Amartya
Kumar Sen Membongkar Kemiskinan
Lusiana Indriasari ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS,
19 Januari 2014
"Begawan ekonomi India, Amartya Kumar Sen, menilai penting
ruang multikultur untuk menciptakan perdamaian. Karena itu, pengkotakan
identitas harus dibongkar. Manusia lebih mampu hidup bersama secara damai
daripada dalam suasana konflik dan penuh kekerasan. Kuncinya adalah
dialog."
Sen diundang ke
Indonesia untuk menjadi pembicara kunci dalam Forum Kebudayaan Dunia (World Culture Forum) di Nusa Dua,
Bali, 24-27 November 2013. Sen baru pertama kali datang ke Indonesia meski ia
sudah sejak lama ingin berkunjung ke negara yang ia sebut sebagai ”saudara”
India ini. Menurut Sen, perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa tidak
pernah luput dari pengamatannya.
”Ketika masih sekolah di Santiniketan, saya sudah dikelilingi
oleh perajin batik dan wayang kulit yang terinspirasi oleh Indonesia. Saya
beruntung bisa benar-benar berada di sini sekarang,” ungkapnya di depan
forum yang diikuti sekitar 1.000 peserta.
Santiniketan adalah
kota kecil di dekat Kalkutta, India. Sen pernah mengenyam pendidikan di
sekolah yang dibangun sastrawan Rabindranath Tagore, peraih Hadiah Nobel
Sastra tahun 1913. Nama Amartya juga pemberian dari Tagore.
Sen adalah orang India
keenam yang meraih Nobel untuk Ilmu Ekonomi pada tahun 1988 dari The Royal Swedish Academy of Sciences
setelah melahirkan karya-karya terkait Ekonomi
Pembangunan. Salah satu karyanya berjudul Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation meneliti
kemiskinan dan kelaparan, terutama tentang kasus kelaparan di Banglades tahun
1974.
Hasil penelitiannya
itu menantang pendapat arus utama bahwa kekurangan pangan merupakan sebab
utama kelaparan. Sen menganalisis berbagai penyebab kemiskinan dan kelaparan
di dunia.
Studi yang ia lakukan
mencakup kasus-kasus sejarah kelaparan di India, Banglades, Etiopia, dan
negara-negara sub-Sahara Afrika. Dari kasus-kasus itu, analisis Sen membuktikan
bahwa bencana kelaparan lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor sosial dan
ekonomi, seperti sistem administrasi dan pengelolaan distribusi pangan.
Sebagai mahasiswa,
sejak umur 18 tahun Sen sudah menyangsikan teori Robert Malthus yang meyakini
bahwa ketersediaan pangan tidak cukup untuk pertumbuhan penduduk yang cepat.
Kegelisahannya tentang kekurangan pangan muncul dari ganjalan memori masa
kecil Sen.
Ekonomi kesejahteraan
Ketika berusia 10
tahun, ia menjadi saksi bencana kelaparan di Bengali, tanah kelahirannya di
Banglades, yang menewaskan lima juta jiwa. ”Saya selalu teringat kepada pengemis-pengemis yang sedang sekarat
minta beberapa tetes tajin (air rebusan beras),” kata Sen dalam sebuah
wawancara pada tahun 1996 seperti dikutip buku Demokrasi (tidak) Bisa Memberantas Kemiskinan.
Sen yang semula ingin
menjadi ahli sastra seperti kakeknya, Acharya Kshitimohan Sen, seorang ahli
bahasa Sanskrit yang bekerja sebagai sekretaris pribadi Tagore, akhirnya
banting setir mempelajari ekonomi. Di saat yang lain ia juga memperdalam ilmu
filsafat. Sen lahir dari keluarga yang dekat dengan bidang ilmu pengetahuan.
Ayahnya adalah Guru Besar Ilmu Kimia, sementara ibunya, Amita Sen, dan
keluarganya dekat dengan Tagore. Sen adalah ekonom yang ”lain”. Ia banyak menganalisis
persoalan ekonomi dari dimensi filosofis dan etis. Pada masa itu, dan
berkembang hingga sekarang, ilmu ekonomi lebih banyak berorientasi pada
bisnis dan mekanisme pasar yang lebih menguntungkan golongan atas. Sen
”melawan” dengan banyak menganalisis persoalan-persoalan kemiskinan,
kelaparan, dan ketimpangan pembangunan yang menimpa masyarakat bawah.
Ia banyak mengamati
masalah kemanusiaan, terutama persoalan masyarakat yang dimiskinkan oleh
proses pembangunan yang berorientasi pasar dan bisnis. Ia kemudian dikenal
sebagai peletak dasar ekonomi kesejahteraan, istilah baru yang lebih menukik
dari studi ekonomi pembangunan.
Kajiannya tentang
ekonomi kesejahteraan, sebelum Nobel, telah mendapat penghargaan serupa dari
berbagai lembaga, antara lain Mahalaobis
Prize (1976) dan Rank E Seidman
Distinguished Award bidang politik ekonomi (1986). Ia juga pernah
memegang sederet jabatan tingkat internasional, antara lain menjadi Presiden
Masyarakat Ekonometrik (1984) dan Asosiasi Ekonom Internasional (1986-1989).
Sen juga dikenal di kalangan filsuf dunia dan menjadi anggota Asosiasi
Filsafat Amerika.
Kehadiran Sen dalam
FKD dianggap relevan karena ia merupakan peletak dasar pembangunan manusia di
atas pembangunan ekonomi, di mana kebudayaan sebagai ”napas hidup” manusia
terlibat di dalamnya.
Dialog, bukan
konfrontasi
Sen berbicara sekitar
satu jam di atas podium. Ia memberikan semacam kuliah terbuka tentang
kebudayaan sebagai dialog perdamaian yang ia kaitkan dengan pembangunan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sen memberikan waktu
kepada Kompas untuk wawancara. Sen beberapa kali mengungkapkan
keyakinan kuat bahwa manusia pada dasarnya lebih mampu hidup bersama secara
damai daripada hidup dalam suasana konflik dan penuh kekerasan. ”Dengan kemampuannya berbicara, manusia
sanggup menggantikan konfrontasi dengan dialog,” ujar pencinta minuman
kopi ini.
Keyakinan Sen akan
perdamaian sebagai keinginan dasar manusia itu dilandasi pada kebutuhan
manusia untuk melanjutkan hidup. Perdamaian penting untuk menggerakkan kemajuan
ekonomi dan kemajuan sosial masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan manusia.
Bagaimana Anda melihat
relevansi kebudayaan dengan kemajuan ekonomi
suatu bangsa?
Keterkaitan secara
langsung memang tidak ada. Namun, kebudayaan bisa menjadi salah satu faktor
penyebab kemajuan atau kemunduran ekonomi. Indonesia memiliki sejarah panjang
tentang hal itu. Dalam sejarahnya Indonesia terbukti selalu memberi ruang
multikultur dalam kerangka yang kokoh, yaitu melalui dialog-dialog
antar-kebudayaan yang hadir di Indonesia.
Ruang multikultur ini
penting untuk menciptakan perdamaian. Tantangannya adalah jangan sampai ruang
multikultur ini dipakai untuk mengotak-ngotakkan identitas sehingga
menimbulkan sengketa. Perdamaian sangat diperlukan untuk perkembangan ekonomi
dan sosial suatu bangsa.
(Menurut Sen, globalisasi jangan sampai dieksploitasi oleh
kelompok-kelompok kekerasan yang membawa konsekuensi merusak. Seharusnya
terjalin interaksi kultural global untuk memajukan masa depan kita.)
Bagaimana seharusnya melihat
identitas kita agar tidak terjadi sengketa?
Ini persoalan
bagaimana kita melihat diri kita sendiri dan bagaimana orang lain memahami
kita. Apakah kita mau dikategorisasikan berdasarkan satu kriteria saja,
padahal kita punya banyak kriteria, entah itu berbasis agama, ras,
kebangsaan, atau etnis. Sementara di dalam semua itu pun kita memiliki basis
plural.
Kita juga bisa
menetapkan identitas berdasarkan tempat tinggal, pendidikan, profesi,
pandangan politik kita, atau komitmen sosial. Pluralitas tidak terelakkan,
tidak bisa dihindari, maka upaya-upaya untuk memasukkan kita dalam ”satu
kotak identitas” akan membuat setiap orang di dunia ini salah paham.
Kemanusiaan kita akan hilang jika hanya terpaku pada satu identitas saja,
misalnya sebutan Yahudi oleh Nazi atau Hitam oleh apartheid Afrika Selatan.
Saya telah mencoba
mengajukan pandangan lewat buku saya Identity and Violence: The Illusion
of Destiny, bahwa kita semua punya banyak afiliasi dan asosiasi,
misalnya terkait dengan bahasa, musik, profesi, bisnis, politik, dan
seterusnya. Masing-masing afiliasi itu cocok dengan cara hidup kita tanpa
harus menyingkirkan kelompok identitas lainnya. Persoalan dimulai ketika
berbagai perbedaan itu dipaksa memasuki satu ”kotak identitas” seperti
menyebut bagian dari peradaban Dunia Islam, Dunia Buddha, Dunia Hindu, dan
sebagainya.
Memanusiakan manusia
Sen juga menyinggung
kembali persoalan pengentasan rakyat dari kemiskinan. Menurut Sen, kemiskinan
bisa teratasi jika pembangunan dilandaskan pada memanusiakan manusia. Manusia
tidak dianggap sebagai obyek pembangunan, tetapi di setiap lapisan
masyarakat, manusia adalah subyek dari pembangunan itu sendiri.
Apa dampak pembangunan
manusia bagi kemajuan ekonomi?
Hubungan antara
pembangunan manusia dan perluasan ekonomi telah lama diabaikan dalam diskusi
publik di Barat. Sekarang memang sudah ada sedikit perubahan, tetapi Barat
memiliki kepentingan lain. Indonesia dan India memiliki banyak kesamaan,
penduduk dan jenis etnisnya sangat banyak. Kita memiliki persoalan yang jauh lebih
beragam dan perlu pendekatan budaya yang juga sangat beragam. Namun, kunci
dari semua itu adalah pendidikan dasar, kesehatan, dan penyebarluasan peluang
ekonomi.
Ketiga hal itu bisa
diraih melalui kebebasan nyata yang bisa dinikmati rakyat. Kebijakan
pemerintah yang mengatur sosial ekonomi akan mendukung kebebasan itu, seperti
adanya jaminan atas hak-hak sipil dan politik, kebebasan mengikuti diskusi
publik, dan terlibat dalam pengawasan serta penyediaan fasilitas pendidikan
dan kesehatan. Pengabaian terhadap penyediaan fasilitas publik adalah bentuk
tirani terhadap kebebasan yang mengerdilkan manusia dan bisa berujung pada
minimnya produktivitas dan terjadi proses pemiskinan.
Jepang bisa menjadi
contoh. Negara itu meletakkan dasar kemajuan pembangunan ekonominya pada
pendidikan dasar dan kesehatan sebagai penggerak utama perubahan. Kedua hal
itu juga melibatkan penyerbarluasan peluang ekonomi, seperti pendidikan dan
pelatihan, reformasi tanah, ketersediaan kredit sehingga masyarakat kecil
bisa meraih kesempatan yang ditawarkan oleh ekonomi pasar. Perlu ada
kehati-hatian antara tindakan pemerintah dan penggunaan ekonomi pasar.
Kemampuan produktif
Pembangunan manusia,
kata Sen, lebih dari sekadar peningkatan langsung kualitas kehidupan, yakni
juga berdampak pada kemampuan produktif manusia. Hal ini selanjutnya akan
berdampak pada pertumbuhan ekonomi dengan basis yang merata, berbeda dengan
indikator pertumbuhan ekonomi semu, yang ternyata kontribusinya banyak
didominasi sektor industri dan masyarakat kelas atas.
Ia memberi contoh
melek huruf dan angka membantu partisipasi masyarakat dalam proses perluasan
ekonomi. Untuk memanfaatkan peluang perdagangan global dibutuhkan adanya
kontrol kualitas dan produksi yang sesuai spesifikasi. Hal ini sulit dicapai
jika pekerja tidak melek huruf dan angka. Gizi yang baik juga membuat pekerja
menjadi lebih produktif.
Sen sendiri tidak anti
terhadap mekanisme pasar. Menurut dia, mekanisme pasar merupakan sarana
berinteraksi satu sama lain demi menjalankan aktivitas yang saling
menguntungkan. Persoalan muncul bukan dari mekanisme pasar tersebut,
melainkan dari sumber lain, seperti tidak memadainya persiapan masyarakat
untuk memanfaatkan transaksi pasar, penyembunyian informasi, atau tidak
adanya aturan tentang penguasaan sumber daya. ”Sesungguhnya prestasi pasar
sangat bergantung pada pengaturan sosial politik,” ujar Sen.
Sen mengingatkan
perlunya negara-negara, terutama negara berkembang, mengembangkan sistem
proteksi sosial untuk melindungi lapisan masyarakat tertentu yang rentan
terpuruk jika terjadi krisis ekonomi.
Di tangan Sen, ilmu
ekonomi bukanlah pedang untuk membunuh nyawa kaum yang terpinggirkan,
melainkan justru untuk mengangkat kesejahteraan mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar