|
KEPUTUSAN Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menghentikan
tontonan topeng monyet menunjukkan nurani yang bertambah peka. Pencabutan
tradisi hiburan jalanan, yang mungkin berusia lebih tua daripada masa
kemerdekaan bangsa ini, menjawab salah satu tantangan atas rasa kemanusiaan. Banyak
yang mempertanyakan, sebagian menyayangkan, tetapi yang sayang binatang pasti
lega; lebih-lebih setelah melihat tayangan televisi tentang pemaksaan terhadap
mamalia itu untuk menirukan tindak-tanduk manusia.
Perlakuan tidak manusiawi itu hasilnya memang membuat
penonton senang bisa menyaksikan kelucuan primata ini. Lebih-lebih sorot mata
hewan-hewan kecil itu pun tidak menunjukkan penderitaan. Sebaliknya mereka
malahan kelihatan senang membuat penonton riang. Namun, apa yang sebenarnya
mereka rasakan ketika bunyi gamelan memerintahkan mereka untuk melakukan
gerak-gerik berjalan sambil menjinjing keranjang kecil, diiringi kata-kata
majikannya, `Sarimin pergi ke pasar'?
Menurut hasil penelitian atas kesehatan hewan-hewan kecil
yang diselamatkan itu, banyak di antara mereka mengalami stres dan akan dirawat
sebelum dilepas ke habitatnya. Kepergian mereka sudah pasti mematikan sumber
penghidupan para majikan. Namun, sisi positif program pembebasan itu, selain
akan memberikan kehidupan baru yang diharapkan akan membahagiakan mamalia yang
bersangkutan, mantan pemiliknya pun akan mendapat santunan cukup besar untuk
memulai bisnis baru.
Reformasi untuk
koreksi
Sekalipun peristiwanya kelihatan sederhana, hilangnya tradisi
topeng monyet, yang di tanah Jawa disebut kethek ogleng, membuktikan
dilakukannya suatu koreksi dalam tingkah laku manusia. Yang dikoreksi kali ini
ialah perlakuan terhadap suatu makhluk yang hidup di ling kungannya dan ini
menjadi suatu pembelajaran. Memang beritanya tidak sehebat dan seheboh
pemberitaan korupsi yang merusak martabat dan kekuatan bangsa dan negara. Tetapi,
bila wabah korupsi secara negatif menunjukkan demoralisasi, topeng monyet
mencerminkan ketidakpekaan kita terhadap kehidupan di lingkungan, termasuk
fauna dan fl oranya. Berbagai jenis fauna menjadi mangsa kita. Berbagai jenis
flora kita babat yang sekaligus merusak habitat manusia dan makhluk lainnya.
Siapa tahu, semakin tinggi peradaban manusia, dan semakin
luas dan dalam ilmu pengetahuannya, nantinya manusia tidak akan lagi bersikap
primitif dan menjadikan fauna dan flora sebagai korbannya. Selama ini kita
bersantai di atas penderitaan mereka. Berbicara secara spiritual, bukankah
agama melarang segenap bentuk pembunuhan, apa pun yang kita jadikan alasan?
Masyarakat manusia beritikad mengurangi segala bentuk
penderitaan di dunia. Untuk itu dibentuk berbagai perhimpunan di berbagai
kalangan demi kemaslahatan bersama. Gemanya dirasakan boleh dikata di semua
negara. Maka rasanya ganjil bila seluruh dunia sedang bergerak ke tujuan itu,
kita masih saja berkutat pada kesulitan-kesulitan sosial elementer seperti
bagaimana menumbuhkan kesadaran agar jurang antara yang amat maju dan yang amat
terbelakang tidak begitu terjal; dan agar kita tidak buta terhadap keadaan
lingkungan di seputar kita. Diharapkan, pendidikan bisa mengatasi kelemahan
ini. Mudah diucapkan, tapi sulit dilaksanakan.
Keteladanan pemimpin
Lagi-lagi Jokowi mendapat angin dengan berkembangnya drama
topeng monyet, walaupun dalam soal ini bukan dia sendiri yang memunculkan
gagasan perubahan. Banyak pihak lain yang mendorongnya sehingga terjadi
kristalisasi perhatian terhadap fenomena yang memprihatinkan itu. Ke mana arah
fenomena ini, kita yang harus mengembangkannya. Kisah topeng monyet, misalnya,
bisa saja dikembangkan menjadi drama panggung yang memberikan pembelajaran
sederhana tentang cinta lingkungan, termasuk membangkitkan rasa sayang pada
binatang. Kalau kisahkisah wayang berhasil sebagai alat kampanye, kisah topeng
monyet pun bisa.
Ini tentu bukan dimaksudkan untuk mengampanyekan Jokowi
sebagai calon presiden (capres), mengingat dia sendiri berulang kali menyatakan
belum memikirkan untuk itu. Jokowi juga berulang kali menegaskan fokusnya lebih
kepada merombak Jakarta menjadi ibu kota yang lebih ideal. Yang dilakukan
Jokowi dan Ahok baru satu tahun, baru pada tahap awal, sekalipun arahnya sudah
kelihatan. Ibaratnya masyarakat Jakarta sedang diajak menuju bianglala; menuju
ke harapan untuk yang lebih baik.
Menuju bianglala. Ajakan seperti itulah yang kita harapkan
pula dari para pemimpin masa depan. Apakah Pemilu 2014 akan menghasilkan
jajaran pemimpin seperti itu? Saat-saat ini sedang ramai dikampanyekan
sosok-sosok pemimpin yang ideal. Yang menarik adalah dipertentangkannya
calon-calon tua versus yang muda-muda. Sering dikemukakan bahwa para pemimpin
di masa Orde Lama dan Orde Baru mulai pada usia muda. Pada akhirnya mereka toh
tercatat dalam sejarah sebagai tokoh-tokoh yang berhasil membawa kemajuan bagi
bangsa ini. Sebaliknya masa reformasi masih menimbulkan tanda tanya. Yang
sering menjadi wacana, partai-partai politik sekarang terkesan mengabaikan
kaderisasi. Yang berkembang tampaknya politik dinasti. Pendidikan politik untuk
para konstituen maupun para kader partai dianggap kurang. Apakah koreksi masih
bisa dilakukan mengingat makin dekatnya saat pemilu?
Kasus
topeng monyet bisa memberi inspirasi tentang pertajaman kepekaan atas situasi
politik kita. Misalnya, para konstituen perlu kepekaan nurani agar tidak naif
memilih berdasarkan pertimbangan sederhana seperti stok lama dan stok baru.
Memang stok lama lebih berpengalaman dan stok alternatif belum jelas; kecuali
bila para calon tua atau muda, baru atau lama, mau dan mampu membuktikan
prestasi kerja mereka. Rekam jejak prestasi kerja memang perlu juga
diperhatikan, bukan sekadar citra, janji, dan retorika.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar