Minggu, 06 Oktober 2013

Isu Hemat Energi Vs Industri Mobil

Isu Hemat Energi Vs Industri Mobil
Ilham Prisgunanto  ;  Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Komunikasi
Program Pascasarjana Universitas Budi Luhur
MEDIA INDONESIA, 05 Oktober 2013


KETIKA orang banyak menghujat problematik kebijakan pemerintah menyoal mobil murah, penulis malah sebaliknya memahami sepenuhnya kedudukan sulit pemerintah dalam mengambil keputusan apalagi melihat kenyataan yang ada.

Dari penelitian analisis isi (content analysis) atau biasa disebut monitoring media massa secara kuantitatif oleh penulis, akan didapatkan hasil yang cukup mengejutkan. Guna mempermudah penelitian digunakan mesin perawak (search engine) di jejaring internet dengan kata kunci BBM dan otomotif di Indonesia. Dari hasil riset itu ditemukan sekitar 3.740.000 berita di laman internet yang membicarakan kata kunci itu. Setelah disunting dan dipilah didapat hanya 100 berita yang bisa diolah secara rigit (Budi Luhur, 2013).

Temuan menarik yang ada menyebutkan bahwa tidak ada kesamaan (sinkron) antara pilihan isu dunia industri otomotif dan pemerintah berkaitan dengan pemberitaan BBM (bahan bakar minyak). Semua pilihan isu industri otomotif adalah hemat bahan bakar yang bisa menggunakan premium pada produk barunya. Padahal pemerintah melarang penggunaan premium bagi kendaraan mewah.

Pilihan isu ini semakin melemahkan pembenaran orang untuk mau membatasi penggunaan BBM bersubsidi. Di sinilah permasalahan utama mandeknya sosialisasi pemberitaan antipenggunaan BBM bersubsidi. Kesimpulan yang bisa ditarik dari hasil temuan riset itu adalah sosialisasi kampanye pemerintah untuk hemat BBM kepada masyarakat berbenturan dengan promosi penjualan mobil murah berbahan bakar hemat oleh pelaku industri otomotif. Dari kuantitas jumlah pemberitaan saja terlihat cukup signifi kan, bahwa pemerintah kewalahan dalam menandingi dan menyamai promosi yang dilakukan industri otomotif.

Pelangsiran isu

Intinya ialah pemerintah jelas sudah kalah dalam perang isu di dalam media massa dengan pelaku industri otomotif. Klaim-klaim pemerintah dimentahkan dan agenda media tentang pemberitaan sudah diarahkan kepada peluncuran produk baru otomotif sebagai upaya melawan dan mengalihkan isu ramah lingkungan, yaitu keberadaan kendaraan ramah lingkungan.

Pilihan isu tentang hemat energi dan penghematan ekonomis `dipelintirkan' dengan isu ramah lingkungan dan digulirkan pada keberadaan kendaraan murah ramah lingkungan atau kendaraan hijau yang saat itu dikaitkan dengan kendaraan listrik. Keandalan media massa yang menginformasikan berulang kali soal itu menyebabkan orang makin penasaran dan rindu dengan kehadiran produk tersebut di pasaran. Bukti nyatanya adalah begitu tingginya permintaan dan animo calon konsumen akan produk ini. Itu terlihat dengan selalu laku dan panjangnya calon pembeli kendaraan tersebut.

Masyarakat sebagai konsumen otomotif seolah sudah larut dalam kebutuhan semu yang diciptakan pelaku industri dan melupakan isu-isu tandingan dari pemerintah.

Kemenangan itu semakin ditunjukkan dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah tentang mobil murah yang marak dibicarakan saat ini. Seolah-olah keluarnya kebijakan itu merupakan bentuk `pembaiatan diri' bahwa pemerintah mengakui kalah dalam perang pesan dan isu dengan pelaku industri dalam melangsir isu-isu otomotif di ranah publik media massa.

Kalah di publik

Satu yang harus diakui, bahwa pemerintah tidak kuasa untuk menyaingi perang isu yang ada dalam ranah publik. Artinya bahwa ranah publik sudah telanjur dikuasai dan pemerintah harus tunduk karena memang sudah dibungkam pelaku industri otomotif. Penulis akui bahwa kondisi ini dalam tataran ekonomi politik sudah mengglobal. Kondisi mengglobal ini menjadi perhatian penting dan kebanyakan orang enggan membicarakan ini karena lawan mereka adalah raksasa industri otomotif yang sedemikian kuat dan berdaya dalam melansir isu-isu dalam tataran internasional.

Pergerakan yang sangat halus dan pengarahan taktis tentu tidak akan kentara. Belum lagi sosialisasi langsung melalui komunitas dan kelompok yang menjadi daya dukung dalam pelangsiran isu guna menguasai ranah publik. Ketika di tingkat kelompok masyarakat sudah berkembang dan membicarakan isu tersebut, sangatlah sulit bagi orang mengarahkan ke isu tertentu yang diinginkan. Demikian kira-kira hukum teori spiral keheningan (spiral of silence) dari Noelle-Neumann (1984).

Alhasil, sudah dapat diprediksi bahwa sulit bagi pemerintah untuk bisa menembus dan mengalahkan isu yang digelontorkan media massa dalam konteks global. Ranah publik, yang menurut Jurgen Habermas, adalah sebuah ruang ketika orang bisa bebas mengeluarkan pendapat dan idenya dengan tidak ada tekanan dan paksaan dari pihak lain. Ranah publik yang mengambil konsepsi ruang dari kafe-kafe di Jerman dahulu, saat orang bisa melakukan apa saja di sana tanpa ada pembatasan dan terdikotomi oleh jas dan pakaian yang mereka miliki (Prisgunanto, 2004).

Bila merunut sejarah, jelas ranah publik ini dapat dianalogikan dengan konsepsi das republik yang ada pada masyarakat Yunani kuno dalam konsep negara. Diakui bahwa pada masyarakat modern konsep ranah publik bergeser, dari yang tadinya adalah ruang bebas sesungguhnya seperti warung kopi yang bisa membicarakan apa saja kepada pemberitaan pers dan media elektronik.

Analogi mudahnya ialah penguasaan pers sama juga dengan penguasaan ranah publik, yang berarti kemenangan mengarahkan dan menggulirkan sebuah isu. Penguasaan pemberitaan pers akan mengarah ke pembenaran (reinforce) pada fenomena apa yang akan dibicarakan. Sedemikian kira-kira bila menggunakan mazhab pers perspektif makro dalam kajian komunikasi massa (Boyd-Barret dan Newbold, 1996). Media massa akan menerpa masyarakat dalam tataran budaya atau pola pikir mereka yang kemudian akan mengarah ke perilaku dan sikap seharihari. Oleh sebab itu, pers dan media massa dianggap sangat berdaya mengarahkan dan menuntun orang untuk melakukan sesuatu melalui praktik provokasi dan agitasi.

Dari sinilah dapat dipahami mengapa pemerintah begitu lemah dalam menanggapi serangan industri otomotif global. Ranah publik sudah dikuasai dan pemahaman masyarakat akan kepemilikan kendaraan sudah bergeser menjadi sebuah status sosial, bukan menyoal keperluan. Ketika orang berbicara kendaraan, yang ada di benak mereka adalah gengsi.

Kondisi sedemikian seharusnya menyadarkan dan menjadi pekerjaan rumah pemerintah bahwa masyarakat perlu melek media massa, dan kekhawatiran akan dikuasainya isu-isu lain serupa di ranah publik yang masih bisa dimungkinkan. Atau apakah memang pemerintah masa bodoh dan tidak peduli dengan penguasaan ranah publik ini? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar