Rabu, 06 November 2013

Pertaruhan Legitimasi Pemilu 2014

Pertaruhan Legitimasi Pemilu 2014
Gun Gun Heryanto  Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute,
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
MEDIA INDONESIA, 04 November 2013


PEMILU 2014 membawa harapan sekaligus tantangan. Harapan muncul seiring dengan keinginan banyak pihak untuk melakukan transformasi dari transisi ke konsolidasi demokrasi. Dua periode kekuasaan SBY yang telah memosisikan harapan tentang perubahan itu perlahan menepi dan sunyi. 

Gaung adanya perbaikan signifikan atas persoalanpersoalan kebangsaan seolah lenyap ditelan hiruk pikuk konflik elite atas nama zona nyaman kekuasaan. Pemilu reguler lima tahunan menjadi mekanisme prosedural untuk mengubah arah dan mempercepat langkah menuju perbaikan itu. Belum mulai pemilu digelar, persoalan nyata sudah datang menghadang. Kekarut-marutan daftar pemilih tetap (DPT) membuat kita bertanya, mungkinkah pemilu kita memberi legitimasi tinggi atau hanya sekadar basa-basi demokrasi? Tantangan nyata di depan mata ialah kesiapan kita menggelar pemilu demokratis dengan segala kesiapan perangkatnya.

Trauma politik

Sangat penting bagi kita sekarang untuk menempatkan Pemilu 2014 dalam perspektif konsolidasi demokrasi, bukan semata-mata kontestasi pragmatis. Larry Diamond dalam bukunya, Developing Democracy toward Consolidation (1999), mengungkapkan konsolidasi demokrasi sebagai upaya merawat stabilitas dan persistensi demokrasi. Lebih jauh lagi, konsolidasi demokrasi mensyaratkan adanya legitimasi yang kuat sehingga semua aktor memiliki kepercayaan dan menjadi modal dasar bagi pemerintahan demokratis. Dengan demikian, legitimasi menjadi kunci penting dalam proses menata Indonesia ke depan. Krisis legitimasi membawa penyakit bawaan, yakni melemahnya kepercayaan dan tergerusnya harapan dalam politik berbasis kekitaan antara elite berkuasa dan masyarakat yang dipimpinnya.

Pemilu 2014 terancam mengalami delegitimasi jika persoalan DPT ini tak terselesaikan. Kita punya trauma politik hampir di setiap penyelenggaraan pemilu, baik di level nasional yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden, maupun di banyak pemilihan kepala daerah. Trauma itu bermula dari centang-perenangnya data pemilih yang menjadi dasar penyusunan DPT. Bak lagu lama yang diputar ulang, nada sumbang kisruhnya penyusunan data pemilih kini kembali menyeruak ke ruang publik dan menjadi bola panas bagi penyelenggara pemilu. Hak memilih merupakan hak sipil politik yang melekat dan dilindungi konstitusi sekaligus menjadi basic material bagi pemilu demokratis.

Dalam tulisan Bingham, Contemporary Democracies, Participation, Stability, and Violence (1982), partisipasi dalam pemilu menjadi salah satu faktor penting penyumbang penampilan politik (political performance) sebuah negara itu bagus atau tidak. Faktor lainnya yaitu legitimasi pemerintah, pengorganisasian perundingan, kerahasiaan dan independensi, serta hak-hak dasar. Partisipasi politik sendiri memang, jika merujuk pada pendapat Kaase dan Marsh dalam Political Action: Theoritical Perspective (1979), masih bisa dibagi menjadi dua bentuk, konvensional dan nonkonvensional. Yang konvensional misalnya partisipasi pemilih dalam pemilu (voter turnout), sedangkan nonkonvensional misalnya demonstrasi, mogok kerja, dan lain-lain.

Dalam konteks Pemilu 2014, partisipasi pemilih di bilik suara inilah yang mengkhawatirkan jika urusan DPT tidak beres. Akan banyak orang yang sesungguhnya memiliki hak suara, tetapi dipaksa menjadi kelompok tak bersuara (voiceless). Sebagian pemilih lain yang punya hak suara, karena adanya kisruh DPT seperti sekarang, sangat mungkin enggan berpartisipasi karena melemahnya kepercayaan mereka kepada sistem penyelenggaraan pemilu.

Jika melihat jadwal pemilu, penetapan DPT sudah diundur dari yang seharusnya paling akhir 13 September di tingkat kabupaten/kota, 18 Oktober di tingkat provinsi, dan 23 Oktober di tingkat nasional. Namun karena secara faktual DPT masih banyak yang bermasalah, penetapannya pun secara nasional diundur hingga 4 November 2013. Miris memang jika penyelenggara pemilu masih bergumul dengan persoalan DPT. Ada tiga hal yang mendasari logika sederhana untuk melakukan kritik atas persoalan DPT ini.

Pertama, identifikasi masalah hulu kisruh DPT sudah lama diketahui banyak pihak, yakni sistem pendataan pen duduk yang bermasalah dan koordinasi antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan penyelenggara pemilu. Data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) dari Kemendagri, misalnya, sedari awal masih kerap bermasalah, misalnya nomor induk kependudukan (NIK) yang ganda, kosong, dan tidak terstandar. Keraguan itu sudah terjadi sejak Kemendagri menyerahkan DP4 pada Februari 2013. DP4 itu berisi daftar 190,4 juta penduduk yang seharus nya menjadi basis data daftar pemilih. KPU memang sudah menyinkronisasi dengan melakukan penetapan dan pengumuman daftar pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHP).

Berdasarkan hasil penyandingan DPSHP yang berjumlah 181 juta pemilih dengan DP4 tadi, ditemukan 160 juta data yang sinkron. Sebanyak 20,2 juta data bermasalah. Data terakhir itu tak dilengkapi elemen kependudukan yang baik, seperti nama, alamat, dan tanggal lahir. Dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR dengan KPU, Bawaslu, dan Kemendagri pada Kamis hingga Jumat (1/11), tersiar kabar bahwa masih ada kurang lebih 10,4 juta penduduk yang harus diverifikasi di lapangan. Itu tentu bukan angka sedikit, terlebih jika membacanya dalam konteks kerterjaminan hak-hak sipil politik warga negara. Sedari awal, koordinasi antara penyelenggara pemilu dan Kemendagri harusnya intensif dan berorientasi pada solusi dengan pendekatan preventif karena DPT sesungguhnya bukan persoalan kemarin sore. Ribut saling menyalahkan antara KPU dan Kemendagri menjadi kontraproduktif dan berpotensi melemahkan harapan publik atas penyelenggaraan pemilu berkualitas.

Kedua, soal waktu dan dukungan dana. Pemuktahiran data pemilih untuk Pemilu 2014 harusnya lebih bagus ketimbang 2009. Pada pemilu lalu, waktu pemutakhiran hanya 10 bulan sebelum pemungutan suara, sedangkan untuk Pemilu 2014 dilakukan 14 bulan sebelum waktu pemungutan suara. Dari segi anggarannya pun Pemilu 2014 lebih besar. Pada Pemilu 2009, anggarannya sebesar Rp1,2 triliun, sedangkan pada Pemilu 2014 menjadi Rp1,9 triliun. Harusnya, dengan beberapa perbaikan tersebut, kualitas penyiapan dan penetapan DPT Pemilu 2014 lebih baik dan lebih terukur.

Ketiga, soal proyek prestisius bernama KTP elektronik (e-KTP). Uang rakyat sudah digelontorkan begitu besar untuk proyek yang konon kabarnya canggih dan menyejajarkan warga negara kita dalam peradaban digital sekelas negara-negara maju, bukan? Namun, mengapa untuk urusan daftar pemilih saja kita masih tergopoh-gopoh saat harapan publik berlari kencang. Tugas pemerintahlah menyelesaikan proyek KTP elektronik secara nasional untuk memastikan tidak ada nomor induk kependudukan yang ganda atau bermasalah. Padahal, pemerintah sendiri yang menargetkan proyek KTP elektronik selesai pada 2012!

Ruang Gelap

Meskipun kerap `dipelototi' banyak pihak, konspirasi banyak aktor dalam kekisruhan DPT ini tetap saja terjadi. Pemilu 2009 menjadi contoh ketidakpuasan kita terhadap DPT yang seolah untouchable dari peran kontrol masyarakat. Tak dimungkiri daftar pemilih bisa menjadi ruang gelap tempat para setan dan penguasa kegelapan bergentayangan! Mereka bersembunyi, mengambil peran, dan mungkin juga membuat deal politik guna memuluskan agenda-agenda pemenangan.

Pemilu memang momentum kontestasi antarkekuatan. Namun, seluruh pihak juga harus menyadari bahwa kontestasi elitis tak lagi memadai, butuh legitimasi yang bersumber dari partisipasi masyarakat. RA Dahl, dalam Dilemmas of Pluralist Democracy: Autonomy Vs Control (1982) menyebutkan demokrasi memang senantiasa melibatkan dua variabel, yakni kontestasi dan partisipasi. Keduanya bisa menjadi ukuran bagaimana kualitas demokrasi elektoral diselenggarakan. Apakah kontestasinya berjalan langsung, jujur, adil, bebas, dan rahasia, atau muncul sejumlah persoalan yang paradoksal dengan hakikat demokrasi.

Yang patut kita khawatirkan jika persoalan DPT ini tak terselesaikan ialah terus turunnya angka partisipasi masyarakat dalam pemilihan. Pada Pemilu 1955, partisipasi pemilih di angka 87% dari total warga yang punya hak pilih. Pada Pemilu 1999 angka itu menjadi 93%, seiring dengan harapan yang muncul pascareformasi. Namun setelah itu terus menurun, misalnya pada Pemilu 2004, hanya 85% partisipasi untuk pemilu legislatif, 80% pemilu presiden (pilpres) putaran pertama, dan 77% pilpres putaran kedua. Pada Pemilu 2009, partisipasi pemilih hanya 71% di pemilu legislatif dan 72% untuk pilpres.

Sangat mungkin, jika sistem penyelengga raan pemilu amburadul dan tiada sosok calon pemimpin yang bisa mengge rakkan pemilih ke bilik suara, angka mereka yang tidak berpartisipasi dalam pemilu meningkat. Termasuk kelompok teralienasi yang melihat pemilu sudah tak memiliki nilai guna bagi mereka. Pemilu, dengan meminjam istilah William Liddle (1996), bukan semata useful fiction atau partisipasi khayalan, melainkan supremasi kedaulatan rakyat. Jika DPT masih bermasalah dan berpotensi besar menghilangkan hak-hak sipil politik jutaan warga, sebaiknya KPU menunda lagi penetapannya. Penyisiran DPT bermasalah harus dituntaskan sehingga publik tak lagi melihat DPT sebagai ruang gelap tempat bertransaksinya para godfather! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar