Minggu, 06 Oktober 2013

MK dan Reproduksi Oligarki

MK dan Reproduksi Oligarki
Umbu TW Pariangu  ;  Dosen Fisipol Undana, Kupang
MEDIA INDONESIA, 05 Oktober 2013


RAKYAT Indonesia di gemparkan operasi tangkap tangan peny idik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar (AM) pada Rabu (2/10) malam di rumah dinasnya, perumahan Widya Chandra, Jakarta Selatan. AM ditangkap bersama politisi Golkar, Chairun Nisa (CN), dan seorang pengusaha. Penangkapan AM dilakukan setelah beredar laporan akan terjadi serah terima uang terkait dengan sengketa pemilu kepala daerah (pemilu kada) Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, yang tengah disidangkan MK. Selain itu, tim KPK menangkap dua orang lainnya di sebuah hotel di Jakarta Pusat, yakni Bupati Gunung Mas, Hambit Bintih, dan seorang lagi pengusaha berinisial DH (Media Indoensia, 3/10).

MK yang merupakan anak kandung reformasi dan batu penjuru konstitusi ini akhirnya dikikis juga oleh 
`binatang' konspirasi politik-lokal. Sekian lama politik padat modal bertarung merebut panggung dan menyusupkan jaringannya ke berbagai lembaga politik maupun birokrasi, hingga akhirnya menyentuh ujung jubah MK. Bahkan sudah menjadi sinisme umum bahwa pelaksanaan pemilu kada di berbagai daerah selalu berlangsung dua putaran, putaran pertama di daerah, dan putaran terakhir di MK, yang kerap dituding penuh misteri.

Berbiaya mahal

Dugaan suap AM setidaknya menunjukkan bahwa tingkat korupsi politik kita saat ini sudah di titik mencemaskan. Bahkan mungkin sedang berada di garis kontinum reproduksi oligarki model lama (era Orde Baru) yang bertumpu pada penguasaan ekonomi oleh korporasi, lembaga politik, dan birokrasi dengan cara-cara tidak demokratis (otoriter dan represif) kepada model oligarki baru (era reformasi), dengan menggunakan cara-cara seolah `demokratis' lewat mekanisme transaksional dan politik kebijakan dalam pemilu kada (Robison dan Hadiz, 2004), menjadi sulit dibantah. Politik berbiaya mahal dalam hal dana kampanye maupun pembiayaan parpol merupakan the root of evil dari maraknya korupsi politik saat ini.

Penangkapan CN, politikus DPR dari Golkar, dalam suap MK ini juga membuktikan jaringan oligarki yang mereproduksi politik pemilu kada berbiaya mahal telah terstruktur masif dari pusat sampai daerah lewat brokerbroker politik yang ada di Senayan. Konsekuensinya, tidak saja pada ekses kemahalan biaya, tetapi juga ereksi sosial berupa pecahnya konflik horizontal. Selama 2005-2013 misalnya, konflik sosial akibat pemilu kada terjadi di 10 provinsi dengan 25 kasus (10 kasus di NTB), mengakibatkan 59 korban dan 35 korban di antaranya ada di Papua (data Kemendagri Juni 2013). Bahkan sejak 2005-Ok2 tober 2013, sebanyak 304 ket pala daerah/gubernur/wali kota/kabupaten terkena proses hukum.

Menurut Joseph A Schlesinger (1966) dalam teori ambisinya, kepentingan terbesar untuk meraih kekuasaan kerap membuat seorang politikus menafikan cara-cara yang rasional dan etis sehingga politik selalu identik dengan manipulasi, korup, dan institusion alisasi kekerasan. Ironisnya, ambisi politik itu tidak saja hadir dalam rezim monarki atau pun otoriter-monolitik yang didukung mesin partai yang hegemonik dan kaum bersenjata. Ambisi politik juga bisa dipraktikkan dalam rezim demokrasi yang mensyaratkan kepercayaan dan kebebasan yang kemudian terakumulasi menjadi potensi destruktif manakala mesin demokrasi yang dijalankan hanya menyentuh aspek rutinitas-prosedural, bukan nilai substantif politik etik yang mengabdi pada kemaslahatan.

Modal negatif

Sayangnya oleh pemerintah, kemelut itu berupaya dibedah dengan tawaran untuk mengembalikan pemilu kada ke DPRD. Sebuah pemindahan persoalan yang justru bisa menjadi bumerang bagi makna kedaulatan rakyat dan munculnya lokus korupsi baru yang lebih ganas dan terpusat.

Pemerintah seakan-akan lupa bahwa intensitas politik uang makin tak terkendali antara lain karena disokong pula oleh makin kuatnya modal sosial negatif (Alenjendro Portes, 1998). Sebuah iklim kepercayaan yang dibangun antarkelompok kepentingan untuk membatasi pergerakan siklus uang dan informasi pada kelompok terbatas.

Di kita, modal sosial destruktif itu sudah terpelihara lama sehingga tidak mengherankan jika berkembang istilah mafia badan anggaran, mafia narkoba, mafia pajak otomotif, mafia bola, mafia hukum, dan lain sebagainya yang membuat proteksi terhadap pelayanan publik terganggu.

Eksisnya modal sosial negatif ini karena difasilitasi pendidikan politik parpol yang lemah terhadap rakyat. Sportivitas dan kesadaran kritis mengontrol perilaku elite termasuk berjiwa besar ‘merayakan kekalahan’ dalam kontes pemilu kada sebagai wujud kemenangan sejati demokrasi tidak pernah ditumbuhkembangkan sebagai peradaban mulia.

Parpol lebih sibuk membangun jaringan keuntungan elektoral dengan kelompok partisan, donatur, surveyor politik demi meraih target kemenangan dan kursi pemilu. Sementara itu, rakyat lagi-lagi hanya dijadikan umpan politik narsisme politisi di panggung kampanye dan ruang pencitraan.

Di tengah wabah korupsi yang nyaris menelan semua dimensi negara, rasanya modal sosial negatif tidak hanya bisa dilawan lahirnya kekuatan sipil yang kritis. Ia membutuhkan pula pengawasan oleh instrumen hukum yang kuat dan efektif. Karena itu, lembaga-lembaga antikorupsi lokal yang ada di daerah-daerah perlu bersinergi dengan KPK untuk mendorong suatu desain sistem politik pemilu kada yang jujur, transparan, demokratis, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Dibutuhkan minimal tiga syarat untuk menjaga pemilu kada dari politik berbiaya mahal dan tindakan nondemokratis ambisiusme berkuasa. Pertama, pengaturan pembiayaan politik (political financing) yang transparan, pembatasan belanja kampanye partai, dan penguatan pengawasan hukum.

Selama ini yang diatur hanyalah batas maksimal sumbangan terhadap kas partai, sedangkan volume pembelanjaan partai luput dari pengaturan. Padahal Pasal 7 ayat (3) Konvensi PBB mengenai Antikorupsi yang diratifikasi Indonesia telah mensyaratkan perlunya transparansi dan akuntabilitas pendanaan parpol. Karenanya Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah yang sedang dibahas di DPR harus menjadi pintu masuk mengatur pola pembatasan belanja kampanye para kandidat.

Kedua, diperlukan pula institusi KPUD dan pengawas pemilu kada yang beranggotakan figur-figur yang menjunjung tinggi integritas dan profesionalisme, sehingga mampu menelurkan keputusan yang jujur dan akuntabel.

Gaji yang minim di tengah otoritas yang besar tidak boleh membuat KPUD gelap mata untuk seenaknya menerima uang sogokan terutama dari calon petahana atau pengusaha yang amat mungkin bersumber dari dana gelap.

Ketiga, bagaimanapun edukasi politik kepada publik sangat diperlukan sebagai investasi untuk membangun modal sosial positif di kalangan rakyat dalam mengaktualisasi hak dan kepentingan politiknya secara matang dan demokratis.

Dengan begitu, kehidupan politik lokal kita diharapkan akan semakin dekat kepada jiwa dan batin rakyat, bukan kepada makhluk bernama oligarki dan kapital yang merusak pembangunan demokrasi di Tanah Air. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar