|
BOLEHKAH melakukan sogok, intimidasi,
atau manipulasi dalam pemilu? Kita semua tahu, jawabannya adalah TIDAK, karena
hal-hal itu tidak bermoral (immoral).
Namun, mengapa praktik-praktik itu selalu saja terjadi?
Baru saja
Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan ketua Mahkamah Konstitusi untuk
kasus macam itu. Dapat dipastikan, Pemilu 2014 juga tak akan bersih dari
politik uang. Jawabannya harus dicari bukan pada moralitas, melainkan pada
politik. Di sana kita temukan sebuah paradoks kuno: apa yang tidak dapat
dibenarkan oleh moral kerap kali dibenarkan oleh politik. Paradoks itu sudah
ada dalam buku Plato The Republic sebagai ”dusta putih” dan buku
Machiavelli The Prince sebagai ”tujuan membenarkan cara”. Di dalam
etika politik kontemporer hal itu didiskusikan kembali di bawah istilah
”masalah tangan kotor” oleh John M Parrish dalam bukunya, Paradoxes of Political Ethics (2007).
Argumentasinya
akan saya pakai di sini untuk menerangi politik uang sebagai masalah
etis-politis. Parrish menjelaskan paradoks itu sebagai ”konflik dua tanggung
jawab”. Tanggung jawab politis seorang politikus partai adalah memenangkan
partainya, tetapi tanggung jawab moralnya adalah memenangkan dengan tangan
bersih. Padahal dalam politik, tangan kotor ada di mana-mana, maka politikus
justru merasa immoral jika tidak memenangkan partainya dengan tangan
kotor juga.
Urgensi tentu
dapat menghadapkan politikus pada dilema moral. Seorang presiden yang harus memilih
antara memerintah aparatnya untuk menyiksa seorang teroris agar rencana
pengeboman dapat dibongkar atau tidak memerintahkan hal itu sama sekali
menghadapi dilema moral: jika perintah itu diberikan, dia salah, dan jika tidak
diberikan, dia salah juga. Ada ”residu moral” setelah pilihan diambil. Kasus
politik uang kehilangan faktor urgensi itu, tetapi tentu saja seorang politikus
tidak akan kehabisan dalih untuk membenarkan tindakannya.
Tiga macam pertimbangan
Pertimbangan
pertama, utilitarianisme, berkecamuk di kepala banyak politikus. Mereka
berkeyakinan bahwa politik uang memang bukan hal terpuji, tapi cara itu perlu
dilakukan agar mayoritas orang akan mendapat manfaat dari kemenangan partainya. The greatest happiness of the greatest
number, begitu dalilnya. Idealisme demokrasi adalah kebahagiaan bagi semua,
tetapi realisme demokrasi adalah kebahagiaan bagi sebagian, maka para politikus
yang merasa dapat membahagiakan sebagian besar dapat mengira telah mendekati
idealisme itu. Bagi mereka tangan kotor bukanlah masalah dilematis.
Pertimbangan
kedua, etika deontologi, kerap dikaitkan dengan integritas moral. Kecurangan
adalah kejahatan dan kejahatan tetaplah kejahatan meski ada alasan baik untuk
itu. Tangan kotor adalah immoral. Tiada dilema di dalamnya. Para politikus
deontologis akan mempertahankan asas kaku ini sampai mati. Para politikus
kawakan akan mencibir mereka sebagai naif dan tak tahu politik. Bukti yang bisa
dibawa adalah orang seperti Oskar Schindler yang telah menunaikan tanggung
jawab moralnya dengan menyelamatkan seribu orang Yahudi lebih dengan sogok dan
dusta. Keberatan ini beralasan, tapi tak bisa digeneralisasi karena etika
deontologi menjadi dilematis hanya dalam ”keadaan luar biasa”. Di dalam
demokrasi yang dicemari politik uang, pendirian deontologis tetap merupakan
wujud integritas moral yang tinggi.
Kedua
pertimbangan sebelumnya tidak bisa dimutlakkan, maka pertimbangan
ketiga—disebut pluralisme nilai—akan mengatakan bahwa di dalam politik ada
banyak nilai yang membuat tangan kotor tidak bisa dinilai dengan satu skema
nilai, entah manfaat atau integritas saja. Politikus dengan tujuan baik
sekalipun akan terdesak untuk memakai sarana-sarana bermasalah. Dalam Politik
als Beruf Max Weber berpendapat bahwa tidak seperti birokrat yang tunduk
pada satu kriteria administratif, seorang politikus menghadapi banyak kriteria
moral. Dalam pluralisme nilai tangan kotor paling nyata muncul sebagai dilema
moral. Namun jika pluralisme menjadi relativisme nilai, tangan kotor tidak
disadari sebagai masalah etis, tetapi masalah teknis belaka. Koruptor,
misalnya, tidak merasa ”bersalah”, tetapi merasa ”sial” karena tertangkap
tangan. Mengapa sogok selalu terjadi? Di Indonesia jawabannya bahkan tidak
ditemukan pada politik, yang agaknya masih terlalu luhur, melainkan pada nafsu
loba beyond good and evil yang dipacu gaya hidup hedonis konsumtif.
Solusi sistemis?
Tangan kotor
tidak bisa diatasi secara etis, seperti disarankan dalam ketiga pertimbangan di
atas, karena para egois itu lebih memuja nafsu daripada mematuhi kesadaran
moral. Masalah ini harus diatasi secara politis. Masyarakat modern memberi
sebuah solusi sistemis dengan model hukum atau model pasar. Solusi Thomas
Hobbes dalam Leviathan adalah contoh model hukum: jika tangan kotor
ada di mana-mana, buatlah sebuah ”aturan main” yang memaksa tangan-tangan kotor
saling membatasi sedemikian rupa sehingga berpolitik dengan tangan kotor justru
akan merugikan kepentingan diri.
Tak seperti
model hukum yang mengandalkan otoritas negara dalam memaksakan sistem aturan
main, model pasar mengandalkan kompetisi bebas. Solusi ini diberikan Adam
Smith, penulis The Wealth of Nations:
biarlah pasar sendiri, yakni voters,
mengeliminasi partai bertangan kotor, karena mekanisme pasar mencari efisiensi.
Kecurangan adalah inefisiensi. Seperti halnya penjual buah busuk akan
kehilangan pembeli, demikian pula, partai bertangan kotor akan ditinggalkan
pemilih. Tangan-tangan kotor akan disingkirkan ”tangan-tangan tak kelihatan”.
Solusi sistemis
menyerahkan masalah tangan kotor tidak pada kesadaran moral individu, tetapi
pada ”mekanisme” hukum dan pasar. Kita tahu solusi sistemis ini adalah
penegakan hukum. Mengapa juga kurang meyakinkan? Di Indonesia solusi ini akan
menghadapi dua masalah. Pertama, oligarki-oligarki bisnis-politis masih bermain
dalam demokrasi elektoral sehingga formasi dan eksekusi aturan main pemilu
tidak bisa mewujudkan fairness dan kesetaraan yang selalu diandaikan
untuk sebuah sistem yang berfungsi baik. Kedua, figur pemimpin masih berperan
lebih besar daripada mekanisme sistemis sehingga sistem mana pun cenderung
bergantung pada ketokohan. Pemimpin korup bisa menghasilkan sistem korup.
Masalah tangan
kotor dalam pemilu tidak dapat diatasi hanya dengan ”mekanisme hukum” karena
hukum kerap direlatifkan dengan kuasa dan uang. Menyerahkan pada ”mekanisme
pasar” juga absurd karena di bawah oligarki dan kleptokrasi kompetisi tidak
pernah bebas dan setara. Sistem bukanlah obat mujarab karena sistem justru
memfasilitasi tangan kotor dan menjadi alat predatoris para bandit. Alih
generasi juga terbukti tidak memperbaiki keadaan karena buah-buah baru juga
membusuk dalam kulkas yang rusak. Sanksi keras seperti pernah disarankan Akil
Mochtar yang kini bisa terarah pada dirinya, yaitu ”pemiskinan dan memotong
salah satu jari tangan koruptor”, juga tak akan membuat jera para bandit. Yang
dibutuhkan Indonesia adalah kepemimpinan berkarakter yang berani mengganti
sistem predatoris dengan sistem baru yang mampu menghasilkan fairness dan transparansi publik.
Tidak ada cara lain untuk menghasilkan kepemimpinan seperti itu selain lewat
pemilu. Jadi, waspadailah tangan-tangan kotor pemilu mulai dari hulu sampai
hilir prosesnya atau para bandit tetap bercokol dalam sistem yang melayani
mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar