|
Perhimpunan Pelajar Indonesia
(PPI), begitulah nama generik organisasi pelajar Indonesia di luar negeri. Ada
yang menilai PPI sebagai embrio harapan masa depan Indonesia, ada pula yang
mengkritisi sebagai kumpulan generasi muda Indonesia yang terlalu nyaman
tinggal di luar negeri dan enggan pulang. Bahkan ada yang melihat PPI sebagai
momok untuk pejabat pemerintah yang melakukan kunjungan ke luar negeri. Apa pun
kata orang, buat saya PPI adalah sebuah kawah candradimuka para pejuang
perubahan Indonesia.
Sejak sebelum kemerdekaan 1945, pergerakan pelajar di luar negeri telah menjadi salah satu kekuatan penting dalam manuver politik serta mengkampanyekan Indonesia sebagai negara yang berhak memiliki kedaulatan. Bermula di Belanda sejak 1908, Indische Vereniging atau Perhimpunan Hindia didirikan sebagai sebuah wadah perlawanan terhadap kolonialisme Barat yang berkepanjangan.
Gerakan perlawanan bersifat intelektual, begitulah pola gerakan yang dibangun, melalui kajian mendalam, tulisan yang tajam, kampanye terbuka, serta lobi di forum terkemuka. Ragam gerakan ini bertemu dengan potensi terbaik Indonesia yang pernah mencicipi pendidikan kelas dunia di negara Barat. Sebutlah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Achmad Subardjo, dan Ali Sastroamidjojo; nama-nama besar ini telah melakukan berbagai perlawanan intelektual yang membuat dunia semakin sadar akan keberadaan Indonesia dan peduli akan bahaya sistemik kolonialisme terhadap perdamaian dunia.
Perlawanan yang dilakukan oleh pelajar Indonesia kala itu bukanlah sekedar melawan ‘Belanda’, lebih besar dari itu, mereka melawan pengekangan intelektual, penjajahan sumber daya, penindasan kemanusiaan dan perampasan kedaulatan.
Bila merujuk pada apa yang telah dilakukan oleh pendahulu ‘PPI’, setidaknya ada 3 karakter dari perjuangan mereka, yaitu intelek, ekspresif, dan bebas. Intelek dalam artian segala aktivitas dibangun dengan fondasi pemikiran yang mendalam, bukan sekadar emosional. Ekspresif dalam makna kreatifuntuk mengungkap kebenarandengan memanfaatkan beragam media. Bebas dalam pengertian tidak ada kooptasi kepentingan tertentu, murni sebuah dedikasi untuk negeri.
Sudahkan PPI menjadikan tiga karakter ini melekat dalam pengembangan organisasinya?‘PPI’ dulu telah membuat sejarahnya sendiri, Indonesia merdeka adalah hasil nyata dari perjuangan tersebut. Pertanyaan yang muncul kini adalah, apa yang bisa diperbuat oleh PPI saat ini untuk Indonesia? Apakah dengan berbicara keras di depan kamera mengecam wakil rakyat atau menghabiskan ratusan juta rupiah untuk sekadar pertemuan seremoni merupakan suatu bentuk kontribusi nyata untuk Indonesia?
Mungkin akan banyak perbedaan pendapat dalam menilai hal ini, tetapi jawaban saya adalah ‘tidak’. Saya melihat setidaknya ada 3 pola gerakan yang bisa dilakukan oleh PPI untuk Indonesia saat ini, yaitu Gerakan Politik Moral, Gerakan Narasi Intelektual, dan Gerakan Diplomasi Sosial budaya.
Sejak sebelum kemerdekaan 1945, pergerakan pelajar di luar negeri telah menjadi salah satu kekuatan penting dalam manuver politik serta mengkampanyekan Indonesia sebagai negara yang berhak memiliki kedaulatan. Bermula di Belanda sejak 1908, Indische Vereniging atau Perhimpunan Hindia didirikan sebagai sebuah wadah perlawanan terhadap kolonialisme Barat yang berkepanjangan.
Gerakan perlawanan bersifat intelektual, begitulah pola gerakan yang dibangun, melalui kajian mendalam, tulisan yang tajam, kampanye terbuka, serta lobi di forum terkemuka. Ragam gerakan ini bertemu dengan potensi terbaik Indonesia yang pernah mencicipi pendidikan kelas dunia di negara Barat. Sebutlah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Achmad Subardjo, dan Ali Sastroamidjojo; nama-nama besar ini telah melakukan berbagai perlawanan intelektual yang membuat dunia semakin sadar akan keberadaan Indonesia dan peduli akan bahaya sistemik kolonialisme terhadap perdamaian dunia.
Perlawanan yang dilakukan oleh pelajar Indonesia kala itu bukanlah sekedar melawan ‘Belanda’, lebih besar dari itu, mereka melawan pengekangan intelektual, penjajahan sumber daya, penindasan kemanusiaan dan perampasan kedaulatan.
Bila merujuk pada apa yang telah dilakukan oleh pendahulu ‘PPI’, setidaknya ada 3 karakter dari perjuangan mereka, yaitu intelek, ekspresif, dan bebas. Intelek dalam artian segala aktivitas dibangun dengan fondasi pemikiran yang mendalam, bukan sekadar emosional. Ekspresif dalam makna kreatifuntuk mengungkap kebenarandengan memanfaatkan beragam media. Bebas dalam pengertian tidak ada kooptasi kepentingan tertentu, murni sebuah dedikasi untuk negeri.
Sudahkan PPI menjadikan tiga karakter ini melekat dalam pengembangan organisasinya?‘PPI’ dulu telah membuat sejarahnya sendiri, Indonesia merdeka adalah hasil nyata dari perjuangan tersebut. Pertanyaan yang muncul kini adalah, apa yang bisa diperbuat oleh PPI saat ini untuk Indonesia? Apakah dengan berbicara keras di depan kamera mengecam wakil rakyat atau menghabiskan ratusan juta rupiah untuk sekadar pertemuan seremoni merupakan suatu bentuk kontribusi nyata untuk Indonesia?
Mungkin akan banyak perbedaan pendapat dalam menilai hal ini, tetapi jawaban saya adalah ‘tidak’. Saya melihat setidaknya ada 3 pola gerakan yang bisa dilakukan oleh PPI untuk Indonesia saat ini, yaitu Gerakan Politik Moral, Gerakan Narasi Intelektual, dan Gerakan Diplomasi Sosial budaya.
Gerakan Politik Moral
Gerakan politik merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivitas PPI. Sejarah banyak mencatat bagaimana peran PPI dalam dinamika politik Indonesia bahkan dari era sebelum kemerdekaan. Apa yang dilakukan Bung Hatta dan kawan-kawannya adalah bagian dari manuver politik di tingkat internasional, dan PPI juga pernah menjadi aktor ulung dalam menyuarakan kritikan dan sikapnya akan dinamika pemerintahan Indonesia.
Politik dalam aktivitas PPI bukanlah politik praktis yang rentan terkooptasi oleh kepentingan tertentu, melainkan politik moral, yaitu politik yang berlandaskan sebuah tanggung jawab sosial kepada rakyat Indonesia. PPI menyampaikan argumen politiknya dengan basis apa yang dibutuhkan oleh rakyat, bukan apa yang diinginkan olehtransaksi politik.
Politik moral ini adalah buah dari eratnya intelektualitas dan integritas seorang pelajar, seperti dua sisi koin yang merupakan prasyarat nilai seorang pelajar paripurna. Pelajar berpolitik dalam rangka mengingatkan pemimpin, mencerdaskan masyarakat, dan berperan dalam membangun kontribusi berkualitas. Berpolitik moral tidak perlu masuk ke arena politiknya, tetapi ia cukup berada di pinggir hingga cukup dekat untuk memberikan desakan, dan cukup memiliki ruang dalam menghimpun aspirasi rakyat.
Banyak juga yang mungkin mempertanyakan apakah pelajar masih memiliki posisi sebagai penyambung lidah rakyat. Dengan kebebasan berekspresi dan mudahnya akses jejaring dunia maya, rakyat kini memiliki banyak alternatif dalam menyalurkan pendapatnya. Peran politik strategis pelajar adalah ‘membahasakan’ pendapat tersebut dalam konteks yang bisa dipahami oleh pengambil kebijakan dalam bentuk policy paper atau rekomendasi perundangan.
Dan tak kalah penting adalah bagaimana pelajar mampu menyampaikan dan mendesak secara langsung aspirasi ini kepada pemegang kebijakan terkait. Lebih lanjut, tentunya ‘pesan’ yang diutarakan oleh pelajar memiliki bobot berbeda dan akan lebih besar gaungnya. Tentu ini semua dengan satu catatan, pelajar tersebut adalah seorang yang intelek dan berintegritas.
Gerakan Narasi Intelektual
Gerakan politik merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivitas PPI. Sejarah banyak mencatat bagaimana peran PPI dalam dinamika politik Indonesia bahkan dari era sebelum kemerdekaan. Apa yang dilakukan Bung Hatta dan kawan-kawannya adalah bagian dari manuver politik di tingkat internasional, dan PPI juga pernah menjadi aktor ulung dalam menyuarakan kritikan dan sikapnya akan dinamika pemerintahan Indonesia.
Politik dalam aktivitas PPI bukanlah politik praktis yang rentan terkooptasi oleh kepentingan tertentu, melainkan politik moral, yaitu politik yang berlandaskan sebuah tanggung jawab sosial kepada rakyat Indonesia. PPI menyampaikan argumen politiknya dengan basis apa yang dibutuhkan oleh rakyat, bukan apa yang diinginkan olehtransaksi politik.
Politik moral ini adalah buah dari eratnya intelektualitas dan integritas seorang pelajar, seperti dua sisi koin yang merupakan prasyarat nilai seorang pelajar paripurna. Pelajar berpolitik dalam rangka mengingatkan pemimpin, mencerdaskan masyarakat, dan berperan dalam membangun kontribusi berkualitas. Berpolitik moral tidak perlu masuk ke arena politiknya, tetapi ia cukup berada di pinggir hingga cukup dekat untuk memberikan desakan, dan cukup memiliki ruang dalam menghimpun aspirasi rakyat.
Banyak juga yang mungkin mempertanyakan apakah pelajar masih memiliki posisi sebagai penyambung lidah rakyat. Dengan kebebasan berekspresi dan mudahnya akses jejaring dunia maya, rakyat kini memiliki banyak alternatif dalam menyalurkan pendapatnya. Peran politik strategis pelajar adalah ‘membahasakan’ pendapat tersebut dalam konteks yang bisa dipahami oleh pengambil kebijakan dalam bentuk policy paper atau rekomendasi perundangan.
Dan tak kalah penting adalah bagaimana pelajar mampu menyampaikan dan mendesak secara langsung aspirasi ini kepada pemegang kebijakan terkait. Lebih lanjut, tentunya ‘pesan’ yang diutarakan oleh pelajar memiliki bobot berbeda dan akan lebih besar gaungnya. Tentu ini semua dengan satu catatan, pelajar tersebut adalah seorang yang intelek dan berintegritas.
Gerakan Narasi Intelektual
Percuma bila
seorang pelajar yang memiliki segudang gagasan dan ide hanya menimbun dalam
benaknya saja. Ide segar yang dibiarkan akan membusuk dan tidak berguna.
Gagasan besar yang ditunda hanya akan menjadi beban pikiran. Sudah menjadi
karakternya bahwa ide dan gagasan ini perlu diekspresikan dalam ruang-ruang
publik; baik ruang akademik maupun ruang diskusi bebas. Bentuk ekspresi narasi
intelektual ini bisa dalam beragam rupa, apakah itu artikel di surat kabar,
opini di portal pribadi atau organisasi, rekomendasi kebijakan kepada pengambil
kebijakan, dan makalah akademik dalam forum internasional.
Memang ini bukanlah hal mudah, tetapi bersama dengan gelar pelajar yang melekat, ini merupakan tanggung jawab moral yang perlu dijalankan. Sebagai seorang peneliti ilmu sosial, khususnya politik ekonomi, salah satu yang membuat saya miris adalah minimnya makalah penelitian akademik internasional dalam bidang ini yang ditulis oleh orang Indonesia. Malu rasanya bila ternyata para guru besar dan pakar yang berasal dari luar negeri justru lebih mengerti Indonesia dalam banyak hal.
Dalam beragam diskusi yang pernah saya ikuti, acapkali mereka menggurui saya tentang Indonesia. Dan dalam penelitian-penelitian yang saya lakukan, sedikit sekali tulisan dari guru besar dan pakar Indonesia yang bisa saya kutip. Mereka bukannya tidak punya temuan menarik, hanya saja masih belum dituliskan dalam bentuk paper di jurnal internasional.
Menulis adalah bagian tak terpisahkan dari kaum terpelajar. Sejak era Bung Hatta menjadi pelajar, kebiasaan inilah yang menjadikan efek bola salju narasi tentang Indonesia. Dari kumpulan kumpulan tulisan inilah yang akhirnya berbuah kemerdekaan. Bila kita menengok sejarah Indonesia, tak terhitung sudah berapa ratus tulisan yang bergulir dan terus mengkerucut hingga menjadi konsep bernegara yang utuh.
Tahun 1927, Bung Hatta menuliskan sebuah makalah berjudul ‘Vrije Indonesie’ atau Indonesia Merdeka. Saat itu, sekelompok pelajar ini berjuang dan percaya Indonesia akan merdeka. Merdeka bukan tentang urusan ya atau tidak, melainkan hanya pilihan waktu saja kapan yang tepat. Kurang dari 20 tahun sejak makalah tersebut disampaikan, Indonesia akhirnya merdeka.
Bila kita refleksikan dengan keadaan saat ini, apa yang dipikirkan dan disampaikan oleh pelajar saat ini sangat niscaya bisa menjadi kenyataan 20 atau 30 mendatang. Ide yang kita gulirkan bukanlah pilihan ya atau tidak akan terjadi, tetapi bila kita terus dorong dengan semangat memperbaiki dan pembaharuan bangsa, niscaya gagasan tersebut akan terwujud secara nyata.
Gerakan Diplomasi Sosial Budaya
Memang ini bukanlah hal mudah, tetapi bersama dengan gelar pelajar yang melekat, ini merupakan tanggung jawab moral yang perlu dijalankan. Sebagai seorang peneliti ilmu sosial, khususnya politik ekonomi, salah satu yang membuat saya miris adalah minimnya makalah penelitian akademik internasional dalam bidang ini yang ditulis oleh orang Indonesia. Malu rasanya bila ternyata para guru besar dan pakar yang berasal dari luar negeri justru lebih mengerti Indonesia dalam banyak hal.
Dalam beragam diskusi yang pernah saya ikuti, acapkali mereka menggurui saya tentang Indonesia. Dan dalam penelitian-penelitian yang saya lakukan, sedikit sekali tulisan dari guru besar dan pakar Indonesia yang bisa saya kutip. Mereka bukannya tidak punya temuan menarik, hanya saja masih belum dituliskan dalam bentuk paper di jurnal internasional.
Menulis adalah bagian tak terpisahkan dari kaum terpelajar. Sejak era Bung Hatta menjadi pelajar, kebiasaan inilah yang menjadikan efek bola salju narasi tentang Indonesia. Dari kumpulan kumpulan tulisan inilah yang akhirnya berbuah kemerdekaan. Bila kita menengok sejarah Indonesia, tak terhitung sudah berapa ratus tulisan yang bergulir dan terus mengkerucut hingga menjadi konsep bernegara yang utuh.
Tahun 1927, Bung Hatta menuliskan sebuah makalah berjudul ‘Vrije Indonesie’ atau Indonesia Merdeka. Saat itu, sekelompok pelajar ini berjuang dan percaya Indonesia akan merdeka. Merdeka bukan tentang urusan ya atau tidak, melainkan hanya pilihan waktu saja kapan yang tepat. Kurang dari 20 tahun sejak makalah tersebut disampaikan, Indonesia akhirnya merdeka.
Bila kita refleksikan dengan keadaan saat ini, apa yang dipikirkan dan disampaikan oleh pelajar saat ini sangat niscaya bisa menjadi kenyataan 20 atau 30 mendatang. Ide yang kita gulirkan bukanlah pilihan ya atau tidak akan terjadi, tetapi bila kita terus dorong dengan semangat memperbaiki dan pembaharuan bangsa, niscaya gagasan tersebut akan terwujud secara nyata.
Gerakan Diplomasi Sosial Budaya
Salah satu peran pelajar Indonesia di luar
negeri adalah sebagai diplomat Indonesia. Diplomat dalam artian aktif menjadi
wajah Indonesia dan menebarkan nilai ke-Indonesia-an. Salah satu pendekatan
diplomasi adalah melalui people to people contact. Interaksi antara manusia
adalah cara yang dinilai bisa dilakukan oleh setiap pelajar. Dimulai dengan
sikap positif di kelas, integritas saat diberikan kepercayaan, ketekunan dan
kecerdasan yang ditunjukkan di kampus, serta keramahan yang senantiasa jadi
ke-khas-an Indonesia.
Masyarakat dunia akan teringat dan berkesan dengan Indonesia apabila mereka menilai orang-orang Indonesia sendiri merupakan pribadi yang menyenangkan dan terpercaya. Selain itu, bentuk diplomasi yang bisa dilakukan adalah dengan ragam aktivitas sosial budaya yang dilakukan oleh organisasi pelajar Indonesia di luar negeri.
Kegiatan seperti festival seni budaya, pemutaran film tentang Indonesia, diskusi sosial budaya, atau dengan menggunakan batik di hari tertentu dapat menjadi opsi menarik. Apabila di setiap kota yang memiliki basis organisasi pelajar Indonesia mengadakan sebuah ‘hari Indonesia’ satu kali setiap tahunnya, maka bisa dibayangkan berapa banyak penduduk luar negeri yang bisa semakin mengenal Indonesia dengan ragam budaya dan seninya.
Soft Diplomacy adalah strategi diplomasi yang bisa diperankan oleh para pelajar Indonesia. Pendekatan manusia-ke-manusia serta aktivitas sosial budaya adalah langkah-langkah yang bisa dijalankan. Dengan pola pergerakan semacam ini, setidaknya akan bermanfaat bagi dua hal: pertama, meningkatkan kecintaan dan rasa nasionalisme pelajar Indonesia di luar negeri kepada Tanah Air Indonesia; kedua, meningkatkan nama dan nilai Indonesia di mata penduduk dunia atau dalam bahasa lain mempromosikan Indonesia.
Saya bermaksud mengakhiri tulisan ini dengan mengutip Rene de Clreq yang diucapkan oleh Bung Hatta dalam pleidoinya di persidangan Den Haag, ‘...Hanya ada satu Tanah yang dapat disebut Tanah Airku, ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu ialah usahaku. Indonesia adalah Tanah Air kita semua, hidup atau mati-nya Indonesia tergantung sejauh mana usaha yang telah kita lakukan. Percayalah, tidak ada mimpi yang terlalu sedikit, yang ada hanyalah usaha yang belum sempurna'. ●
Masyarakat dunia akan teringat dan berkesan dengan Indonesia apabila mereka menilai orang-orang Indonesia sendiri merupakan pribadi yang menyenangkan dan terpercaya. Selain itu, bentuk diplomasi yang bisa dilakukan adalah dengan ragam aktivitas sosial budaya yang dilakukan oleh organisasi pelajar Indonesia di luar negeri.
Kegiatan seperti festival seni budaya, pemutaran film tentang Indonesia, diskusi sosial budaya, atau dengan menggunakan batik di hari tertentu dapat menjadi opsi menarik. Apabila di setiap kota yang memiliki basis organisasi pelajar Indonesia mengadakan sebuah ‘hari Indonesia’ satu kali setiap tahunnya, maka bisa dibayangkan berapa banyak penduduk luar negeri yang bisa semakin mengenal Indonesia dengan ragam budaya dan seninya.
Soft Diplomacy adalah strategi diplomasi yang bisa diperankan oleh para pelajar Indonesia. Pendekatan manusia-ke-manusia serta aktivitas sosial budaya adalah langkah-langkah yang bisa dijalankan. Dengan pola pergerakan semacam ini, setidaknya akan bermanfaat bagi dua hal: pertama, meningkatkan kecintaan dan rasa nasionalisme pelajar Indonesia di luar negeri kepada Tanah Air Indonesia; kedua, meningkatkan nama dan nilai Indonesia di mata penduduk dunia atau dalam bahasa lain mempromosikan Indonesia.
Saya bermaksud mengakhiri tulisan ini dengan mengutip Rene de Clreq yang diucapkan oleh Bung Hatta dalam pleidoinya di persidangan Den Haag, ‘...Hanya ada satu Tanah yang dapat disebut Tanah Airku, ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu ialah usahaku. Indonesia adalah Tanah Air kita semua, hidup atau mati-nya Indonesia tergantung sejauh mana usaha yang telah kita lakukan. Percayalah, tidak ada mimpi yang terlalu sedikit, yang ada hanyalah usaha yang belum sempurna'. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar