|
KETIKA orang banyak menghujat problematik kebijakan
pemerintah menyoal mobil murah, penulis malah sebaliknya memahami sepenuhnya
kedudukan sulit pemerintah dalam mengambil keputusan apalagi melihat kenyataan
yang ada.
Dari penelitian analisis isi (content analysis) atau biasa disebut monitoring media massa secara
kuantitatif oleh penulis, akan didapatkan hasil yang cukup mengejutkan. Guna
mempermudah penelitian digunakan mesin perawak (search engine) di jejaring internet dengan kata kunci BBM dan otomotif
di Indonesia. Dari hasil riset itu ditemukan sekitar 3.740.000 berita di laman
internet yang membicarakan kata kunci itu. Setelah disunting dan dipilah
didapat hanya 100 berita yang bisa diolah secara rigit (Budi Luhur, 2013).
Temuan menarik yang ada menyebutkan bahwa tidak ada
kesamaan (sinkron) antara pilihan isu dunia industri otomotif dan pemerintah
berkaitan dengan pemberitaan BBM (bahan bakar minyak). Semua pilihan isu
industri otomotif adalah hemat bahan bakar yang bisa menggunakan premium pada
produk barunya. Padahal pemerintah melarang penggunaan premium bagi kendaraan
mewah.
Pilihan isu ini semakin melemahkan pembenaran orang untuk
mau membatasi penggunaan BBM bersubsidi. Di sinilah permasalahan utama
mandeknya sosialisasi pemberitaan antipenggunaan BBM bersubsidi. Kesimpulan
yang bisa ditarik dari hasil temuan riset itu adalah sosialisasi kampanye
pemerintah untuk hemat BBM kepada masyarakat berbenturan dengan promosi
penjualan mobil murah berbahan bakar hemat oleh pelaku industri otomotif. Dari
kuantitas jumlah pemberitaan saja terlihat cukup signifi kan, bahwa pemerintah
kewalahan dalam menandingi dan menyamai promosi yang dilakukan industri
otomotif.
Pelangsiran isu
Intinya ialah pemerintah jelas sudah kalah dalam perang isu
di dalam media massa dengan pelaku industri otomotif. Klaim-klaim pemerintah
dimentahkan dan agenda media tentang pemberitaan sudah diarahkan kepada
peluncuran produk baru otomotif sebagai upaya melawan dan mengalihkan isu ramah
lingkungan, yaitu keberadaan kendaraan ramah lingkungan.
Pilihan isu tentang hemat energi dan penghematan ekonomis
`dipelintirkan' dengan isu ramah lingkungan dan digulirkan pada keberadaan
kendaraan murah ramah lingkungan atau kendaraan hijau yang saat itu dikaitkan
dengan kendaraan listrik. Keandalan media massa yang menginformasikan berulang
kali soal itu menyebabkan orang makin penasaran dan rindu dengan kehadiran
produk tersebut di pasaran. Bukti nyatanya adalah begitu tingginya permintaan
dan animo calon konsumen akan produk ini. Itu terlihat dengan selalu laku dan
panjangnya calon pembeli kendaraan tersebut.
Masyarakat sebagai konsumen otomotif seolah sudah larut
dalam kebutuhan semu yang diciptakan pelaku industri dan melupakan isu-isu
tandingan dari pemerintah.
Kemenangan itu semakin ditunjukkan dengan dikeluarkannya
kebijakan pemerintah tentang mobil murah yang marak dibicarakan saat ini. Seolah-olah
keluarnya kebijakan itu merupakan bentuk `pembaiatan diri' bahwa pemerintah
mengakui kalah dalam perang pesan dan isu dengan pelaku industri dalam
melangsir isu-isu otomotif di ranah publik media massa.
Kalah di publik
Satu yang harus diakui, bahwa pemerintah tidak kuasa untuk
menyaingi perang isu yang ada dalam ranah publik. Artinya bahwa ranah publik
sudah telanjur dikuasai dan pemerintah harus tunduk karena memang sudah
dibungkam pelaku industri otomotif. Penulis akui bahwa kondisi ini dalam
tataran ekonomi politik sudah mengglobal. Kondisi mengglobal ini menjadi perhatian
penting dan kebanyakan orang enggan membicarakan ini karena lawan mereka adalah
raksasa industri otomotif yang sedemikian kuat dan berdaya dalam melansir
isu-isu dalam tataran internasional.
Pergerakan yang sangat halus dan pengarahan taktis tentu tidak
akan kentara. Belum lagi sosialisasi langsung melalui komunitas dan kelompok
yang menjadi daya dukung dalam pelangsiran isu guna menguasai ranah publik. Ketika
di tingkat kelompok masyarakat sudah berkembang dan membicarakan isu tersebut,
sangatlah sulit bagi orang mengarahkan ke isu tertentu yang diinginkan.
Demikian kira-kira hukum teori spiral keheningan (spiral of silence) dari Noelle-Neumann (1984).
Alhasil, sudah dapat diprediksi bahwa sulit bagi pemerintah
untuk bisa menembus dan mengalahkan isu yang digelontorkan media massa dalam
konteks global. Ranah publik, yang menurut Jurgen Habermas, adalah sebuah ruang
ketika orang bisa bebas mengeluarkan pendapat dan idenya dengan tidak ada
tekanan dan paksaan dari pihak lain. Ranah publik yang mengambil konsepsi ruang
dari kafe-kafe di Jerman dahulu, saat orang bisa melakukan apa saja di sana
tanpa ada pembatasan dan terdikotomi oleh jas dan pakaian yang mereka miliki (Prisgunanto, 2004).
Bila merunut sejarah, jelas ranah publik ini dapat
dianalogikan dengan konsepsi das republik yang ada pada masyarakat Yunani kuno
dalam konsep negara. Diakui bahwa pada masyarakat modern konsep ranah publik
bergeser, dari yang tadinya adalah ruang bebas sesungguhnya seperti warung kopi
yang bisa membicarakan apa saja kepada pemberitaan pers dan media elektronik.
Analogi mudahnya ialah penguasaan pers sama juga dengan
penguasaan ranah publik, yang berarti kemenangan mengarahkan dan menggulirkan
sebuah isu. Penguasaan pemberitaan pers akan mengarah ke pembenaran (reinforce) pada fenomena apa yang akan
dibicarakan. Sedemikian kira-kira bila menggunakan mazhab pers perspektif makro
dalam kajian komunikasi massa (Boyd-Barret
dan Newbold, 1996). Media massa akan menerpa masyarakat dalam tataran
budaya atau pola pikir mereka yang kemudian akan mengarah ke perilaku dan sikap
seharihari. Oleh sebab itu, pers dan media massa dianggap sangat berdaya
mengarahkan dan menuntun orang untuk melakukan sesuatu melalui praktik
provokasi dan agitasi.
Dari sinilah dapat dipahami mengapa pemerintah begitu lemah
dalam menanggapi serangan industri otomotif global. Ranah publik sudah dikuasai
dan pemahaman masyarakat akan kepemilikan kendaraan sudah bergeser menjadi
sebuah status sosial, bukan menyoal keperluan. Ketika orang berbicara
kendaraan, yang ada di benak mereka adalah gengsi.
Kondisi sedemikian seharusnya menyadarkan dan menjadi
pekerjaan rumah pemerintah bahwa masyarakat perlu melek media massa, dan
kekhawatiran akan dikuasainya isu-isu lain serupa di ranah publik yang masih
bisa dimungkinkan. Atau apakah memang pemerintah masa bodoh dan tidak peduli
dengan penguasaan ranah publik ini? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar