Kamis, 03 Oktober 2013

Ujian Nasional Konvensional

Ujian Nasional Konvensional
Mohammad Abduhzen  ;  Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI
KOMPAS, 03 Oktober 2013


Pada 26-27 September lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar konvensi nasional untuk membicarakan ujian nasional. Kegiatan ini jadi menarik karena, pertama, beberapa hari sebelumnya Badan Pemeriksa Keuangan mengumumkan hasil investigasinya tentang korupsi dana UN yang berjumlah miliaran rupiah dan telah berlangsung bertahun-tahun.

Entah dianggap lumrah atau tak relevan, tidak ada agenda ataupun butir di antara 27 hasil konvensi yang mendorong kelanjutan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu. Atau, paling tidak, menyinggung upaya pencegahan korupsi dalam penyelenggaraan ujian nasional (UN). Padahal masih segar dalam ingatan kita bahwa kisruh UN tahun 2013—menurut hasil audit inspektorat—terkait korupsi.

Kedua, konvensi ini semula digelar untuk membicarakan berbagai persoalan pendidikan, kemudian diciutkan jadi konvensi UN untuk mengakhiri berbagai silang pendapat. Bahkan, Kemdikbud membatasi bahasan agar tidak mempersoalkan eksistensi dan substansi UN.

”UN tak bisa diganggu gugat karena ada dalam undang-undang,” kata Musliar Kasim, Wakil Mendikbud. Padahal kontroversi UN selama ini adalah soal eksistensi dan substansinya. Bagaimana mungkin kontroversi itu berakhir, sementara pokok masalahnya tak dibicarakan.

Konvensi UN yang didahului oleh prakonvensi di tiga wilayah (Medan, Makassar, dan Bali) benar-benar ”konvensional” dalam efektivitas anggaran. Sekadar mendiskusikan teknis pencetakan soal dan persentase nilai untuk kelulusan kiranya tak perlu konvensi. Hasilnya seperti diduga: UN ditradisikan.
Dalam undang-undang memang disebutkan tentang evaluasi, bukan UN. Berdasarkan itu, UN selama ini ada kerancuan pada tujuan, kepada siapa evaluasi itu diberlakukan, dan siapa yang melakukan. 

Pernyataan UN untuk pemetaan, untuk peningkatan mutu, memacu semangat belajar, dan untuk dasar masuk pendidikan berikutnya menggambarkan kesimpangsiuran pemahaman tentang posisi UN.

UN untuk apa/siapa?

Menurut UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), ada dua macam evaluasi yang sasaran, tujuan, metode, penyelenggara, serta implikasinya berbeda. Pertama, evaluasi dalam rangka pengendalian mutu sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan. Evaluasi ini dilakukan terhadap lembaga, program, dan juga peserta didik serta diselenggarakan oleh lembaga mandiri.

Istilah pemetaan, pengendalian mutu, dan untuk kebijakan adalah tujuan utama dari evaluasi ini. Evaluasi ”peserta didik” terkait model pengendalian mutu ini, utamanya tidak dimaksudkan untuk menguji hasil belajar. Akan tetapi, lebih pada mengevaluasi kondisi peserta didik seperti usia masuk sekolah—sehingga dapat ditentukan angka partisipasi kasar (APK), biaya personal, dan berbagai kendala yang dihadapi siswa di suatu daerah dan masalah lainnya yang terkait.

Namun karena salah satu indikator kualitas pendidikan adalah nilai hasil belajar, tentunya untuk pemetaan mutu nilai itu diperlukan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Untuk itu, idealnya BSNP dapat memperolehnya melalui sekolah atau dinas pendidikan, yaitu hasil evaluasi yang dilakukan pendidik. BSNP tak perlu menyelenggarakan ujian nasional sendiri, apalagi dilaksanakan setiap tahun seperti UN selama ini.

Jika di tangan guru semua murid selalu diluluskan—seperti juga UN—sehingga nilainya tak dapat dipercaya, BSNP sebagai lembaga mandiri dapat menyelenggarakan ujian nasional sendiri dan atau melalui sampling berkala empat atau lima tahun sekali; toh mutu pendidikan secara agregat tak berubah revolusioner setiap tahun. Ujian seperti ini seharusnya tidak menentukan dan berimplikasi pada kelulusan murid karena hal itu bukan tujuannya. Perlu dicarikan model pengujian agar murid serius mengerjakannya meskipun tanpa risiko.

Posisi evaluasi ini lebih kurang serupa dengan penilaian lembaga internasional seperti TIMSS, PIRLS, PISA untuk mengetahui kemampuan bidang matematika, sains, dan membaca. Bedanya mungkin evaluasi BSNP lebih komprehensif dan detail karena berada dan bersama komponen lain dalam kerangka evaluasi satuan pendidikan yang akan dijadikan dasar kebijakan peningkatan mutu secara sistemis.

Kedua, evaluasi hasil belajar peserta didik. Evaluasi ini diselenggarakan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar murid secara berkesinambungan. Obyek evaluasi ini adalah murid yang belajar pelajaran tertentu dalam jangka waktu tertentu. Pihak yang mengevaluasi adalah pendidik. Untuk evaluasi ini, khazanah pendidikan kita mengenal istilah ”ulangan”: ada ulangan harian, ada pula ulangan umum. Ulangan umum diberikan pada setiap akhir semester dan jika diberikan di akhir masa sekolah disebut ujian akhir yang berimplikasi pada kelulusan.

UN selama ini secara gegabah mencampuradukkan kedua model evaluasi yang seharusnya dipisah, yaitu mengevaluasi hasil belajar yang seharusnya wewenang pendidik, tetapi dilakukan oleh BSNP sebagai lembaga eksternal-mandiri, dan berimplikasi pada kelulusan. Pertimbangannya barangkali efisiensi, yakni borongan: satu UN multi-tujuan. Alhasil, selain berdampak buruk, tak satu tujuan pun tercapai. Perolehan UN tak menunjukkan apa yang senyatanya.

Romantisme, seolah dulu kualitas pendidikan lebih baik karena ada ujian nasional (ujian negara) dan lalu merosot lantaran tak ada UN hanyalah imaji. Faktanya, situasi kebangsaan yang centang-perenang dan serba buntu saat ini jelas berkorelasi dengan kualitas pendidikan tempo dulu. Kalaupun mutu pendidikan dulu dianggap baik, itu pun belum tentu tersebab ada ujian negara, karena pendidikan adalah sebuah kompleksitas yang terkait banyak faktor. Dramatisasi, seperti tanpa UN murid jadi bodoh, sekolah tak terstandardisasi, atau bahkan Indonesia terancam disintegrasi hanyalah kecemasan yang berlebihan.

Pengganti UN

Sebagai bentuk evaluasi, UN hanya instrumen diagnostik yang menunjang proses pendidikan. Mutu pendidikan ditentukan kualitas proses interaksi pembelajaran yang kinerja guru adalah faktor terpenting, terutama dalam perannya memotivasi dan menginspirasi murid. Kisah Ibu Muslimah dalam novel Laskar Pelangi kiranya dapat membantu pemahaman kita tentang kesejatian makna pendidikan. Oleh sebab itu, jika UN dihapuskan, pendidikan kita baik-baik saja, bahkan potensial jadi lebih baik.

Apabila UN dihapus, lalu apa gantinya? Pertama, (biasakan) kembali pada undang-undang: evaluasi hasil belajar murid dilakukan oleh pendidik. Di antara beberapa alternatif dapat dikembangkan seperti evaluasi mata kuliah di perguruan tinggi: kelulusan ditentukan dosen. Di sekolah, hendaklah setiap guru dapat mengevaluasi dan melakukan remedial hingga murid lulus dari mata pelajaran yang diampunya. Apabila guru asal meluluskan— sekali lagi—maka gurulah yang dibenahi.

Kedua, pastikan guru-guru bekerja dengan arah dan pedoman yang ditetapkan dalam standar kompetensi lulusan dan standar isi. Ketika murid diluluskan dari sebuah mata pelajaran yang ditempuhnya, seyogianya ia telah mencapai butir-butir dari standar yang ditetapkan. Untuk itu, selain kurikulum harus jelas, guru dilatih dengan benar.


Ketiga, untuk pengukuran dan atau pemetaan kualitas secara nasional, BSNP dapat melakukan ujian secara sampling atau ujian nasional berkala empat atau lima tahun sekali.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar