Senin, 14 Oktober 2013

Setelah MRT

Setelah MRT
Eko Budihardjo  Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan;
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
KOMPAS, 14 Oktober 2013


KEPUTUSAN tentang pembangunan mass rapid transit di Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo adalah salah satu keputusan terbaik. Keputusan ini sudah lama sekali ditunggu realisasinya oleh masyarakat.

Ketentuannya, kota yang berpenduduk lebih dari 5 juta warga (megalopolis) memang sudah perlu mass rapid transit (MRT) untuk kelancaran arus lalu lintasnya. Apalagi Jakarta, yang jumlah penduduknya sudah dua kali lipat angka di atas.

Namun, kehadiran MRT saja jelas tidak cukup. Kebijakan dan program lain yang mendukungnya secara total dibutuhkan agar warga kota tak terangsang menggunakan kendaraan pribadi.

Langkah paling gampang dilakukan selama ini adalah dengan penerapan pajak progresif atau bahkan superprogresif. Mobil-mobil mewah dikenai pajak yang sangat tinggi. Tarif jalan berbayar dan ongkos parkir ditingkatkan. Dengan satu catatan penting: segenap penghasilan serta segala macam pajak dan parkir itu digunakan betul-betul untuk menyubsidi MRT.

Keberhasilan MRT hanya akan tercapai jika rencana umum tata ruang kota dilandasi konsep transit oriented development. Setiap pusat kawasan permukiman sampai dengan skala kota baru mesti dilengkapi stasiun MRT atau simpul jasa transportasi umum yang bisa dicapai dengan jalan kaki. Demikian pula dengan kawasan pusat-pusat perkantoran atau bisnis. Dengan demikian, warga kota akan mendapat kemudahan bergerak dari rumah ke lapangan kerja setiap hari.

Tatkala saya berkunjung ke Melbourne, Australia, yang dikenal sebagai The Most Livable City, saya melihat ternyata setiap naik-turun trem di circle line tidak ditarik ongkos alias gratis. Tampak betul tekad dan konsistensi pemerintah dalam mendukung beroperasinya transportasi umum. Itu karena yang sesungguhnya sangat dibutuhkan warga kota bukanlah jenis-jenis mobil hijau yang murah, melainkan transportasi umum yang murah.

Apa gunanya memiliki dan menggunakan mobil pribadi, baik yang mewah maupun yang murah, jika begitu keluar dari garasi, jalanan sudah macet. Konsep-konsep park and ride di kawasan pusat kota, kiss and ride untuk kota-kota satelit seputar Jakarta, dan dial-a-ride dalam wujud taksi patungan, yang sudah dicobakan di London, kiranya layak diterapkan.

Salah satu inovasi terbaik bidang perkotaan tahun 2012, menurut majalah Time, adalah straddling bus atau bus yang mengangkang 2 meter di atas jalan. Bus unik itu konon akan diproduksi dan digunakan di Beijing pada 2014. Keuntungannya banyak, antara lain tidak mengganggu arus lalu lintas di bawahnya, bisa memuat banyak penumpang, dan jelas tidak akan terendam banjir.

Prinsip kesetaraan

Saya teringat ketika anak saya yang tinggal di Kyoto, Jepang, mencarikan sekolah dasar (SD) untuk anaknya yang berusia 6 tahun. Ternyata persyaratan yang mesti dipenuhi adalah sekolahnya harus berada di lokasi yang paling dekat dengan rumah tinggalnya. Anak-anak SD diwajibkan berjalan kaki dari rumah ke sekolahnya setiap hari. Mereka boleh diantar-jemput hanya pada hari pertama sekolah.

Dampaknya luar biasa. Jalanan tidak dipadati mobil-mobil pengantar, seperti lazim di Jakarta dan kota-kota besar lain di Tanah Air. Kekerabatan antaranak pun lantas terjalin erat karena setiap hari mereka berjalan bersama dari rumah ke sekolah atau sebaliknya. Mereka pun lantas saling mengunjungi, baik untuk bermain maupun mengerjakan pekerjaan rumah. Antarorangtua juga terjalin hubungan silaturahim yang erat. Para orangtua tidak merasa keberatan dengan peraturan yang ketat semacam itu karena kualitas sekolahnya relatif setara di seluruh Kyoto.

Pihak Kemendikbud mestinya dapat menerapkan prinsip kesetaraan semacam itu di Indonesia. Dewasa ini, dengan adanya kesenjangan kualitas antarsekolah, apalagi berupa sekolah unggulan dan model-model sekolah bertaraf internasional, para orangtua pasti keberatan jika anak-anaknya diwajibkan belajar di sekolah yang terdekat dengan rumah masing-masing. Kesenjangan kualitas pendidikan itu tampak menonjol, bukan hanya antara sekolah di Jawa dan luar Jawa. Bukan hanya antara kota dan desa. Bahkan dalam satu kota pun terjadi ketidaksetaraan. Sesungguhnya kebijakan membangun MRT juga merupakan pengejawantahan prinsip kesetaraan dalam pembangunan kota.


Manakala kita naik MRT di mana pun juga di mancanegara, tak akan bisa ditebak yang jadi penumpang itu dari kalangan atas, menengah, atau bawah. Semua berbaur jadi satu. Sungguh amat Pancasilais. Presiden dengan semua menterinya wajib mendukung pembangunan MRT di DKI Jakarta melalui kebijakan dan program yang sungguh-sungguh pro-rakyat, menciptakan rasa kebersamaan dan kesetaraan, tidak justru malah merusaknya dengan dalih-dalih yang tidak masuk akal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar