|
KEPUTUSAN tentang pembangunan mass rapid transit di Jakarta oleh
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo adalah salah satu keputusan terbaik. Keputusan
ini sudah lama sekali ditunggu realisasinya oleh masyarakat.
Ketentuannya, kota yang berpenduduk
lebih dari 5 juta warga (megalopolis) memang sudah perlu mass rapid
transit (MRT) untuk kelancaran arus lalu lintasnya. Apalagi Jakarta, yang
jumlah penduduknya sudah dua kali lipat angka di atas.
Namun, kehadiran MRT saja jelas
tidak cukup. Kebijakan dan program lain yang mendukungnya secara total
dibutuhkan agar warga kota tak terangsang menggunakan kendaraan pribadi.
Langkah paling gampang dilakukan
selama ini adalah dengan penerapan pajak progresif atau bahkan superprogresif.
Mobil-mobil mewah dikenai pajak yang sangat tinggi. Tarif jalan berbayar dan
ongkos parkir ditingkatkan. Dengan satu catatan penting: segenap penghasilan
serta segala macam pajak dan parkir itu digunakan betul-betul untuk menyubsidi
MRT.
Keberhasilan MRT hanya akan
tercapai jika rencana umum tata ruang kota dilandasi konsep transit oriented
development. Setiap pusat kawasan permukiman sampai dengan skala kota baru
mesti dilengkapi stasiun MRT atau simpul jasa transportasi umum yang bisa
dicapai dengan jalan kaki. Demikian pula dengan kawasan pusat-pusat perkantoran
atau bisnis. Dengan demikian, warga kota akan mendapat kemudahan bergerak dari
rumah ke lapangan kerja setiap hari.
Tatkala saya berkunjung ke
Melbourne, Australia, yang dikenal sebagai The Most Livable City, saya melihat ternyata setiap naik-turun trem
di circle line tidak ditarik
ongkos alias gratis. Tampak betul tekad dan konsistensi pemerintah dalam
mendukung beroperasinya transportasi umum. Itu karena yang sesungguhnya sangat
dibutuhkan warga kota bukanlah jenis-jenis mobil hijau yang murah, melainkan
transportasi umum yang murah.
Apa gunanya memiliki dan
menggunakan mobil pribadi, baik yang mewah maupun yang murah, jika begitu
keluar dari garasi, jalanan sudah macet. Konsep-konsep park and ride di kawasan pusat
kota, kiss and ride untuk
kota-kota satelit seputar Jakarta, dan dial-a-ride dalam
wujud taksi patungan, yang sudah dicobakan di London, kiranya layak diterapkan.
Salah satu inovasi terbaik bidang
perkotaan tahun 2012, menurut majalah Time, adalah straddling bus atau bus yang
mengangkang 2 meter di atas jalan. Bus unik itu konon akan diproduksi dan
digunakan di Beijing pada 2014. Keuntungannya banyak, antara lain tidak
mengganggu arus lalu lintas di bawahnya, bisa memuat banyak penumpang, dan
jelas tidak akan terendam banjir.
Prinsip kesetaraan
Saya teringat ketika anak saya yang
tinggal di Kyoto, Jepang, mencarikan sekolah dasar (SD) untuk anaknya yang
berusia 6 tahun. Ternyata persyaratan yang mesti dipenuhi adalah sekolahnya
harus berada di lokasi yang paling dekat dengan rumah tinggalnya. Anak-anak SD
diwajibkan berjalan kaki dari rumah ke sekolahnya setiap hari. Mereka boleh
diantar-jemput hanya pada hari pertama sekolah.
Dampaknya luar biasa. Jalanan tidak
dipadati mobil-mobil pengantar, seperti lazim di Jakarta dan kota-kota besar
lain di Tanah Air. Kekerabatan antaranak pun lantas terjalin erat karena setiap
hari mereka berjalan bersama dari rumah ke sekolah atau sebaliknya. Mereka pun
lantas saling mengunjungi, baik untuk bermain maupun mengerjakan pekerjaan
rumah. Antarorangtua juga terjalin hubungan silaturahim yang erat. Para
orangtua tidak merasa keberatan dengan peraturan yang ketat semacam itu karena
kualitas sekolahnya relatif setara di seluruh Kyoto.
Pihak Kemendikbud mestinya dapat
menerapkan prinsip kesetaraan semacam itu di Indonesia. Dewasa ini, dengan
adanya kesenjangan kualitas antarsekolah, apalagi berupa sekolah unggulan dan
model-model sekolah bertaraf internasional, para orangtua pasti keberatan jika
anak-anaknya diwajibkan belajar di sekolah yang terdekat dengan rumah
masing-masing. Kesenjangan kualitas pendidikan itu tampak menonjol, bukan hanya
antara sekolah di Jawa dan luar Jawa. Bukan hanya antara kota dan desa. Bahkan
dalam satu kota pun terjadi ketidaksetaraan. Sesungguhnya kebijakan membangun
MRT juga merupakan pengejawantahan prinsip kesetaraan dalam pembangunan kota.
Manakala kita naik MRT di mana pun
juga di mancanegara, tak akan bisa ditebak yang jadi penumpang itu dari
kalangan atas, menengah, atau bawah. Semua berbaur jadi satu. Sungguh amat
Pancasilais. Presiden dengan semua menterinya wajib mendukung pembangunan MRT
di DKI Jakarta melalui kebijakan dan program yang sungguh-sungguh pro-rakyat,
menciptakan rasa kebersamaan dan kesetaraan, tidak justru malah merusaknya
dengan dalih-dalih yang tidak masuk akal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar