Kamis, 10 Oktober 2013

Tangan-tangan Kotor

Tangan-tangan Kotor
F Budi Hardiman  Pengajar Filsafat Politik di STF Driyarkara
KOMPAS, 10 Oktober 2013


BOLEHKAH melakukan sogok, intimidasi, atau manipulasi dalam pemilu? Kita semua tahu, jawabannya adalah TIDAK, karena hal-hal itu tidak bermoral (immoral). Namun, mengapa praktik-praktik itu selalu saja terjadi?

Baru saja Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan ketua Mahkamah Konstitusi untuk kasus macam itu. Dapat dipastikan, Pemilu 2014 juga tak akan bersih dari politik uang. Jawabannya harus dicari bukan pada moralitas, melainkan pada politik. Di sana kita temukan sebuah paradoks kuno: apa yang tidak dapat dibenarkan oleh moral kerap kali dibenarkan oleh politik. Paradoks itu sudah ada dalam buku Plato The Republic sebagai ”dusta putih” dan buku Machiavelli The Prince sebagai ”tujuan membenarkan cara”. Di dalam etika politik kontemporer hal itu didiskusikan kembali di bawah istilah ”masalah tangan kotor” oleh John M Parrish dalam bukunya, Paradoxes of Political Ethics (2007).
Argumentasinya akan saya pakai di sini untuk menerangi politik uang sebagai masalah etis-politis. Parrish menjelaskan paradoks itu sebagai ”konflik dua tanggung jawab”. Tanggung jawab politis seorang politikus partai adalah memenangkan partainya, tetapi tanggung jawab moralnya adalah memenangkan dengan tangan bersih. Padahal dalam politik, tangan kotor ada di mana-mana, maka politikus justru merasa immoral jika tidak memenangkan partainya dengan tangan kotor juga.
Urgensi tentu dapat menghadapkan politikus pada dilema moral. Seorang presiden yang harus memilih antara memerintah aparatnya untuk menyiksa seorang teroris agar rencana pengeboman dapat dibongkar atau tidak memerintahkan hal itu sama sekali menghadapi dilema moral: jika perintah itu diberikan, dia salah, dan jika tidak diberikan, dia salah juga. Ada ”residu moral” setelah pilihan diambil. Kasus politik uang kehilangan faktor urgensi itu, tetapi tentu saja seorang politikus tidak akan kehabisan dalih untuk membenarkan tindakannya.
Tiga macam pertimbangan
Pertimbangan pertama, utilitarianisme, berkecamuk di kepala banyak politikus. Mereka berkeyakinan bahwa politik uang memang bukan hal terpuji, tapi cara itu perlu dilakukan agar mayoritas orang akan mendapat manfaat dari kemenangan partainya. The greatest happiness of the greatest number, begitu dalilnya. Idealisme demokrasi adalah kebahagiaan bagi semua, tetapi realisme demokrasi adalah kebahagiaan bagi sebagian, maka para politikus yang merasa dapat membahagiakan sebagian besar dapat mengira telah mendekati idealisme itu. Bagi mereka tangan kotor bukanlah masalah dilematis.
Pertimbangan kedua, etika deontologi, kerap dikaitkan dengan integritas moral. Kecurangan adalah kejahatan dan kejahatan tetaplah kejahatan meski ada alasan baik untuk itu. Tangan kotor adalah immoral. Tiada dilema di dalamnya. Para politikus deontologis akan mempertahankan asas kaku ini sampai mati. Para politikus kawakan akan mencibir mereka sebagai naif dan tak tahu politik. Bukti yang bisa dibawa adalah orang seperti Oskar Schindler yang telah menunaikan tanggung jawab moralnya dengan menyelamatkan seribu orang Yahudi lebih dengan sogok dan dusta. Keberatan ini beralasan, tapi tak bisa digeneralisasi karena etika deontologi menjadi dilematis hanya dalam ”keadaan luar biasa”. Di dalam demokrasi yang dicemari politik uang, pendirian deontologis tetap merupakan wujud integritas moral yang tinggi.
Kedua pertimbangan sebelumnya tidak bisa dimutlakkan, maka pertimbangan ketiga—disebut pluralisme nilai—akan mengatakan bahwa di dalam politik ada banyak nilai yang membuat tangan kotor tidak bisa dinilai dengan satu skema nilai, entah manfaat atau integritas saja. Politikus dengan tujuan baik sekalipun akan terdesak untuk memakai sarana-sarana bermasalah. Dalam Politik als Beruf Max Weber berpendapat bahwa tidak seperti birokrat yang tunduk pada satu kriteria administratif, seorang politikus menghadapi banyak kriteria moral. Dalam pluralisme nilai tangan kotor paling nyata muncul sebagai dilema moral. Namun jika pluralisme menjadi relativisme nilai, tangan kotor tidak disadari sebagai masalah etis, tetapi masalah teknis belaka. Koruptor, misalnya, tidak merasa ”bersalah”, tetapi merasa ”sial” karena tertangkap tangan. Mengapa sogok selalu terjadi? Di Indonesia jawabannya bahkan tidak ditemukan pada politik, yang agaknya masih terlalu luhur, melainkan pada nafsu loba beyond good and evil yang dipacu gaya hidup hedonis konsumtif.
Solusi sistemis?
Tangan kotor tidak bisa diatasi secara etis, seperti disarankan dalam ketiga pertimbangan di atas, karena para egois itu lebih memuja nafsu daripada mematuhi kesadaran moral. Masalah ini harus diatasi secara politis. Masyarakat modern memberi sebuah solusi sistemis dengan model hukum atau model pasar. Solusi Thomas Hobbes dalam Leviathan adalah contoh model hukum: jika tangan kotor ada di mana-mana, buatlah sebuah ”aturan main” yang memaksa tangan-tangan kotor saling membatasi sedemikian rupa sehingga berpolitik dengan tangan kotor justru akan merugikan kepentingan diri.
Tak seperti model hukum yang mengandalkan otoritas negara dalam memaksakan sistem aturan main, model pasar mengandalkan kompetisi bebas. Solusi ini diberikan Adam Smith, penulis The Wealth of Nations: biarlah pasar sendiri, yakni voters, mengeliminasi partai bertangan kotor, karena mekanisme pasar mencari efisiensi. Kecurangan adalah inefisiensi. Seperti halnya penjual buah busuk akan kehilangan pembeli, demikian pula, partai bertangan kotor akan ditinggalkan pemilih. Tangan-tangan kotor akan disingkirkan ”tangan-tangan tak kelihatan”.
Solusi sistemis menyerahkan masalah tangan kotor tidak pada kesadaran moral individu, tetapi pada ”mekanisme” hukum dan pasar. Kita tahu solusi sistemis ini adalah penegakan hukum. Mengapa juga kurang meyakinkan? Di Indonesia solusi ini akan menghadapi dua masalah. Pertama, oligarki-oligarki bisnis-politis masih bermain dalam demokrasi elektoral sehingga formasi dan eksekusi aturan main pemilu tidak bisa mewujudkan fairness dan kesetaraan yang selalu diandaikan untuk sebuah sistem yang berfungsi baik. Kedua, figur pemimpin masih berperan lebih besar daripada mekanisme sistemis sehingga sistem mana pun cenderung bergantung pada ketokohan. Pemimpin korup bisa menghasilkan sistem korup.
Masalah tangan kotor dalam pemilu tidak dapat diatasi hanya dengan ”mekanisme hukum” karena hukum kerap direlatifkan dengan kuasa dan uang. Menyerahkan pada ”mekanisme pasar” juga absurd karena di bawah oligarki dan kleptokrasi kompetisi tidak pernah bebas dan setara. Sistem bukanlah obat mujarab karena sistem justru memfasilitasi tangan kotor dan menjadi alat predatoris para bandit. Alih generasi juga terbukti tidak memperbaiki keadaan karena buah-buah baru juga membusuk dalam kulkas yang rusak. Sanksi keras seperti pernah disarankan Akil Mochtar yang kini bisa terarah pada dirinya, yaitu ”pemiskinan dan memotong salah satu jari tangan koruptor”, juga tak akan membuat jera para bandit. Yang dibutuhkan Indonesia adalah kepemimpinan berkarakter yang berani mengganti sistem predatoris dengan sistem baru yang mampu menghasilkan fairness dan transparansi publik. Tidak ada cara lain untuk menghasilkan kepemimpinan seperti itu selain lewat pemilu. Jadi, waspadailah tangan-tangan kotor pemilu mulai dari hulu sampai hilir prosesnya atau para bandit tetap bercokol dalam sistem yang melayani mereka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar