Senin, 14 Oktober 2013

“Collateral Damage”

“Collateral Damage”
A Tony Prasetiantono  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) UGM
KOMPAS, 14 Oktober 2013


KRISIS ekonomi global memasuki tahap baru. Perekonomian Amerika Serikat hampir ”kiamat”. Kali ini bukan soal apakah kebijakan moneter mencetak uang untuk membeli kembali obligasi Pemerintah AS (quantitative easing) akan dikurangi jumlahnya (tapering off), melainkan soal penghentian sebagian layanan publik (shut down) karena Pemerintah AS tidak diizinkan Kongres menambah utang.

Utang Pemerintah AS yang dipakai untuk menutup defisit anggaran sudah mencapai batas yang diizinkan konstitusi (debt ceiling), yang jumlahnya sudah melebihi produk domestik bruto sekitar 16 triliun dollar AS. Pemerintah Obama mengajukan proposal batas utang dinaikkan menjadi 16,7 triliun dollar AS, yang keputusannya akan diambil pekan ini, 17 Oktober 2013.

Apa konsekuensinya? Jika para politisi Partai Republik menolak, terjadilah shut down, yakni sebagian layanan publik akan dihentikan, seperti yang terjadi sekarang. Ini akan mengoyak bangunan kepercayaan terhadap reputasi dan kredibilitas Pemerintah AS.

Lebih jauh lagi, seperti ditulis Paul Krugman (”Dealing with Default”, The New York Times, 10/10), para investor pemegang obligasi Pemerintah AS jangka pendek (T-bills) akan panik. Mereka akan ramai melepaskannya, untuk mencari aset lain yang dianggap lebih aman. Reputasi obligasi Pemerintah AS sebagai aset likuid yang paling aman di dunia akan runtuh. Obligasi Pemerintah AS bisa diibaratkan sebagai collateral damage, yakni barang atau aset yang diagunkan yang kondisinya rusak parah.

Jika kondisi collateral damage ini dibiarkan, bukan saja obligasi Pemerintah AS yang akan gagal (default), melainkan juga perekonomian AS secara keseluruhan akan runtuh. Karena AS masih merupakan negara dengan PDB terbesar di dunia, jauh melebihi peringkat kedua China (8,5 triliun dollar AS) dan Jepang (6 triliun AS), dampaknya pun akan menyebar ke seluruh dunia, hampir tanpa kecuali, termasuk Indonesia.

Karena itu, kini seluruh dunia berkepentingan agar Kongres AS menyetujui relaksasi pembatasan utang sehingga pemerintah federal AS bisa melanjutkan stimulus fiskal.

Saya masih yakin para politisi AS akan cukup rasional untuk menghentikan shut down pada pekan ini. Selanjutnya, investor global mestinya mulai menimbang kembali aset likuidnya, apakah obligasi Pemerintah AS masih favorit? Jika mulai meragukan, pilihannya adalah memegang aset dari emerging countries. China, yang pertumbuhan ekonominya 7,5 persen, tentu masih menjadi favorit. India, yang semula favorit berikutnya, kini terseok di 4,7 persen.

Indonesia tetap memiliki harapan untuk bisa kembali menarik investasi global ke sini. Dimulainya proyek infrastruktur mass rapid transit (MRT) di Jakarta, seperti halnya mulai dioperasikannya bandara baru Ngurah Rai dan Kualanamu, serta jalan tol laut di Bali, diharapkan bisa menjadi pertanda bahwa negara ini serius menangani infrastruktur yang menjadi titik terlemah dalam daya saing global.

Upaya untuk menarik investasi asing, apa pun bentuknya, baik jangka pendek (hot money) maupun jangka panjang (investasi langsung), harus terus dikampanyekan. Penyelenggaraan KTT APEC di Bali harus diteruskan dengan serangkaian upaya lanjutan. Komitmen membangun infrastruktur, selain membasmi korupsi, akan menjadi isu yang paling ”menjual”.

Sementara itu, ada dua hal menggembirakan terkait dengan kinerja ekonomi makro. Pertama, telah terjadi deflasi (inflasi negatif) 0,35 persen pada September 2013. Ini menyebabkan inflasi year on year 8,4 persen dan inflasi kalender (Januari-September 2013) 7,57 persen. Meski inflasi masih tinggi, dampak kenaikan harga BBM sudah mereda. Kenaikan harga BBM masih bersifat one shot inflation (inflasi yang ”sekali pukul” lalu mereda).

Kedua, neraca perdagangan sudah mulai surplus, yakni 132 juta dollar AS (Agustus 2013). Surplus ini kecil karena sebelumnya normalnya 2 miliar dollar AS per bulan. Namun, dalam kondisi kini, ketika komoditas primer sedang buruk, surplus sudah melegakan. Penyebabnya, melemahnya nilai tukar rupiah menjadi Rp 11.000-an per dollar AS, yang mendorong kenaikan ekspor dan penurunan impor. Kondisi ini bisa berlangsung hingga akhir tahun, seiring dengan tetap lemahnya rupiah.

Sementara itu, Bank Indonesia juga menjalin kerja sama bilateral currency swap arrangement (BCSA) dengan Bank Sentral Korea Selatan (10 miliar dollar AS) dan Bank Sentral China (15 miliar dollar AS). Esensinya adalah Indonesia mendapatkan injeksi valuta asing untuk meredam volatilitas rupiah. Dulu saat krisis 1998, Indonesia dibantu IMF dengan suntikan dana cuma 1 miliar dollar AS per bulan. Jadi, situasi kini dengan skema Chiang Mai Initiatives jauh lebih baik daripada skema IMF.

Lalu, apakah BI Rate bisa dipertahankan 7,25 persen hingga akhir tahun? Kuncinya terletak pada inflasi. Pada saat inflasi 8,4 persen seperti sekarang, BI Rate memang bisa ditahan. Namun, seiring dengan kurs rupiah yang tak kunjung menguat dari level Rp 11.000-an per dollar AS, inflasi yang berasal dari faktor kurs valuta asing (imported inflation) mulai memberi kontribusi. Itu berarti, tekanan inflasi pada 2,5 bulan terakhir 2013 masih besar.


Secara tipikal, pada akhir tahun selalu terjadi lonjakan inflasi karena kenaikan permintaan yang terkait dengan faktor liburan. Beban inflasi menjadi kian besar ketika kurs rupiah tak kunjung menguat. Karena itu, dengan perkiraan inflasi 8,5 persen-9 persen, BI Rate masih mungkin naik sekali lagi ke 7,5 persen untuk mengontrol inflasi sekaligus menjaga volatilitas rupiah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar