Etika
dan Upaya Memberantas Korupsi
Ferry Ferdiansyah ; Alumni Pasca Sarjana Universitas Mercubuana Jakarta
Program Studi Magister Komunikasi |
OKEZONENEWS,
06 Januari 2014
Tahun 2013, telah berlalu. Berbagai permasalahan pun turut menyertai
pergantian tahun masehi, diantaranya masalah korupsi yang tak pernah kunjung
menghilang dari permukaan bumi tercinta ini. Upaya memberantas tikus-tikus
kantor yang terlalu sering mengerogoti pundi-pundi masa depan rakyat jika
kita boleh jujur, bukan sekadar slogan semata. Seiring hembusan angin
reformasi yang bergulir 1998, pemerintah dituntut untuk ditetapkan
prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam
setiap proses kebijakan publik.
Ironisnya, tuntutan tersebut terkesan sudah sirna dengan lahirnya era baru kebangkitan koruptor. Kian hari, pertumbuhan korupsi semakin subur, seiring meningkatnya ekonomi nasional yang mengalami trend positif. Meski sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menganggap korupsi sebagai salah satu wabah penyakit moral yang harus di berantas dan menganggap karena korupsilah yang menyebabkan bobobroknya moral seseorang. Namun, apa yang di teriakan alumni Akabri 1973 ini, justru semakin terhunus dirinya dengan semakin tingginya tingkat korupsi yang dilakukan penyelengara negara dari tingkat pusat hingga di daerah-daerah terpencil, penegak hukum yang dikepolisian maupun yang berada dipengadilan pun turut serta mengambil bagian, bahkan politisi yang tergabung dalam wakil rakyat, tak ketinggalan berbondong-bondong berurusan dengan hukum. Permasalahan inilah, yang menjadi beban tersendiri bagi bagi kepala negara nantinya pasca 2014. Korupsi yang terjadi dalam birokrasi pemerintahan sudah sangat kronis. Akibatnya, melahirkan kerusakan pada moral pelaku korupsi, tanpa sedikit ada rasa malu dan penyesalan mereka terus berlomba-lomba melakukan korupsi, bahkan sampai ada yang membangun dinasti keluarga untuk melegalkan tindakan tak terpuji ini, seperti yang terjadi di Banten. Berdasarkan rilis yang disampaikan Lembaga Transparency Internasional Indonesia (TII) mendapatkan hasil yang sangat memilukan, Indonesia berada di posisi empat negara terbawah dalam urutan tingkat korupsi. Indeks persepsi korupsi Indonesia berada di angka 32. Hasil ini sekaligus menempati Indonesia dalam urutan 118 sebagai negara terkorup, dan Indonesia berada di bawah Thailand (urutan 88) dan Filipina (urutan 108). Sedangkan tiga negara dibawah Indonesia antara lain Vietnam, Laos, Myanmar. Selain itu, survey yang dilakukan kepada 114 ribu orang di 107 negara menunjukan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap intitusi-intitusi negara di Indonesia semakin menurun terhadap upaya pemberantasan korupsi. Kekecewaan yang dialami masyarakat tentu dapat dimaklumi, di lihat dari fakta yang ada, korupsi yang awalnya sebuah ketabuhan, kini telah menjadi sesuatu yang lazim. Hampir setiap saat berbagai media di tanah air gencar memberitakan tindakan korupsi. Ketika di tayangkan oleh media elektronik maupun cetak pun, mereka tak sungkan-sungkan melambaikan tangan tanpa ada raut muka penyesalan mau pun bersalah, dengan bangga mereka selalu menjadikan konspirasi sebagai dalil dari tindakan yang diperbuat. Beberapa waktu lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah "mendaulat" kedudukan wakil rakyat sebagai lembaga yang paling korup di negeri ini. Kesimpulan ini di raih berdasarkan Indeks Korupsi Birokrasi, selama lima tahun berturut berturut-turut (2009-2013), DPR meraih predikat lembaga terkorup. Penemuan ini, tentu menjadi catatan sejarah tersendiri bagi wakil rakyat. Hasil ini sekaligus menunjukan rekor prestasi wakil rakyat hanya menjadi benalu dalam menjalankan amanah rakyat. Pemberantasan korupsi yang dilakukan sepanjang 2013, terbukti telah ternoda oleh penegak hukum yang seharusnya menjadi suri tauladan bagi masyarakat. Dari mulai pegawai biasa di Mahkamah Agung, aparat kejaksaan, hakim, hingga Ketua Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tinggi penjaga konstitusi. Mirisinya, Polri dengan slogan mengayomi & melayani masyarakat, telah ternoda oleh oknum tak bertanggung jawab yang menyebabkan lembaga ini menjadi bagian lingkaran setan korupsi. Korps baju coklat ini mengalami peningkatan kekecewaan dari masyarakat ketika kredibilitas polisi tercoreng oleh petinggi kepolisian, yakni mantan Kepala Korps Lalu Lintas, Irjen Djoko Susilo. Dirinya bukan saja di jerat permasalahan korupsi, alumni Akpol angkatan 1984 juga dijerat dengan pasal pencucian uang. Dalam keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi Jakarta memperberat hukuman penjara mantan Gubernur Akpol ini menjadi 18 tahun penjara. Dalam vonis sebelumnya, Djoko diganjar hukuman pidana 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Tak mengherankan ketika memberikan pemberian pengarahan ke KPU Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja menyebut lembaga yang paling banyak disorot soal korupsi yakni Polri dan parlemen. Jika menoleh kebelakang, jelas, peraturan pertama yang ditandatangani SBY setelah dirinya terpilih dipemilihan presiden tahun 2004, adalah Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004, tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Selain itu, Presiden pada awal gebrakannya telah menandatangani 138 izin pemeriksaan bagi penyelenggara negara. Jumlah ini, bukannya semakin berkurang, justru semakin meningkat dari hari ke hari. Merujuk data yang di sampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW), jumlah kasus dan terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam kurun tiga tahun terakhir berjumlah 756 orang. Terdakwa dengan latar belakang anggota DPR/DPRD paling banyak yang terseret kasus korupsi. selama semester II 2010 hingga semester II 2013 ada 181 anggota legislatif yang terjerat kasus korupsi. Setelah anggota DPR/DPRD, 161 terdakwa korupsi mempunyai latar belakang pegawai dinas atau pemerintah provinsi. Selain itu, pegawai swasta yang mencapai 128 orang. Menyusul staf pemerintah kabupaten/daerah sebanyak 93 orang. Lalu di tempat kelima ada mantan gubernur/bupati/walikota sebanyak 45 orang.kabupaten/daerah sebanyak 93 orang, mantan gubernur/bupati/walikota sebanyak 45 orang. Fakta ini menunjukkan, Korupsi yang terjadi bukan sekedar permasalahan yang dapat diselesaikan oleh kepala negara maupun KPK dengan mudah. Program utama pemerintah saat ini sangat jelas melakukan pemberantasan tindak korupsi. Sepatutnya, program ini didukung dari berbagai komponen terutama penegak hukum di negeri ini. Kondisi yang sangat memperhihatinkan ini sudah sepatutnya diselesaikan secara cepat, jika dibairkan terus-menerus dapat dipastikan pada kahirnya rakyat lah yang akan menerima imbas dari tindakan tak terpuji ini. Keberadaan pendidikan budi pekerti dan moral sepertinya patut diterapkan dan ditingkatkan, tujuannya agar setiap yang memegang amanah rakyat baik tingkat tertinggi maupun yang terendah memiliki rasa malu dan rasa kebangsaan yang tinggi. Jika perlu, setiap penyelengara negara dinegeri ini harus mengikuti uji kelayaakan, bukan sekedar bidang akademis semata, tetapi meliputi nilai akhlak dan moral. Pelaku korupsi dinegeri ini rata-rata mereka yang berpendidikan tinggi dan memiliki jabatan, bukan mereka yang tak sekolah atau pekerja rendahan artinya pendidikan moral dan budi pekerti inilah yang harus ditanamkan di setiap jati diri penyelengara negara bukan sebatas pendidikaan informal semata. Dengan adanya penanaman moral dan budi pekerti ini setidaknya tertanam sebuah etika yang menjunjung tinggi nilai KETUHANAN dalam bertingkah laku didalam menjalankan amanah rakyat, bukan sekedar slogan semata. Harapan terbesar penulis, di tahun 2014 ini tindakan yang merugikan rakyat dan negara dapat turun serta menjadikan negeri ini menjadi lebih baik dari sebelumnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar