|
Ketika Kemdikbud
menggembar-gemborkan Kurikulum 2013 dan ujian nasional sebagai ihwal akademik,
bukan politik, saya menyambutnya dengan sukacita.
Benar bahwa tidak ada satu soal pun
dalam konteks tata kelola negara-bangsa dapat dilepaskan dari politik mengingat
politik sesungguhnya merupakan perkara pengurusan negara-bangsa. Hanya, dalam
situasi politik yang kotor seperti saat ini, baguslah kalau semua hal, termasuk
pendidikan, ditanggalkan dari politik. Itu sebabnya suara Kemdikbud yang
”apolitik” menjadi kabar baik.
Namun, rupanya Kemdikbud memiliki
persepsi lain tentang politik. Baginya, politik merupakan setiap hal yang
mengancam kuasanya. Politik adalah gerakan yang bersikap kritis terhadap proyek
pendidikan yang diproduseri Kemdikbud, dalam hal ini, terutama Kurikulum 2013
dan UN.
Hal itu dapat disimpulkan dari
langkah Kemdikbud yang inkonsisten, yakni dengan menggandeng parpol dan tokoh
politik untuk melegitimasi programnya.
Politik dagang
Lebih jauh, Kemdikbud bahkan
melakukan politik dagang. Hal ini bisa dilihat dari langkahnya membuat iklan,
baik di media cetak, elektronik, maupun media sosial. Menjadi sangat absurd
ketika Kemdikbud menggandeng beberapa tokoh untuk mengiklankan Kurikulum 2013,
misalnya.
Iklan—termasuk iklan layanan
masyarakat—adalah strategi mempersuasi khalayak tentang sebuah produk yang
tidak mengikat. Iklan layanan masyarakat tentang pencegahan narkoba, misalnya,
diperlukan sebab narkoba, meskipun jelas aturan hukumnya, tidak mengikat
khalayak. Dengan kata lain, khalayak memiliki ruang untuk mengonsumsinya.
Sementara Kurikulum 2013 adalah
program terstruktur yang sudah jelas pihak mana yang mesti melaksanakan. Itu
berarti sudah tidak perlu lagi diiklankan. Kemdikbud hanya perlu menunjukkan
Kurikulum 2013 sebagai program yang tersistem. Pembuatan iklan cuma menjadi
redudansi jika tidak mau dibilang penghamburan biaya. Karena demikian halnya,
iklan Kurikulum 2013 tidak bisa dikategorikan sebagai iklan layanan masyarakat.
Ia adalah iklan layanan politik.
Apa yang dilakukan terhadap
Kurikulum 2013 ternyata juga diulang pada UN. Bahkan, di samping membuat iklan,
Kemdikbud juga menggunakan jasa seorang pengusaha yang juga politisi: Jusuf
Kalla (JK).
Kita pun segera mendengar pandangan
JK yang ngawur mengenai pendidikan. JK, misalnya, mengatakan, siswa
tidak akan belajar jika tidak ada UN. Ini jelas analisis pedagang yang melihat
manusia sebagai barang dalam transaksi dagang: tidak ada barang; tidak ada
uang. JK bahkan lupa bahwa UN pun menyebabkan siswa tidak belajar, kecuali jika
yang dimaksud belajar adalah mengikuti bimbingan belajar (bimbel) pada dua
bulan menjelang UN.
Akan tetapi, tentu JK tidak bisa
dipersalahkan sebab ia memang bukan ahli pendidikan. Secara akademis,
Kemdikbud-lah yang nirnalar. Kemdikbud tidak memakai logika akademik, tetapi
logika dagang. Bagaimana mungkin institusi ini memilih pengusaha untuk
melegitimasi program pendidikan jika di dalam benak awaknya tidak terdapat
persepsi bahwa pendidikan adalah soal jual beli.
Namun, sekali lagi, strategi
politik dagang itu ditempuh Kemdikbud karena merasa kuasanya terancam.
Peminjaman JK merupakan bagian dari strategi itu. JK, meskipun tidak bermain
iklan, menjadi tokoh iklan juga: reklame terselubung yang efeknya justru bisa
lebih besar daripada sekadar iklan konvensional.
Di dalam iklan, apa pun modelnya,
produk yang diiklankan tak terlalu penting, yang penting iklan itu sendiri.
Transaksi dagang tak terjadi ketika produk berpindah dari penjual ke pembeli
tetapi ketika produk itu ditukar dengan tokoh iklan (Williamson, 1978). Kian
”mahal harga sang tokoh”, kian tinggi nilai produk.
Iklan adalah cara mengubah nilai
guna produk ke nilai tanda (image). Walhasil, jika JK yang mantan wapres saja
”menyukai” UN, masak rakyat jelata tidak. Di situ, daya kritis khalayak
dimampatkan. Khalayak hanya diminta mengimani UN tanpa harus memahaminya secara
kritis. Dengan demikian, iklan UN adalah tipe artikulasi, pemitosan (Barthes,
1983), dan pemberhalaan UN.
Hentikan
Jika realitas mengenai produk
bagus, iklan akan sangat mendukung. Namun, jika sebaliknya, iklan bisa menjadi
bumerang. Hal ini persis terjadi pada UN. Sejauh ini, hal apa pun yang
diketahui publik mengenai UN adalah kebobrokannya. Di sisi lain, Kemdikbud dan
para pendukungnya belum pernah sekali pun menunjukkan fakta keberhasilan UN.
Yang terdengar adalah asumsi-asumsi teoretis dan perbandingan dengan beberapa
negara lain yang melaksanakan program sama.
Ketika dalam penutupan Konvensi UN
(26/9/2013 dan 27/9/2013) Wamendikbud Bidang Pendidikan meminta sejumlah pihak
menulis manfaat UN, yang muncul di publik justru kemudaratannya. Wamen lupa
bahwa seseorang baru bisa menulis jika ia memiliki data. Maka, bagaimana manfaat UN bisa ditulis jika tak
ada data. Tragis.
Oleh sebab itu, hemat saya, jika
Kemdikbud memiliki itikad baik untuk memajukan pendidikan bangsa ini, mau tidak
mau UN harus dihentikan. Paling tidak dilakukan moratorium sebagaimana
disampaikan Anies Baswedan.
Harus diingat, UN adalah program
yang telah berlangsung sepuluh tahun, itu berarti telah sepuluh kali
diselenggarakan. Bagaimana bisa kita memaafkan sesuatu yang telah sepuluh kali
terulang. Ini jauh melampaui konvensi permaafan dalam kebudayaan nusantara yang
hanya memberi toleransi tiga kali.
Dengarlah syair lagu dangdut ini
(lebih kurang): ”satu kali kumaafkan, dua kali kuingatkan, tiga kali kini
aku baru mengerti kau adalah racun dunia yang tak pantas diampuni”.
Walhasil, jika JK mengatakan,
bangsa ini akan permisif jika tak ada UN, melanjutkan penyelenggaraan UN justru
kepermisifan yang nyata! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar