekitar 6,5 triliun dollar AS) untuk
urbanisasi, memindahkan 400 juta orang ke perkotaan dalam kurun satu dekade
ke depan.
Dewasa ini China memiliki 170 kota
dengan penduduk lebih dari 1 juta orang dan meningkat menjadi 225 kota sampai
dengan tahun 2025. Negara raksasa ini juga harus memberikan makan penduduknya
yang terdiri atas 22 persen total penduduk dunia dengan ketersediaan lahan
hanya kurang dari 7 persen yang bisa digarap.
Lanskap kompetisi
Bayangkan berapa banyak besi baja,
aluminium, dan barang minerba yang dibutuhkan China dari sekarang sampai
dekade kedua abad ke-21 ini. Antara tahun 2009 dan 2025 saja, kebutuhan
Tiongkok akan tembaga akan tumbuh sebesar 6 persen per tahun, mulai dari 6,5
metrik ton pada akhir tahun 2009 menjadi 16,5 metrik ton pada tahun 2025.
Yang menjadi pertanyaan, wilayah mana yang akan menjadi pemasok kebutuhan
sebesar itu?
Dikhawatirkan, masalah keamanan
sumber daya minerba ini meningkatkan ketidakpercayaan strategis yang
diantisipasi oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa. Dan, secara bersamaan
mengubah drastis lanskap kompetisi, khususnya di antara negara Asia, terutama
China Jepang, Korea Selatan, dan India.
Perencanaan strategis komprehensif
dibutuhkan agar persoalan nasionalisme minerba ini tidak membawa persoalan
baru yang pelik dalam rangka tatanan globalisasi. Liberalisasi ekonomi dan
perdagangan harus bisa saling menguntungkan banyak pihak, baik pemilik
minerba, pemilik modal, maupun negara-negara yang membutuhkannya bagi
pembangunan ekonomi nasional. Dan preferensi adalah pilihan yang sangat
buruk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar