Hukum
di Jumat Petang
Margarito Kamis ; Doktor Hukum Tata Negara,
Staf
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
|
KORAN
SINDO, 15 Januari 2014
Hari
Jumat, yang kata para bijak adalah rajanya hari dalam seminggu, juga seolah
telah menjadi rajanya hari dalam berhukum di Indonesia.
Siapa pun yang telah ditetapkan status hukumnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dan diperiksa pada hari itu, Jumat, entah untuk pertama kali atau untuk kesekian kalinya pasti ditahan dan ditempatkan di rumah tahanan negara, rutan. Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat, partai yang sekarang diketuai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang juga presiden ini, ditahan oleh penyidik KPK. Seperti yang lainnya, Anas ditempatkan di rumah tahanan negara yang berada di KPK. Penahanan ini menarik. Yang menarik adalah hiruk-pikuk nonhukum yang mengitari peristiwa hukum ini. Rangkaian Soal Setelah lebih dari lima jam, entah diperiksa atau ngobrol-ngobrol biasa saja antara Anas dengan penyidik-penyidik, pemeriksanya, kurang lebih pukul 18.00 WIB Anas meninggalkan ruang pemeriksaan. Khas hukum Jumat petang, ketika sosoknya muncul di khalayak, rompi tahanan KPK telah dikenakannya. Sejenak sebelum berjalan menuju ruang tahanan, Anas disapa para pewarta yang telah seharian menunggu sepatah dua patah kata darinya. Di atas segalanya, kata Anas diujung keterangannya kepada para pewarta, dia berterima kasih kepada Pak SBY. Bukan itu saja, Anas pun menyatakan penahanan atas dirinya sebagai hadiah tahun baru dan semoga punya arti. Penyebutan nama SBY ini, terutama dalam statusnya sebagai presiden, pasti memiliki makna, entah apa maknanya. Apalagi nama SBY itu telah disebut Anas sejak masih di rumahnya tatkala ia sedang bersiap-siap pergi ke KPK di Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Sekatan, memenuhi panggilan mereka. Seperti pernyataannya di KPK, penyebutan nama SBY sejak masih di rumahnya jauh dari bersifat menuduh. Anas hanya mengajak para sahabat, rasanya termasuk para pewarta yang meliput peristiwa itu, menyegarkan kembali memori mereka. Memori yang mau disegarkan itu tak lain adalah sebuah peristiwa lebih dari sebelas bulan lalu, tepatnya peristiwa yang terjadi pada tanggal 4 Februari 2013. Pada tanggal itu, bertempat di Hotel Hilton, Jeddah, Makkah Al-Mukarramah, Tanah Suci, tanah mulia, SBY berbicara terbuka tentang hal-ihwal partai binaannya, Partai Demokrat. Sebagian isi bicaranya itulah yang diminta Anas untuk disegarkan kembali. Mengapa mesti disegarkan? Apakah Anas sedang menanti belas kasih atau budi baik mereka untuk dirinya dalam menghadapi kasus yang disangkakan penyidik KPK kepadanya? Entahlah, tapi rasanya tidak. Apakah Anas bermaksud meminta mereka, mungkin juga publik, melalui pernyataannya itu, untuk memastikan adanya kaitan logis antara peristiwa tanah mulia itu dengan peristiwa lain, peristiwa bocornya draf sprindik penyidik KPK, yang heboh itu? Entahlah. Tapi dari kebocoran itu tersiar kabar, luas pula, Anas ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi, yang dikenal luas dengan sebutan kasus Hambalang. Faktanya, sesudah semua peristiwa itu, kalau tidak salah, pada tanggal 22, masih pada bulan Februari 2013, Anas ditetapkan oleh penyidik KPK sebagai tersangka dalam kasus Hambalang. Adakah kaitan logis dan sempurna dari rangkaian peristiwa demi peristiwa itu? Ada kata-kata tempo dulu, entah milik siapa, yang mungkin dapat digunakan menggambarkan betapa sulitnya memberi jawaban konklusif, apalagi final, atas pertanyaan itu. Apa kata-kata itu? Anda tak bisa terus mengingat-ingat peristiwa itu, tetapi Anda tidak bisa melupakannya, kapan pun. Sesuatu yang tampak dalam indra sebagai kait-mengait tidak dengan sendirinya begitu dalam hakikatnya. Itu sebabnya David Hume, filsuf kawakan yang hidup sesudah John Locke, mengingatkan bahwa tidak boleh cepat mengambil kesimpulan atas suatu peristiwa. Dan John Locke, filsuf liberal kawakan yang terkenal dengan teori Division of Power-nya itu, mengingatkan bahwa setiap peristiwa harus dilihat persis seperti apa adanya. Tapi apakah betul tak ada peristiwa yang tak memiliki penyebab faktual? Itulah soalnya. Luka dan Petaka Pasal berapa yang disangkakan penyidik kepada Anas, yang mengakibatkan ia ditahan? Penyidik dan Anas yang tahu. Dua hal pasti adalah, pertama, pasal yang disangkakan kepada Anas pasti pasal yang berisi ancaman pidana lebih dari lima tahun. Kedua, beberapa hari sebelum hari Jumat, Anas pernah mempertanyakan pasal yang disangkakan kepadanya. Penyebabnya, begitu kabar beritanya, dalam surat panggilan penyidik KPK ke dirinya untuk diperiksa pada tanggal 7 Januari 2014, beberapa waktu lalu, terselip kata-kata “proyek lainnya”. Proyek apa? Ini pertanyaan bernalar dogmatis yang sangat logis. Secara dogmatis, sangkaan kepada seseorang sebagai pelaku tindak pidana harus jelas. Agar jelas, tindak pidana yang disangkakan itu harus diuraikan oleh penyidik, tentu singkat, dalam panggilannya itu. Walau singkat, uraian itu harus jelas sehingga tersangka mengerti, bahkan memahami perbuatan yang disangkakan kepadanya. Kata “lain” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa edisi keempat Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2008 berarti “berbeda”. Bukan tak ada objek yang ditunjuk dari kata itu, tetapi objeknya berada di luar kata itu. Objek dalam kata itu tidak menjadi substansi, juga mode. Itu sebabnya harus dijelaskan. Karena tidak dijelaskan, logis dipertanyakan oleh Anas. Ketiadaan penjelasan itulah yang mengakibatkan hukum di Jumat petang kemarin terasa bermakna. Hukum baik formal maupun material merupakan pengorganisasian hak setiap orang dan otoritas. Sebagai pengorganisasian hak seseorang atau otoritas, hukum dalam arti hakikinya adalah kendali, arah, juga pembatasan. Mendefinisikan hak seseorang atau suatu otoritas, tak punya tujuan lain, kecuali mengarahkan, membimbing, bahkan membatasi orang atau organ itu untuk tak berbuat di luar isi hukum itu. Itu sebabnya selalu merangsang munculnya rasa ngeri tatkala penegakan hukum, yang dalam ilmu hukum bukanlah hukum dalam arti dogmatik itu, digoda tindak-tanduk intervensif. Intervensi bukan hanya berarti menyepelekan batas otoritas organik, tetapi juga menyepelekan rasa dan nurani, induk hukum. Sayangnya sejarah hukum yang penuh dengan warna dialektis tidak pernah dapat mendemonstrasikan secara gamblang intervensi, sekasar apa pun bentuknya. Seperti angin, intervensi tak pernah bisa dikenali, apalagi diraba, walau bukan tak bisa dirasakan, apalagi bagi mereka yang memiliki rasa politik. Noda-noda itu akan menjadi bahan debat berkepanjangan, menarik, dan akan terus begitu. Akan ada yang mati-matian merasa dikerjai dan akan ada yang mati-matian menolak sebagai pihak yang mengerjai. Begitulah dunia penegakan hukum, dunia yang tak pernah hitam putih. Dunia ini, dalam sejarahnya, tak pernah bisa diisolasi dari lika-liku dan hantam-hantaman politik. Dunia ini mengutopiakan independensi, sehebat apa pun rindu kita terhadap independensi itu. Kini soal hukum tentang “proyek lain” yang mengundang tanya Anas dan tim hukumnya, boleh jadi, berlalu sudah dan boleh jadi juga telah terjawab. Sungguhpun begitu, hukum di Jumat petang kemarin, terus terang, ternodai. Sayangnya, sejarah penegakan hukum menunjukkan betapa noda-noda hukum itu tak banyak yang bisa terungkap bentuknya secara gamblang. Itulah petaka hukum. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar