|
PADA malam 2 Oktober lalu Bentara
Budaya Yogyakarta tersulap menjadi langgar. Hampir tiga hari para seniman
bekerja keras menutupi sekeliling gedung dengan gedek. Tangganya dilapisi
bambu. Atapnya ditutupi rumbai-rumbai
ijuk. Penerangannya teplok dan senthir. Seperti sebuah langgar desa di
tengah-tengah kota.
Pedesaan yang agraris makin terasa di halaman Bentara Budaya
yang lebih dikenal sebagai Pasar Yakopan itu. Pohon-pohon pisang bertebaran di
sana. Bergantungan pelbagai hasil bumi, yaitu jagung, salak, kelapa, semangka,
pisang, bengkuang, timun, terung, dan sebagainya. Tikar digelar sampai ke jalan
raya, yang malam itu ditutup sementara untuk lalu lintas.
Disambut musik rebana, lebih dari seribu orang berduyun-duyun
ke sana. Mereka mau mendengar tausiah Kiai H Muhammad Yusuf Chudlori (Gus
Yusuf) dari Pesantren Salaf API, Tegalrejo, Magelang, dan Kiai H Mustofa Bisri
(Gus Mus) dari Pesantren Raudlatuh Tholibin, Rembang, yang diminta membuka
pameran perupa Nasirun berjudul ”Rubuh-rubuh Gedhang”. Pameran dibuka dengan
ditabuhnya beduk besar oleh dalang wayang suket Slamet Gundono, dilanjutkan Gus
Mus.
Dalam perhelatan istimewa yang disebut tablig seni ini,
Nasirun memamerkan sembilan beduk besar penuh lukisan. Ia memamerkan figur Wali
Sanga, sembilan wali, dalam wayang berukuran raksasa. Dinding dalam gedung
pameran dibalut dengan lukisan sepanjang 50 meter. Tablig seni itu memang
dimaksud mengenang kembali Wali Sanga, yang menyebarkan Islam pertama kali di
Jawa. Wali Sanga dikenal sebagai mubalig dan ulama yang menyebarkan Islam
dengan sangat menghargai dan mencintai kebudayaan setempat. Mereka berpegang
teguh kepada ajaran Islam. Kendati demikian, mereka berusaha jangan sampai
penyebaran agama Islam meniadakan kebudayaan. Mereka menggunakan, bahkan makin
menghidupkan dan menyuburkan seni dan kebudayaan menyampaikan ajaran Islam.
Sunan Giri, misalnya, konon banyak menggunakan tembang
dolanan anak untuk memasukkan ajaran Islam. Dalam lagu ”Padhang-padhang Bulan”,
diterangkan bagaimana Islam sebagai terang yang telah datang, menerangi dunia,
menyingkirkan kebodohan yang menyesatkan. Sunan Kalijaga sangat ahli dalam
gamelan dan wayang. Ia menciptakan lakon wayang baru untuk dakwahnya. Bersama
Sunan Kalijaga, bukan hanya dakwah Islam yang tersebar, wayang dan gamelan pun
makin hidup di tanah Jawa.
Kisah Wali Sanga mungkin beraroma mitos. Seperti mitos
lainnya, mitos Wali Sanga mengandung ajaran dan kebenaran yang ingin
disampaikan: dakwah tak perlu diwartakan dengan meniadakan kebudayaan atau
kesenian. Dalam khazanah Islam, kiranya para wali itu bolehlah disebut sebagai
ulama yang berijtihad menyebarkan Islam agar manusia dapat mencapai ihsan
sepenuh-penuhnya. ”Rubuh-rubuh Gedhang” kiranya mengajak kita kembali
merefleksikan dan menghidupkan ke-ihsan-an dan keijtihadan itu.
Kreator peradaban
Islam bukan hanya agama, melainkan juga the universal
way of life. Dalam kesadaran ini, termaktub keyakinan yang indah tentang
yang disebut ihsan. Menurut cendekiawan Islam, Bilal Sambur dari Suleman
Demirel University Turki, ihsan adalah kesadaran bahwa di dunia ini individu
manusia tak berada sendirian, tetapi berada dan hidup dalam kehadiran Allah
dengan hati dan budinya. Sambur mengutip Hadis, ”tidakkah hidup ini adalah
untuk menyembah Allah seakan-akan kamu sedang melihat-Nya, dan sementara kamu
belum melihat-Nya, Dia sungguh melihat kamu”. Dari situ, tampak Allah adalah
”Penjaga”, al-Bashir, bagi manusia semua walau manusia tidak melihat-Nya.
Maka, ihsan adalah prinsip yang mengatur pikiran, perasaan,
dan perbuatan manusia. Relasi dengan Allah yang tak terpisahkan itu adalah
keadaan manusia yang asali, natural, dan konstan. Dengan relasi ke-ihsan-an itu
pula, manusia berhubungan dengan masyarakat dan jagatnya. Di sinilah manusia
diminta menjadi spiritual dan etis sekaligus. Manusia diminta jadi human,
manusiawi, karena kerelasian itu.
Apakah hidup secara manusiawi itu? Kata Sambur: hidup secara
manusiawi adalah hidup yang bercivilisasi. Humanisasi dan civilisasi itu
identik sebab, menurut prinsip ihsan, Allah menjaga dan mengamati manusia
karena Dia ingin melihat manusia sungguh hidup sebagai insan yang manusiawi dan
berkeadaban. Manusia bertanggung jawab menciptakan peradaban sehingga manusia
dapat bertanggung jawab di hadirat Allah yang selalu hadir menjaganya.
Jadi, ihsan, sebagai kesadaran akan Allah yang selalu hadir
dalam hidup ini, adalah prinsip protektif dan asasi bagi kemanusiaan dan
peradaban. Jika kehilangan ke-ihsan-an, kita pun akan kehilangan kehidupan kita
yang manusiawi dan berkeadaban sebab menjadi tidak sadar akan Allah adalah
mendehumanisasi dan mendecivilisasi kehidupan kita. Prinsip ihsan bukan prinsip
yang romantis dan mistis dari Islam, melainkan mekanisme fungsional yang
memajukan pemanusiaan dan pemberadaban. Di sinilah Islam jadi pandangan hidup
yang mencakup seluruh kehidupan manusia yang berkeadaban. Singkatnya, menurut
Sambur, Tuhan menginginkan karya manusia bernama peradaban itu pelengkap bagi
karya-Nya, yakni penciptaan. Untuk itu, Sambur mengetengahkan puisi
Iqbal: Engkau menciptakan malam, aku menciptakan lampu/Engkau menciptakan
lempung, aku menciptakan pasu/Engkau menciptakan rimba, gunung gemunung, dan
padang pasir, aku menciptakan taman, kebun buah-buahan, dan jambangan-jambangan
bunga!/Akulah yang membuat gelas dari batu.…
Peradaban, dengan demikian, bukanlah sekadar runtutan
perkembangan ilmu dan teknologi. Lebih dari itu, peradaban adalah suatu
pemanusiaan dalam setiap aspek hidup, ilmu, seni, filsafat, estetika, sosial,
kultural, politik, dan religius. Jika pemanusiaan ini dihalangi, pemeradaban
akan jatuh ke dalam jahiliyya atau kebarbaran. Islam, kata Sambur,
sinonim bagi peradaban, sedangkan jahiliyya
musuh peradaban. Tanggung jawab universal umat Muslim memperadabkan diri dan
melindungi kehidupan peradaban di dunia ini. Sambur mengingatkan, kendati Islam
berarti cara hidup berkeadaban, tak berarti semua umat Muslim sudah
berkeadaban.
Identitas keberadabannya bergantung pada sudah-belumnya umat
Muslim mengaktualkan tanggung jawab keperadabannya. Untuk itu,
kriterianya Al amr bil Ma’ruf wa
Nahy’an al Mungkar, prinsip memperjuangkan peradaban dan mencegah ke-jahiliyya-an. Umat Muslim harus punya
agenda pemeradaban bagi masa kini dan masa depan umat manusia. Untuk itu, umat
Islam perlu menafsirkan Al Quran sebagai sesuluh pemeradaban dan keadaban, dan
sunah atau paradigma nabi sebagai modal bagi praktik pemeradaban. Tugas utama
Muslim adalah menjadi kreator keadaban. Arah pemeradaban ini bukan masa lampau,
melainkan masa depan sebab teologi ke-ihsan-an macam itu menolak Muslim sebagai
warga masa lampau, tetapi membuat mereka sadar bahwa mereka adalah kreator baru
bagi masa sekarang dan masa depan. Umat Muslim harus benar-benar berijtihad
memperjuangkan kemanusiaan dan pemeradaban di masa kini dan masa depan.
Banyak sarjana Islam bergulat dengan pengertian ijtihad.
Setelah mempelajari tulisan para sarjana Islam, seperti Ibn al-Althir, Ibn
Manzur al-Misri, Sa’id al-Khudri, dan Ibn Arbi Dharia’ah, studi Mir Mohammad
Ibrahim dari Regional Engineering College, Srinagar, menyimpulkan: ijtihad
adalah upaya menggunakan kekuatan, potensi, dan usaha manusia semaksimal
mungkin untuk mengolah dan menyelesaikan perkara yang sedang dihadapinya.
Dengan ijtihad, manusia dituntut berani berupaya sampai mencapai kemampuannya
yang terakhir.
Semula ijtihad dikerjakan dalam wilayah fiqh, yurisprudensi.
Seperti kata Mohammad Ibrahim, sarjana Islam terkenal, Ali Shariati tak setuju
jika ijtihad dibatasi pada wilayah hukum saja. Ijtihad adalah upaya mencapai
pengertian Islam yang berani menerobos dan progresif dalam segala dimensinya.
Ijtihad adalah alat yang harus digunakan mencapai pengertian baru tentang
Islam, yang mampu secara progresif menghadapi tantangan perubahan zaman dan
pandangan hidup manusia. Dengan ijtihad, orang ditantang menemukan makna
terdalam pada Al Quran, yang sesungguhnya amat kaya dengan pelbagai aspeknya.
Ijtihad akan membantu Islam menemukan kebenaran baru, sejajar dengan evolusi
pikiran dan ilmu pengetahuan manusia. Ijtihad akan membantu umat meraih tatanan
hidup baru, sesuai dengan kebutuhan yang sedang berubah. Dan bagi institusi,
ijtihad adalah kekuatan yang menciptakan gerakan, kehidupan, dan pembaruan
kultur Islam.
Menjahit peradaban
Ijtihad berkembang setelah kepergian Nabi, saat umat banyak
menghadapi problem baru karena perubahan zaman dan meluasnya khalifah. Dalam
wilayah religius, spiritual, dan kultural, ijtihad adalah pintu masuk di mana
karavan zaman lewat. Ijtihad adalah terowongan menuju rumah belajar Islam:
membuat orang bernapas dengan udara baru dan segar. Dalam sejarah Islam, upaya
ini pernah ditutup. Tertutupnya ijtihad membuat lahirnya fatwa yang irasional,
menjadikan umat gamang, gagal menghadapi tantangan baru. Kata Shariati, menutup
pintu ijtihad sama dengan matinya spirit Islam, yang membuat kebudayaan dan
pandangan hidup Islam anakronistis dan ketinggalan zaman.
Kini kiranya saya boleh melihat bahwa Islam adalah agama yang
memungkinkan kita semua berijtihad menjadi ihsan yang mengembangkan kemanusiaan
dan peradaban. Islam demikian inilah yang mungkin dulu dihayati para pendiri
bangsa. Itulah yang membuat mereka yakin bahwa Ketuhanan bagi bangsa Indonesia
adalah Ketuhanan yang tak bisa dilepaskan dari kemanusiaan dan peradaban.
Demikianlah kata Bung Karno dalam pidato lahirnya Pancasila: Dasar kelima (yang
kemudian menjadi dasar pertama) adalah Tuhan yang berkebudayaan, yaitu
Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur. Ketuhanan yang hormat-menghormati satu
sama lain sehingga segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini akan
mendapat tempat sebaik-baiknya.
Betapa konsep ke-ihsan-an terasa sekali dalam kata-kata
selanjutnya, saat Bung Karno meyakinkan bahwa Ketuhanan yang Maha Esa adalah
dasar yang memimpin cita-cita negara kita, yang memberi jiwa kepada usaha
menyelenggarakan segala yang benar, adil, dan baik. Adapun dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktik hidup dari
dasar yang memimpin tadi. Lalu kata Bung Karno lagi: ”Segenap rakyat hendaknya
ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan ”tiada egoisme agama”. Nabi Muhammad
SAW telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa
pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu.”
Tak berlebihan kiranya bahwa di Indonesia saat ini terbaca
sekali ada ketakutan karena ”egoisme agama” yang akhir-akhir ini muncul dengan
amat kentara. Ada kekhawatiran, lebih-lebih dari kaum minoritas agama, bahwa
kita tidak bisa saling menghormati karena perbedaan agama. Kekhawatiran ini
beralasan karena sering mereka ditekan dan ditakut-takuti lewat kekerasan yang
mengatasnamakan agama. Maka, Islam sebagai agama mayoritas kiranya perlu
berijtihad memberantas kekhawatiran itu.
Sudah saatnya, dengan prinsip
ke-ihsan-an yang dimilikinya, Islam di Indonesia berijtihad untuk benar-benar
melahirkan Ketuhanan yang diinginkan cita-cita Pancasila, yakni Ketuhanan yang
berkebudayaan dan berbudi pekerti luhur sehingga pemeluk-pemeluknya menjadi
para ihsan yang mencintai peradaban dan kemanusiaan, yang menjaminkan kehidupan
bersama, di mana para warganya dapat menghayati keyakinan dan agamanya dengan
bebas dan saling menghormati.
Dalam itulah kiranya kita boleh mengapresiasi pameran seni
rupa Nasirun kali ini. Nasirun menorehkan lukisannya di atas beduk raksasa.
Dengan suaranya yang khas, beduk memanggil kita bersembahyang, saat kita sujud
menghadap Allah dan menyadari ke-ihsan-an kita. Beduk membawa kita sadar bahwa
kita selalu berada dalam relasi dengan Tuhan. Dan relasi itu mengharuskan kita
bersama-sama dengan manusia lain menggalang kemanusiaan dan peradaban. Nasirun
menghadirkan bukan hanya satu, melainkan sembilan beduk. Bersamaan dengan itu,
ia juga membuat sembilan wali dalam rupa sembilan wayang. Ini semua seakan-akan
hendak memanggil kembali Wali Sanga, para mubalig yang menyebarkan agama Islam
sambil mencintai kebudayaan dan melahirkan peradaban. Dengan segala ijtihadnya,
mereka membuat Islam sebagai agama yang berkebudayaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar