|
Pada 26-27 September lalu, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan menggelar konvensi nasional untuk membicarakan ujian nasional.
Kegiatan ini jadi menarik karena, pertama, beberapa hari sebelumnya Badan
Pemeriksa Keuangan mengumumkan hasil investigasinya tentang korupsi dana UN
yang berjumlah miliaran rupiah dan telah berlangsung bertahun-tahun.
Entah dianggap lumrah atau tak relevan, tidak ada agenda
ataupun butir di antara 27 hasil konvensi yang mendorong kelanjutan temuan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu. Atau, paling tidak, menyinggung upaya
pencegahan korupsi dalam penyelenggaraan ujian nasional (UN). Padahal masih
segar dalam ingatan kita bahwa kisruh UN tahun 2013—menurut hasil audit
inspektorat—terkait korupsi.
Kedua, konvensi ini semula digelar untuk membicarakan
berbagai persoalan pendidikan, kemudian diciutkan jadi konvensi UN untuk mengakhiri
berbagai silang pendapat. Bahkan, Kemdikbud membatasi bahasan agar tidak
mempersoalkan eksistensi dan substansi UN.
”UN tak bisa diganggu gugat karena ada dalam
undang-undang,” kata Musliar Kasim, Wakil Mendikbud. Padahal kontroversi UN
selama ini adalah soal eksistensi dan substansinya. Bagaimana mungkin
kontroversi itu berakhir, sementara pokok masalahnya tak dibicarakan.
Konvensi UN yang didahului oleh prakonvensi di tiga wilayah
(Medan, Makassar, dan Bali) benar-benar ”konvensional” dalam efektivitas
anggaran. Sekadar mendiskusikan teknis pencetakan soal dan persentase nilai
untuk kelulusan kiranya tak perlu konvensi. Hasilnya seperti diduga: UN
ditradisikan.
Dalam undang-undang memang disebutkan tentang evaluasi,
bukan UN. Berdasarkan itu, UN selama ini ada kerancuan pada tujuan, kepada
siapa evaluasi itu diberlakukan, dan siapa yang melakukan.
Pernyataan UN untuk
pemetaan, untuk peningkatan mutu, memacu semangat belajar, dan untuk dasar
masuk pendidikan berikutnya menggambarkan kesimpangsiuran pemahaman tentang
posisi UN.
UN
untuk apa/siapa?
Menurut UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas), ada dua macam evaluasi yang sasaran, tujuan, metode,
penyelenggara, serta implikasinya berbeda. Pertama, evaluasi dalam rangka
pengendalian mutu sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan.
Evaluasi ini dilakukan terhadap lembaga, program, dan juga peserta didik serta
diselenggarakan oleh lembaga mandiri.
Istilah pemetaan, pengendalian mutu, dan untuk kebijakan
adalah tujuan utama dari evaluasi ini. Evaluasi ”peserta didik” terkait model
pengendalian mutu ini, utamanya tidak dimaksudkan untuk menguji hasil belajar.
Akan tetapi, lebih pada mengevaluasi kondisi peserta didik seperti usia masuk
sekolah—sehingga dapat ditentukan angka partisipasi kasar (APK), biaya
personal, dan berbagai kendala yang dihadapi siswa di suatu daerah dan masalah
lainnya yang terkait.
Namun karena salah satu indikator kualitas pendidikan
adalah nilai hasil belajar, tentunya untuk pemetaan mutu nilai itu diperlukan
oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Untuk itu, idealnya BSNP dapat
memperolehnya melalui sekolah atau dinas pendidikan, yaitu hasil evaluasi yang
dilakukan pendidik. BSNP tak perlu menyelenggarakan ujian nasional sendiri,
apalagi dilaksanakan setiap tahun seperti UN selama ini.
Jika di tangan guru semua murid selalu diluluskan—seperti
juga UN—sehingga nilainya tak dapat dipercaya, BSNP sebagai lembaga mandiri
dapat menyelenggarakan ujian nasional sendiri dan atau melalui sampling berkala
empat atau lima tahun sekali; toh mutu pendidikan secara agregat tak berubah
revolusioner setiap tahun. Ujian seperti ini seharusnya tidak menentukan dan
berimplikasi pada kelulusan murid karena hal itu bukan tujuannya. Perlu
dicarikan model pengujian agar murid serius mengerjakannya meskipun tanpa
risiko.
Posisi evaluasi ini lebih kurang serupa dengan penilaian
lembaga internasional seperti TIMSS, PIRLS, PISA untuk mengetahui kemampuan
bidang matematika, sains, dan membaca. Bedanya mungkin evaluasi BSNP lebih
komprehensif dan detail karena berada dan bersama komponen lain dalam kerangka
evaluasi satuan pendidikan yang akan dijadikan dasar kebijakan peningkatan mutu
secara sistemis.
Kedua, evaluasi hasil belajar peserta didik. Evaluasi ini
diselenggarakan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan
hasil belajar murid secara berkesinambungan. Obyek evaluasi ini adalah murid
yang belajar pelajaran tertentu dalam jangka waktu tertentu. Pihak yang
mengevaluasi adalah pendidik. Untuk evaluasi ini, khazanah pendidikan kita
mengenal istilah ”ulangan”: ada ulangan harian, ada pula ulangan umum. Ulangan
umum diberikan pada setiap akhir semester dan jika diberikan di akhir masa
sekolah disebut ujian akhir yang berimplikasi pada kelulusan.
UN selama ini secara gegabah mencampuradukkan kedua model
evaluasi yang seharusnya dipisah, yaitu mengevaluasi hasil belajar yang
seharusnya wewenang pendidik, tetapi dilakukan oleh BSNP sebagai lembaga
eksternal-mandiri, dan berimplikasi pada kelulusan. Pertimbangannya barangkali
efisiensi, yakni borongan: satu UN multi-tujuan. Alhasil, selain berdampak
buruk, tak satu tujuan pun tercapai. Perolehan UN tak menunjukkan apa yang
senyatanya.
Romantisme, seolah dulu kualitas pendidikan lebih baik
karena ada ujian nasional (ujian negara) dan lalu merosot lantaran tak ada UN
hanyalah imaji. Faktanya, situasi kebangsaan yang centang-perenang dan serba
buntu saat ini jelas berkorelasi dengan kualitas pendidikan tempo dulu.
Kalaupun mutu pendidikan dulu dianggap baik, itu pun belum tentu tersebab ada
ujian negara, karena pendidikan adalah sebuah kompleksitas yang terkait banyak
faktor. Dramatisasi, seperti tanpa UN murid jadi bodoh, sekolah tak
terstandardisasi, atau bahkan Indonesia terancam disintegrasi hanyalah
kecemasan yang berlebihan.
Pengganti
UN
Sebagai bentuk evaluasi, UN hanya instrumen diagnostik yang
menunjang proses pendidikan. Mutu pendidikan ditentukan kualitas proses
interaksi pembelajaran yang kinerja guru adalah faktor terpenting, terutama
dalam perannya memotivasi dan menginspirasi murid. Kisah Ibu Muslimah dalam
novel Laskar Pelangi kiranya dapat membantu pemahaman kita tentang
kesejatian makna pendidikan. Oleh sebab itu, jika UN dihapuskan, pendidikan
kita baik-baik saja, bahkan potensial jadi lebih baik.
Apabila UN dihapus, lalu apa gantinya? Pertama, (biasakan)
kembali pada undang-undang: evaluasi hasil belajar murid dilakukan oleh
pendidik. Di antara beberapa alternatif dapat dikembangkan seperti evaluasi
mata kuliah di perguruan tinggi: kelulusan ditentukan dosen. Di sekolah,
hendaklah setiap guru dapat mengevaluasi dan melakukan remedial hingga murid
lulus dari mata pelajaran yang diampunya. Apabila guru asal meluluskan— sekali
lagi—maka gurulah yang dibenahi.
Kedua, pastikan guru-guru bekerja dengan arah dan pedoman
yang ditetapkan dalam standar kompetensi lulusan dan standar isi. Ketika murid
diluluskan dari sebuah mata pelajaran yang ditempuhnya, seyogianya ia telah
mencapai butir-butir dari standar yang ditetapkan. Untuk itu, selain kurikulum
harus jelas, guru dilatih dengan benar.
Ketiga, untuk pengukuran dan atau pemetaan kualitas secara
nasional, BSNP dapat melakukan ujian secara sampling atau ujian
nasional berkala empat atau lima tahun sekali. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar