Senin, 11 Maret 2013

Teologi Ekonomi Chavez


Teologi Ekonomi Chavez
Ahmad Erani Yustika  ;   Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
JAWA POS, 11 Maret 2013



"A DAY of tears in the world". Begitulah yang saya rasakan sesaat mendengar kepergian pemimpin sosialis terkemuka, Hugo Chavez. Melihat getaran ungkapan duka cita yang melintasi sekat benua dan ideologi, tidak sulit menyimpulkan bahwa Presiden Hugo Chavez bukan hanya milik Venezuela. Dia menjadi milik dunia karena sepanjang hidupnya menafkahi hati, pikiran, dan segenap nyali yang dipunyai untuk membela kaum lemah dan negara yang terpinggirkan. 

Dia bukanlah pemimpin yang sempurna karena banyak tindakannya yang dianggap salah ataupun sesat oleh sebagian kalangan. Tapi, figurnya menjadi berarti karena dia punya sikap dan keteguhan yang tak pernah lapuk meski dihujani oleh serangkaian intimidasi, teror, dan upaya pembunuhan. Rakyat mengelukannya bukan oleh karena keberhasilan ekonomi yang menakjubkan, tapi pemihakan yang tulus kepada setiap tarikan napas warganya.

Pemimpin Otentik 

Tiap saat pemimpin datang silih berganti, tapi hanya sedikit yang bisa diingat. Sebagian besar pemimpin menjalankan otoritas dengan kuasanya, tanpa meninggalkan getaran di hati para pengikutnya. Di antara yang sedikit itu, nama-nama seperti Mahatma Gandhi, Soekarno, Roosevelt, dan Chavez menjulang sangat tinggi dan dikenang melintasi zaman. Mengapa kepergian mereka diratapi dan dikenang kepemimpinannya? Banyak argumen yang bisa disampaikan. Tapi, sebagian besar bersumber dari spirit teologi dan ideologi yang diyakininya.

Teologi tak lain pengetahuan yang berbasis nalar agama, spiritualitas, dan Tuhan. Sementara itu, ideologi merupakan visi komprehensif atau sistem pemikiran abstrak untuk melakukan perubahan masyarakat. Para pemimpin otentik itu memahami agama yang dipeluk dan ideologi yang dianut sebagai mata air gerakan untuk mengubah nasib rakyat dan bangsanya, termasuk di bidang ekonomi.

Chavez bukanlah ekonom jenius yang bisa merancang kesejahteraan ekonomi negaranya, tapi teolog dan ideolog yang mencoba membongkar ketidakadilan (ekonomi/politik). Pada awal dia menjadi presiden (1998), Venezuela dihantam krisis ekonomi sehingga pada 1999 pertumbuhan ekonominya anjlok minus 6 persen, yang kemudian melesat menjadi 10,3 persen (2005) dan turun lagi menjadi 4,2 persen (2011). Inflasi 1999 sangat tinggi (23,6 persen) dan pada 2011 justru naik menjadi 26,1 persen. Pengangguran dapat diturunkan dari 14,5 persen (1999) menjadi 8,2 persen (2011). Keberhasilan yang lumayan bagus adalah menurunkan kemiskinan dari 48,7 persen (1999) menjadi 31,9 persen (2011) dan meningkatkan pendapatan per kapita dari USD 4.105 (1999) menjadi USD 10.809 (2011) [World Bank, 2013]. Pendapatan per kapita rakyat Venezuela itu tiga kali lipat daripada Indonesia (yang berkisar USD 3.562,6, BPS).

Banyak pemimpin negara berkembang lain yang berhasil membuat kinerja ekonomi lebih bagus dari Chavez. Namun, tampaknya, kebesarannya justru bukan terletak dari hasil ekonominya. Pertama, Chavez adalah segelintir pemimpin dunia yang lantang menolak liberalisasi ekonomi ketika wabah globalisasi menyapu hampir semua negara di dunia. Bagi Chavez, liberalisasi ekonomi merupakan sumber dari ketidakadilan dunia. Kedua, hasratnya yang besar untuk meningkatkan martabat ekonomi bangsa dan kecintaan kepada tanah air dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Venezuela.Ketiga, kebijakan ekonomi domestik yang berporos kepada kesejahteraan rakyat, misalnya perumahan murah dan pengobatan/pendidikan gratis. Keempat, kerja sama internasional via kebijakan populis untuk membantu kaum miskin di AS, Bolivia, Ekuador, dan lain-lain dengan berbagi minyak yang dijual murah. 

Minyak Murah 

Bersama dengan Mahmoud Ahmadinejad (Presiden Iran), Chavez adalah juru bicara negara-negara berkembang di forum PBB. AS, Inggris, dan negara-negara maju lain yang dianggap pemicu ketidakadilan global merupakan muara kecaman yang dilontarkan oleh Chavez. Banyak pemimpin negara berkembang sendiri yang sinis dengan Chavez, tapi rakyat di negara berkembang justru merasakan kebenaran dari pidato tersebut dan merasa dialah pembela yang sesungguhnya. Pada 2007, dia melunasi utang kepada IMF, segera setelah itu keluar dari IMF dan Bank Dunia. Sikap ini dia ambil karena keyakinan bahwa kedua lembaga multilateral itu merupakan agen imperialis yang mendesain disparitas kesejahteraan ekonomi global. Dia memberikan teladan bahwa setiap pemimpin harus memiliki sikap tegas yang bersumber dari keyakinan sehingga setiap kebijakan selalu dalam satu garis, tak pernah abu-abu.

Kebijakan domestik dan internasional Chavez merupakan puncak dari keyakinan teologi ekonominya terhadap pembelaan kaum papa. Dia bangun kesadaran komunitas di kampung-kampung agar paham kondisi sosial dan politik sehingga mereka menjadi warga yang berdaya.

Venezuela adalah negara pemilik cadangan minyak terbesar di antara negara anggota OPEC (sebesar 296,6 miliar barel) atau 20 persen cadangan minyak dunia (Arab Saudi yang kedua, 264 miliar barel, 18 persen). Chavez menjual minyak murah kepada negara yang memerlukannya. Ini tentu berbeda dengan perdagangan bebas (free trade) yang justru "membunuh" negara miskin. Selebihnya, Chavez adalah pemimpin dengan banyak cacat, tapi warga Venezuela dan dunia tak mengingat itu karena tertutup oleh hasratnya untuk membela kemanusiaan (bukan hanya membela keluar­ga atau partainya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar