|
RAKYAT
Indonesia di gemparkan operasi tangkap tangan peny idik Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar (AM) pada
Rabu (2/10) malam di rumah dinasnya, perumahan Widya Chandra, Jakarta Selatan.
AM ditangkap bersama politisi Golkar, Chairun Nisa (CN), dan seorang pengusaha.
Penangkapan AM dilakukan setelah beredar laporan akan terjadi serah terima uang
terkait dengan sengketa pemilu kepala daerah (pemilu kada) Kabupaten Gunung
Mas, Kalimantan Tengah, yang tengah disidangkan MK. Selain itu, tim KPK
menangkap dua orang lainnya di sebuah hotel di Jakarta Pusat, yakni Bupati
Gunung Mas, Hambit Bintih, dan seorang lagi pengusaha berinisial DH (Media
Indoensia, 3/10).
MK yang merupakan anak kandung
reformasi dan batu penjuru konstitusi ini akhirnya dikikis juga oleh
`binatang'
konspirasi politik-lokal. Sekian lama politik padat modal bertarung merebut
panggung dan menyusupkan jaringannya ke berbagai lembaga politik maupun
birokrasi, hingga akhirnya menyentuh ujung jubah MK. Bahkan sudah menjadi
sinisme umum bahwa pelaksanaan pemilu kada di berbagai daerah selalu
berlangsung dua putaran, putaran pertama di daerah, dan putaran terakhir di MK,
yang kerap dituding penuh misteri.
Berbiaya mahal
Dugaan suap AM setidaknya
menunjukkan bahwa tingkat korupsi politik kita saat ini sudah di titik mencemaskan.
Bahkan mungkin sedang berada di garis kontinum reproduksi oligarki model lama
(era Orde Baru) yang bertumpu pada penguasaan ekonomi oleh korporasi, lembaga
politik, dan birokrasi dengan cara-cara tidak demokratis (otoriter dan
represif) kepada model oligarki baru (era reformasi), dengan menggunakan
cara-cara seolah `demokratis' lewat mekanisme transaksional dan politik
kebijakan dalam pemilu kada (Robison dan Hadiz, 2004), menjadi sulit dibantah.
Politik berbiaya mahal dalam hal dana kampanye maupun pembiayaan parpol
merupakan the root of evil dari maraknya korupsi politik saat ini.
Penangkapan CN, politikus DPR dari
Golkar, dalam suap MK ini juga membuktikan jaringan oligarki yang mereproduksi
politik pemilu kada berbiaya mahal telah terstruktur masif dari pusat sampai
daerah lewat brokerbroker politik yang ada di Senayan. Konsekuensinya, tidak
saja pada ekses kemahalan biaya, tetapi juga ereksi sosial berupa pecahnya
konflik horizontal. Selama 2005-2013 misalnya, konflik sosial akibat pemilu kada
terjadi di 10 provinsi dengan 25 kasus (10 kasus di NTB), mengakibatkan 59
korban dan 35 korban di antaranya ada di Papua (data Kemendagri Juni 2013).
Bahkan sejak 2005-Ok2 tober 2013, sebanyak 304 ket pala daerah/gubernur/wali
kota/kabupaten terkena proses hukum.
Menurut Joseph A Schlesinger
(1966) dalam teori ambisinya, kepentingan terbesar untuk meraih kekuasaan kerap
membuat seorang politikus menafikan cara-cara yang rasional dan etis sehingga
politik selalu identik dengan manipulasi, korup, dan institusion alisasi
kekerasan. Ironisnya, ambisi politik itu tidak saja hadir dalam rezim monarki
atau pun otoriter-monolitik yang didukung mesin partai yang hegemonik dan kaum
bersenjata. Ambisi politik juga bisa dipraktikkan dalam rezim demokrasi yang
mensyaratkan kepercayaan dan kebebasan yang kemudian terakumulasi menjadi
potensi destruktif manakala mesin demokrasi yang dijalankan hanya menyentuh
aspek rutinitas-prosedural, bukan nilai substantif politik etik yang mengabdi
pada kemaslahatan.
Modal negatif
Sayangnya oleh pemerintah, kemelut
itu berupaya dibedah dengan tawaran untuk mengembalikan pemilu kada ke DPRD. Sebuah
pemindahan persoalan yang justru bisa menjadi bumerang bagi makna kedaulatan
rakyat dan munculnya lokus korupsi baru yang lebih ganas dan terpusat.
Pemerintah seakan-akan lupa bahwa
intensitas politik uang makin tak terkendali antara lain karena disokong pula
oleh makin kuatnya modal sosial negatif (Alenjendro
Portes, 1998). Sebuah iklim kepercayaan yang dibangun antarkelompok
kepentingan untuk membatasi pergerakan siklus uang dan informasi pada kelompok
terbatas.
Di kita, modal sosial destruktif
itu sudah terpelihara lama sehingga tidak mengherankan jika berkembang istilah
mafia badan anggaran, mafia narkoba, mafia pajak otomotif, mafia bola, mafia
hukum, dan lain sebagainya yang membuat proteksi terhadap pelayanan publik
terganggu.
Eksisnya modal sosial negatif ini
karena difasilitasi pendidikan politik parpol yang lemah terhadap rakyat.
Sportivitas dan kesadaran kritis mengontrol perilaku elite termasuk berjiwa
besar ‘merayakan kekalahan’ dalam kontes pemilu kada sebagai wujud kemenangan
sejati demokrasi tidak pernah ditumbuhkembangkan sebagai peradaban mulia.
Parpol lebih sibuk membangun
jaringan keuntungan elektoral dengan kelompok partisan, donatur, surveyor
politik demi meraih target kemenangan dan kursi pemilu. Sementara itu, rakyat
lagi-lagi hanya dijadikan umpan politik narsisme politisi di panggung kampanye
dan ruang pencitraan.
Di tengah wabah korupsi yang
nyaris menelan semua dimensi negara, rasanya modal sosial negatif tidak hanya
bisa dilawan lahirnya kekuatan sipil yang kritis. Ia membutuhkan pula
pengawasan oleh instrumen hukum yang kuat dan efektif. Karena itu,
lembaga-lembaga antikorupsi lokal yang ada di daerah-daerah perlu bersinergi
dengan KPK untuk mendorong suatu desain sistem politik pemilu kada yang jujur,
transparan, demokratis, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Dibutuhkan minimal tiga syarat
untuk menjaga pemilu kada dari politik berbiaya mahal dan tindakan nondemokratis
ambisiusme berkuasa. Pertama, pengaturan pembiayaan politik (political financing) yang transparan,
pembatasan belanja kampanye partai, dan penguatan pengawasan hukum.
Selama ini yang diatur hanyalah
batas maksimal sumbangan terhadap kas partai, sedangkan volume pembelanjaan
partai luput dari pengaturan. Padahal Pasal 7 ayat (3) Konvensi PBB mengenai
Antikorupsi yang diratifikasi Indonesia telah mensyaratkan perlunya
transparansi dan akuntabilitas pendanaan parpol. Karenanya Rancangan Undang-Undang
Pemilihan Umum Kepala Daerah yang sedang dibahas di DPR harus menjadi pintu
masuk mengatur pola pembatasan belanja kampanye para kandidat.
Kedua, diperlukan pula institusi
KPUD dan pengawas pemilu kada yang beranggotakan figur-figur yang menjunjung tinggi
integritas dan profesionalisme, sehingga mampu menelurkan keputusan yang jujur
dan akuntabel.
Gaji yang minim di tengah otoritas
yang besar tidak boleh membuat KPUD gelap mata untuk seenaknya menerima uang
sogokan terutama dari calon petahana atau pengusaha yang amat mungkin bersumber
dari dana gelap.
Ketiga, bagaimanapun edukasi
politik kepada publik sangat diperlukan sebagai investasi untuk membangun modal
sosial positif di kalangan rakyat dalam mengaktualisasi hak dan kepentingan
politiknya secara matang dan demokratis.
Dengan begitu, kehidupan politik
lokal kita diharapkan akan semakin dekat kepada jiwa dan batin rakyat, bukan
kepada makhluk bernama oligarki dan kapital yang merusak pembangunan demokrasi
di Tanah Air. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar