|
PESTA
liberalisme ekonomi dan politik yang digelar di Bali sudah usai. Para peserta
sudah pulang dengan rasa puas karena Indonesia, untuk kesekian kalinya, sudah
bertindak selaku tuan rumah yang mumpuni.
Negara-negara industri maju puas sekali berhubung mereka
telah mendapatkan hampir semua yang dikehendaki berdasarkan kemampuan
tekniko-ekonomis yang sudah lama mereka siapkan sebelumnya.
Indonesia memang sudah biasa menyiapkan panggung pementasan
keunggulan-keunggulan asing. Demi kelancaran dan keamanannya, semua alat negara
dikerahkan, termasuk angkatan bersenjata, bagai mau menghadapi Bharatayudha.
Kita selalu berbuat jauh lebih banyak daripada yang minimum diperlukan untuk
perhelatan internasional seperti itu. Tidak zakelijk, padahal yang
diperlukan soal bisnis. Bagai tuan rumah yang membiarkan anak-anak keleleran
asal tamu-tamu puas, senang, dan memuji selangit. Dia ”mati” jika ”dipangku”.
Para pemimpin asing mengetahui benar psike penguasa kita dan lalu
memanfaatkannya.
APEC
pun jadi apek
Maka, bagi negara-bangsa dan rakyat Indonesia, APEC jadi
apek. Sampai kini Presiden—selaku kepala negara dan kepala pemerintahan—belum
memberikan laporan khusus mengenai ”hasil-hasil” yang kita peroleh dari
konferensi yang begitu banyak menguras waktu, energi, dan dana. Alih-alih
memberikan laporan, begitu tiba di Halim Perdanakusuma sepulang dari
konferensi, dia marah dengan nada tinggi tentang ”Bunda Putri” yang dikaitkan
dengan dirinya. Dia berjanji akan mengungkap misteri perempuan misterius itu
dalam tempo 1-2 hari. Namun, sampai sekarang janji tetap berupa janji!
APEC jadi apek karena kelihatannya tanpa follow up di
pihak pemerintahan kita. Seharusnya kabinet membentuk satu tim permanen,
terdiri atas menteri-menteri terkait, yang khusus menangani urusan APEC, di
bawah pimpinan wakil presiden. Atau, paling sedikit, Bappenas membentuk satu
kelompok kerja khas untuk keperluan yang sama dan bersifat pluri-disipliner.
Hal ini diniscayakan karena tanpa persiapan yang matang kita bisa kehilangan
kedaulatan dan kemandirian, lambat laun tetapi pasti. Ideologi liberalisme APEC
akan membuat Indonesia jadi pasar laris manis dari produk-produk manufaktur
asing, termasuk jasa dan pariwisata, tanpa berkemampuan membuat ekspor balasan
demi keseimbangan neraca perdagangan, jangan dikata neraca pembayaran.
APEC menjadi apek karena kelihatan sekali pemerintah sulit
membuat kesiapan kerja yang diniscayakan. Betapa tidak! Para menteri sudah
tidak fokus dalam bertugas karena perhatian utama sudah tersedot untuk urusan
pemilu mendatang. Para bawahannya, staf pejabat kementerian, rata-rata berupa
spesialis yang tidak bisa diandalkan, malah mohon ”petunjuk” atau ”arahan”.
Kemajuan, progress, memang menuntut spesialisasi. Namun,
spesialisasi, by its very nature,
mengabaikan banyak hal yang diniscayakan. Hal ini membahayakan kemajuan itu
sendiri dan, akhirnya, melumpuhkan peradaban. Diperlukan kesadaran tentang
ranah intelektual di mana tumbuh praktik dan masalah kerja sama internasional
di bidang apa pun.
Guna mengingatkan kesadaran itulah saya pernah menulis
artikel berjudul ”Horas di Hamu Pasifik”— ”Salam untuk Kamu Pasifik”. Tulisan
itu dimasyarakatkan harian sore Sinar Harapan, dua hari berturut-turut, 1
dan 2 Agustus 1983. Tema tulisan tersebut banyak sedikitnya berupa analisis
tertulis saya sembilan tahun sebelumnya.
Ini saya ulangi karena tidak ditanggapi oleh pemerintah dan
para pemangku kepentingan bisnis kita yang berpegang pada filosofi business
as usual. Sementara waktu dan masalah sudah semakin mendesak. Presiden Soeharto
sendiri kelihatan tidak senang ketika subyek ini saya uraikan secara lisan
kepadanya. Sesudah saya dikeluarkan dari Kabinet Pembangunan III, saya dengar
ketidaksenangan itu karena saya dianggap mau mencampuri urusan pokok pemerintahan, nyeleneh.
Tulisan 30 tahun yang lalu itu agak panjang karena menyangkut
aneka aspek yang berkaitan, yaitu industri, perdagangan, pertanian/perkebunan,
pertambangan, pelayaran nasional dan internasional, sekuriti nasional,
pendidikan dan penyadaran natur Tanah Air kita, sebuah archipelago, negara-bangsa
maritim. Keluasan pembahasan tak terelakkan karena masalah, sama dengan ide
yang menimbulkannya, datang berkelompok, bagai anggur, pisang, duku, tak
sendiri-sendiri bagai pepaya, manggis, mangga.
Bukan karena satu masalah (atau
ide) mengandung masalah lain (atau ide lain), tetapi karena masalah/ide yang
lain itu secara alami ”menyatu”, punya pertalian (affinity) dengan masalah/ide yang pertama tadi.
Tiga puluh tahun bukan waktu yang singkat. Ia ekuivalen dengan
pelaksanaan lima kali pembangunan berencana lima tahunan (pelita). Andai kata
prediksi saya diterima dan ide yang saya utarakan diintegrasikan dalam setiap
pelita, saya yakin kita tidak kebingungan seperti sekarang dalam memasuki
kancah persaingan bisnis APEC. Sebagai analisis peristiwa publik, saya senang
karena prakiraan saya ternyata benar, tetapi selaku warga negara terdidik, saya
sedih dan kecewa. Untuk kesekian kalinya terbukti betapa kita, termasuk
intelektual dan akademisi, lebih suka dan bangga mendengar pendapat orang asing
daripada pendapat sesama anak bangsa.
Walaupun begitu, diktum to govern is to foresee, yaitu proaktif dan tidak reaktif, tetap
berlaku di zaman apa pun. Maka, tulisan kali ini lagi-lagi ingin mengingatkan
sikap terpuji kenegarawanan tersebut. Kita, siapa pun yang merasa terpanggil
untuk memimpin Indonesia, kiranya perlu bersiap sejak sekarang untuk
mengantisipasi, agar Indonesia siap menghadapi perubahan mendatang dalam
kegiatan ekonomi antarbangsa.
Bergeser
ke Lautan Hindia
Menurut dugaan saya, kegiatan perdagangan internasional di
kawasan Pasifik akan berlalu. Ia akan bergeser kelak ke kawasan Lautan Hindia,
persis seperti gerakan serupa yang kini kian meningkat dari kawasan Atlantik ke
kawasan Pasifik. Memang benar sejarah cenderung berulang kembali. L'histoire se repète! Namun, sejarah
juga mengingatkan kita bahwa untuk setiap pengulangan sejarah itu, manusia
harus membayarnya dengan harga yang lebih mahal. Kecuali kalau manusia, kita,
memang sudah lama menyiapkan diri guna melayani dan memanfaatkan perubahan
tersebut.
Dipandang dari sudut transaksi ekonomi internasional, kawasan
Lautan Hindia dewasa ini memang sedang relatif sepi. Hal ini karena hampir
setiap negara-bangsa yang berada di tepiannya atau Timur Tengah, Afrika Utara
dan Tengah sedang mabuk revolusi atau sibuk membenahi struktur serta mekanisme
politik intern masing-masing.
Maka, mumpung negara-negara di sana sedang sibuk perang
saudara dalam rangka memantapkan politiesmasing-masing, Indonesia harus
menyiapkan diri untuk mampu bermain sekarang ini di Pasifik walaupun sudah agak
terlambat. Itu karena persiapan ini, dalam jangka panjang nanti, pasti berguna
untuk berperan secara penuh di kawasan Lautan Hindia. Dengan begini, sekali
merengkuh dayung dua-tiga pulau terlampaui, sekali membuka pundi dua-tiga utang
terbayar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar