|
Selama hampir seminggu, di akhir
Oktober 2013, para wakil buruh atau tenaga kerja melakukan protes. Mereka
menuntut kenaikan upah dan fasilitas. Mereka menyebar di sekitar 13 buah titik
di di wilayah Jakarta, Tangerang, Depok dan Bekasi. Akibatnya lalu lintas di
beberapa wilayah tiga provinsi, DKI Jaya, Jawa Barat dan Banten, terganggu.
Secara manusiawi, tuntutan para buruh dapat dimengerti.
Tetapi protes buruh kali ini memperlihatkan adanya beberapa hal yang tidak
patut dan pengingkaran atas kejujuran. Yang sangat absurd dari demonstrasi kali
ini adalah sikap buruh yang seperti main-main. Mereka seenaknya mengajukan
kebutuhan. Yang dituntut bukan lagi hal yang fundamental, tetapi yang sangat
elementer.
Sudah begitu, Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar,
sepertinya sudah tak serius lagi menangani problem perburuhan ini secara tuntas.
Sebelum, selama dan setelah demo, tak terlihat sebuah gerakan dari kementerian
yang menunjukkan bahwa lembaga negara ini, Kemenakertrans, masih bersemangat
menangani ketenagakerjaan.
Demo yang sudah menganggu kegiatan perekonomian di tiga
provinsi, oleh menteri sepertinya hanya dilihat sebagai sebuah aktivitas rutin.
Demo yang semakin membuat citra Indonesia sebagai negara yang tidak bersahabat
bagi para investor dan pebisnis jenis manapun, hanya dianggap sebagai
kelanjutan dari dampak eforia berdemokrasi.
Okeylah, para PNS di Kemenaker sibuk menghadapi sejuta
pekerjaan. Tapi apa iya, PNS di Kemenaker cukup diam begitu saja, mengikuti
demo buruh yang meresahkan masyarakat? Menteri Muhaimin Iskandar nampaknya
lupa, tugas seorang pejabat tinggi seperti dia, harus punya kepedulian dan rasa
tanggung jawab sosial kepada masyarakat.
Bentuknya bisa bermacam-macam. Apakah dengan memberi
penjelasan apa respon kementerian atas protes para buruh. Kalapun belum ada
resep, bila perlu mengecam cara-cara para pendemo yang sepertinya hanya
main-main.
Menteri sudah sewajarnya sadar, sikap main-main para buruh
di titik-titik penting di wilayah tiga provinsi, telah menimbulkan kepanikan
psikologis di kalangan publik. Sebab beberapa hari sebelum demo tersebut, kabar
tentang aksi itu sudah menyebar melalui jejaring sosial. Jadwal dan pusat
konsentrasi para pendemo bisa beredar luas seperti itu, karena izin untuk
melakukan pengerahan massa sudah diberikan oleh Kepolisian.
Dari info ini saja, Kementerian, semestinya sudah punya antisipasi.
Kalau seorang Menteri hanya "berdiam" seperti ini, sikap tersebut
semakin membenarkan persepsi bahwa menjadi pembantu presiden pada saat ini
nggak perlu punya latar yang ‘wah’. Siapa saja bisa langsung ditugaskan jadi
pembantu presiden.
Entah apa yang dipikirkan atau dilakukan para menteri
kabinet ini. Apakah sama dengan bosnya Presiden SBY yang sibuk mengurus
partainya atau keduanya sama-sama sudah tidak semangat mengurus (lagi) negara.
Atau apakah sisa waktu 11 bulan masa kerja hanya akan digunakan untuk 'libur
atas biaya negara', mengemong keluarga atau hal-hal yang hanya bermanfaat bagi
diri pribadi? Semoga saja tidak.
Tuntutan para pekeja itu juga dibumbui oleh permintaan
perlunya mereka diberi dana untuk membeli lisptik dan jaket kulit. Lipstik
memang tergolong barang yang berharga murah. Tapi konotasinya bisa memberi
penafsiran, bahwa para buruh ingin bersolek ria. Tujuan utama mereka, bukan
untuk bekerja. Tapi untuk berpesta--pesta.
Lipstik memang salah satu kebutuhan buruh wanita. Tapi permintaannya
menjadi tidak pantas, sebab disampaikan dalam kesempatan berdemonstrasi di
ranah publik. Dengan tuntutan seperti itu, para buruh semakin merendahkan
martabat dan kualitas mereka sebagai pekerja.
Sehingga tanggapan publik pun ada yang tidak senang. Bahkan
ada kesan, publik yang memiliki nasib sama dengan mereka pun, mengubur simpati
mereka terhadap gerakan buruh secara dalam-dalam.
Sejatinya, yang namanya pekerja di Indonesia, tak peduli
dia bekerja di perusahaan raksasa atau kategori UKM, tidak semuanya memiliki
gaji yang cukup untuk hidup selama satu bulan. Kalaupun cukup, pasti ada
pos-pos pengeluaran yang diperketat. Misalnya ada yang sengaja menghindari
bepergian ke mal atau pusat perbelanjaan mewah sekalipun hanya untuk cuci mata
atau meneguk secangkir kopi.
Tapi ketika soal lipstik disuarakan dalam demo di ruang
publik, persoalannya menjadi lain. Arah protes buruh pun terkesan main-main dan
berbelok arah. "Kenapa nggak
sekalian minta Ipad, Iphone, mobil Ferarri dan rumah yang ada kolam renang....",
tulis seorang Facebooker setelah membaca posting dari berita-berita demonstrasi
buruh tersebut.
Seorang ibu rumah tangga
yang nampaknya kesal membaca tuntutan para buruh tersebut kemudian menulis di
laman time line dengan nada yang
lebih sinis. "Saya bekerja sendiri.
Dan saya suka berdandan. Tapi untuk membeli lipstik, saya hanya bisa membeli
kalau sudah benar-benar habis. Lipstik yang saya beli pun harganya yang paling
murah. Kalau soal jaket kulit, tak permah saya pikirkan. Kapan bisa saya memakainya
di kota yang bersuhu panas ? Tapi sayapun ingin membeli jaket kulit. Sayangnya
penghasilan saya tidak mencukupi. Maklum saya bekerja sendiri tanpa bergantung
pada orang lain. Lalu kalau buruh bisa menuntut ke pemerintah, saya sendiri,
kepada siapa saya menuntut ?", tambah salah seorang Fabebooker
dengan kalimat yang lebih terformulasi.
Dua reaksi ini walaupun tidak dapat diklaim mewakili suara
seluruh penduduk di tiga provinsi, tetapi paling tidak menunjukkan, demo buruh,
tetap ada yang mengkritisi. Buruh juga tidak bisa berlindung dari adanya
jaminan berdemonstrasi, dimana apa saja bisa mereka suarakan.
Dari reaksi publik atas demo buruh akhir Oktober baru lalu,
juga mengemuka beberapa hal yang patut menjadi pembelajaran. Misalnya
Kepolisian yang berhak mengeluarkan izin, harus lebih selektif. Bagi organisasi
buruh yang mengirim anggotanya ke tempat berdemo, perlu diminta syarat dan
pertanggung jawaban. Bagaimana syarat dan pertanggung jawaban itu, silahkan
lembaga kepolisian memikirkannya.
Alasannya hanya satu: kepentingan publik tidak boleh
terganggu. Kalau ada pemimpin buruh yang
mengancam melalui media dengan
mengatakan misalnya "Kami akan
tenggelamkan ibukota dengan ribuan massa...", maka si pembuat
pernyataan perlu diberi pengertian atau izin berdemopun harus dibatalkan.
Perlu ditegaskan bahwa yang dilakukannya sudah masuk
kategeori menghasut. Bukan lagi sekadar menggunakan kebebasan berbicara,
berekspresi atau mengeluarkan pendapat. Risiko dari sebuah hasutan, sangat
berbahaya bagi kelanjutan berbangsa dan bernegara. Bisa muncul anarkis yang
akan merusak segala apa yang sudah dibangun.
Apapun kebenaran esensi dari yang dituntut para pendemo,
jika demo buruh yang terus menerus hanya menghasilkan kepanikan warga,
tersendatnya transaksi bisnis, terhambatnya pertumbuhan, tidak ada jalan lain,
kecuali pemberi izin berdemo perlu dievaluasi kembali. Lagi pula sudah
terbukti, demo sejenis sudah berkali-kali dilakukan, tapi hasilnya tidak
menyelesaikan persoalan yang ada.
Sementara Kementerian Tenaga Kerja harus lebih memberi
prioritas tertinggi tentang bagaimana mengatasi persoalan buruh dan
ketenagakerjaan di Indonesia. Untuk apa kementerian dibentuk jika lembaga
negara ini tak mampu mengerjakan apa yang menjadi kewajibannya? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar