|
PEMILU
2014 membawa harapan sekaligus tantangan. Harapan muncul seiring dengan
keinginan banyak pihak untuk melakukan transformasi dari transisi ke
konsolidasi demokrasi. Dua periode kekuasaan SBY yang telah memosisikan harapan
tentang perubahan itu perlahan menepi dan sunyi.
Gaung adanya perbaikan
signifikan atas persoalanpersoalan kebangsaan seolah lenyap ditelan hiruk pikuk
konflik elite atas nama zona nyaman kekuasaan. Pemilu reguler lima tahunan
menjadi mekanisme prosedural untuk mengubah arah dan mempercepat langkah menuju
perbaikan itu. Belum mulai pemilu digelar, persoalan nyata sudah datang
menghadang. Kekarut-marutan daftar pemilih tetap (DPT) membuat kita bertanya,
mungkinkah pemilu kita memberi legitimasi tinggi atau hanya sekadar basa-basi
demokrasi? Tantangan nyata di depan mata ialah kesiapan kita menggelar pemilu
demokratis dengan segala kesiapan perangkatnya.
Trauma politik
Sangat
penting bagi kita sekarang untuk menempatkan Pemilu 2014 dalam perspektif
konsolidasi demokrasi, bukan semata-mata kontestasi pragmatis. Larry Diamond
dalam bukunya, Developing Democracy
toward Consolidation (1999), mengungkapkan konsolidasi demokrasi sebagai
upaya merawat stabilitas dan persistensi demokrasi. Lebih jauh lagi,
konsolidasi demokrasi mensyaratkan adanya legitimasi yang kuat sehingga semua
aktor memiliki kepercayaan dan menjadi modal dasar bagi pemerintahan
demokratis. Dengan demikian, legitimasi menjadi kunci penting dalam proses
menata Indonesia ke depan. Krisis legitimasi membawa penyakit bawaan, yakni
melemahnya kepercayaan dan tergerusnya harapan dalam politik berbasis kekitaan
antara elite berkuasa dan masyarakat yang dipimpinnya.
Pemilu 2014 terancam mengalami
delegitimasi jika persoalan DPT ini tak terselesaikan. Kita punya trauma politik
hampir di setiap penyelenggaraan pemilu, baik di level nasional yakni pemilu
legislatif dan pemilu presiden, maupun di banyak pemilihan kepala daerah.
Trauma itu bermula dari centang-perenangnya data pemilih yang menjadi dasar
penyusunan DPT. Bak lagu lama yang diputar ulang, nada sumbang kisruhnya
penyusunan data pemilih kini kembali menyeruak ke ruang publik dan menjadi bola
panas bagi penyelenggara pemilu. Hak memilih merupakan hak sipil politik yang
melekat dan dilindungi konstitusi sekaligus menjadi basic material bagi pemilu demokratis.
Dalam tulisan Bingham, Contemporary Democracies, Participation,
Stability, and Violence (1982), partisipasi dalam pemilu menjadi salah satu
faktor penting penyumbang penampilan politik (political performance) sebuah negara itu bagus atau tidak. Faktor
lainnya yaitu legitimasi pemerintah, pengorganisasian perundingan, kerahasiaan
dan independensi, serta hak-hak dasar. Partisipasi politik sendiri memang, jika
merujuk pada pendapat Kaase dan Marsh dalam Political
Action: Theoritical Perspective (1979), masih bisa dibagi menjadi dua
bentuk, konvensional dan nonkonvensional. Yang konvensional misalnya
partisipasi pemilih dalam pemilu (voter
turnout), sedangkan nonkonvensional misalnya demonstrasi, mogok kerja, dan
lain-lain.
Dalam konteks Pemilu 2014,
partisipasi pemilih di bilik suara inilah yang mengkhawatirkan jika urusan DPT
tidak beres. Akan banyak orang yang sesungguhnya memiliki hak suara, tetapi
dipaksa menjadi kelompok tak bersuara (voiceless).
Sebagian pemilih lain yang punya hak suara, karena adanya kisruh DPT seperti
sekarang, sangat mungkin enggan berpartisipasi karena melemahnya kepercayaan
mereka kepada sistem penyelenggaraan pemilu.
Jika melihat jadwal pemilu,
penetapan DPT sudah diundur dari yang seharusnya paling akhir 13 September di
tingkat kabupaten/kota, 18 Oktober di tingkat provinsi, dan 23 Oktober di
tingkat nasional. Namun karena secara faktual DPT masih banyak yang bermasalah,
penetapannya pun secara nasional diundur hingga 4 November 2013. Miris memang
jika penyelenggara pemilu masih bergumul dengan persoalan DPT. Ada tiga hal
yang mendasari logika sederhana untuk melakukan kritik atas persoalan DPT ini.
Pertama, identifikasi masalah hulu
kisruh DPT sudah lama diketahui banyak pihak, yakni sistem pendataan pen duduk
yang bermasalah dan koordinasi antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan
penyelenggara pemilu. Data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) dari
Kemendagri, misalnya, sedari awal masih kerap bermasalah, misalnya nomor induk
kependudukan (NIK) yang ganda, kosong, dan tidak terstandar. Keraguan itu sudah
terjadi sejak Kemendagri menyerahkan DP4 pada Februari 2013. DP4 itu berisi
daftar 190,4 juta penduduk yang seharus nya menjadi basis data daftar pemilih.
KPU memang sudah menyinkronisasi dengan melakukan penetapan dan pengumuman
daftar pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHP).
Berdasarkan hasil penyandingan
DPSHP yang berjumlah 181 juta pemilih dengan DP4 tadi, ditemukan 160 juta data
yang sinkron. Sebanyak 20,2 juta data bermasalah. Data terakhir itu tak
dilengkapi elemen kependudukan yang baik, seperti nama, alamat, dan tanggal
lahir. Dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR dengan KPU, Bawaslu, dan
Kemendagri pada Kamis hingga Jumat (1/11), tersiar kabar bahwa masih ada kurang
lebih 10,4 juta penduduk yang harus diverifikasi di lapangan. Itu tentu bukan
angka sedikit, terlebih jika membacanya dalam konteks kerterjaminan hak-hak
sipil politik warga negara. Sedari awal, koordinasi antara penyelenggara pemilu
dan Kemendagri harusnya intensif dan berorientasi pada solusi dengan pendekatan
preventif karena DPT sesungguhnya bukan persoalan kemarin sore. Ribut saling
menyalahkan antara KPU dan Kemendagri menjadi kontraproduktif dan berpotensi
melemahkan harapan publik atas penyelenggaraan pemilu berkualitas.
Kedua, soal waktu dan dukungan
dana. Pemuktahiran data pemilih untuk Pemilu 2014 harusnya lebih bagus
ketimbang 2009. Pada pemilu lalu, waktu pemutakhiran hanya 10 bulan sebelum
pemungutan suara, sedangkan untuk Pemilu 2014 dilakukan 14 bulan sebelum waktu
pemungutan suara. Dari segi anggarannya pun Pemilu 2014 lebih besar. Pada
Pemilu 2009, anggarannya sebesar Rp1,2 triliun, sedangkan pada Pemilu 2014
menjadi Rp1,9 triliun. Harusnya, dengan beberapa perbaikan tersebut, kualitas
penyiapan dan penetapan DPT Pemilu 2014 lebih baik dan lebih terukur.
Ketiga, soal proyek prestisius
bernama KTP elektronik (e-KTP). Uang rakyat sudah digelontorkan begitu besar
untuk proyek yang konon kabarnya canggih dan menyejajarkan warga negara kita
dalam peradaban digital sekelas negara-negara maju, bukan? Namun, mengapa untuk
urusan daftar pemilih saja kita masih tergopoh-gopoh saat harapan publik
berlari kencang. Tugas pemerintahlah menyelesaikan proyek KTP elektronik secara
nasional untuk memastikan tidak ada nomor induk kependudukan yang ganda atau
bermasalah. Padahal, pemerintah sendiri yang menargetkan proyek KTP elektronik
selesai pada 2012!
Ruang Gelap
Meskipun kerap `dipelototi' banyak
pihak, konspirasi banyak aktor dalam kekisruhan DPT ini tetap saja terjadi.
Pemilu 2009 menjadi contoh ketidakpuasan kita terhadap DPT yang seolah
untouchable dari peran kontrol masyarakat. Tak dimungkiri daftar pemilih bisa
menjadi ruang gelap tempat para setan dan penguasa kegelapan bergentayangan!
Mereka bersembunyi, mengambil peran, dan mungkin juga membuat deal politik guna
memuluskan agenda-agenda pemenangan.
Pemilu memang momentum kontestasi
antarkekuatan. Namun, seluruh pihak juga harus menyadari bahwa kontestasi
elitis tak lagi memadai, butuh legitimasi yang bersumber dari partisipasi
masyarakat. RA Dahl, dalam Dilemmas of
Pluralist Democracy: Autonomy Vs Control (1982) menyebutkan demokrasi
memang senantiasa melibatkan dua variabel, yakni kontestasi dan partisipasi.
Keduanya bisa menjadi ukuran bagaimana kualitas demokrasi elektoral
diselenggarakan. Apakah kontestasinya berjalan langsung, jujur, adil, bebas,
dan rahasia, atau muncul sejumlah persoalan yang paradoksal dengan hakikat
demokrasi.
Yang patut kita khawatirkan jika
persoalan DPT ini tak terselesaikan ialah terus turunnya angka partisipasi
masyarakat dalam pemilihan. Pada Pemilu 1955, partisipasi pemilih di angka 87%
dari total warga yang punya hak pilih. Pada Pemilu 1999 angka itu menjadi 93%,
seiring dengan harapan yang muncul pascareformasi. Namun setelah itu terus
menurun, misalnya pada Pemilu 2004, hanya 85% partisipasi untuk pemilu
legislatif, 80% pemilu presiden (pilpres) putaran pertama, dan 77% pilpres
putaran kedua. Pada Pemilu 2009, partisipasi pemilih hanya 71% di pemilu
legislatif dan 72% untuk pilpres.
Sangat mungkin, jika sistem
penyelengga raan pemilu amburadul dan tiada sosok calon pemimpin yang bisa
mengge rakkan pemilih ke bilik suara, angka mereka yang tidak berpartisipasi
dalam pemilu meningkat. Termasuk kelompok teralienasi yang melihat pemilu sudah
tak memiliki nilai guna bagi mereka. Pemilu, dengan meminjam istilah William
Liddle (1996), bukan semata useful
fiction atau partisipasi khayalan, melainkan supremasi kedaulatan rakyat.
Jika DPT masih bermasalah dan berpotensi besar menghilangkan hak-hak sipil
politik jutaan warga, sebaiknya KPU menunda lagi penetapannya. Penyisiran DPT
bermasalah harus dituntaskan sehingga publik tak lagi melihat DPT sebagai ruang
gelap tempat bertransaksinya para godfather!
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar