"A DAY of tears in the world".
Begitulah yang saya rasakan sesaat mendengar kepergian pemimpin sosialis
terkemuka, Hugo Chavez. Melihat getaran ungkapan duka cita yang melintasi
sekat benua dan ideologi, tidak sulit menyimpulkan bahwa Presiden Hugo
Chavez bukan hanya milik Venezuela. Dia menjadi milik dunia karena
sepanjang hidupnya menafkahi hati, pikiran, dan segenap nyali yang dipunyai
untuk membela kaum lemah dan negara yang terpinggirkan.
Dia
bukanlah pemimpin yang sempurna karena banyak tindakannya yang dianggap
salah ataupun sesat oleh sebagian kalangan. Tapi, figurnya menjadi berarti
karena dia punya sikap dan keteguhan yang tak pernah lapuk meski dihujani
oleh serangkaian intimidasi, teror, dan upaya pembunuhan. Rakyat
mengelukannya bukan oleh karena keberhasilan ekonomi yang menakjubkan, tapi
pemihakan yang tulus kepada setiap tarikan napas warganya.
Pemimpin Otentik
Tiap saat pemimpin datang silih berganti, tapi hanya sedikit yang
bisa diingat. Sebagian besar pemimpin menjalankan otoritas dengan kuasanya,
tanpa meninggalkan getaran di hati para pengikutnya. Di antara yang sedikit
itu, nama-nama seperti Mahatma Gandhi, Soekarno, Roosevelt, dan Chavez
menjulang sangat tinggi dan dikenang melintasi zaman. Mengapa kepergian
mereka diratapi dan dikenang kepemimpinannya? Banyak argumen yang bisa
disampaikan. Tapi, sebagian besar bersumber dari spirit teologi dan
ideologi yang diyakininya.
Teologi tak lain pengetahuan yang berbasis nalar agama,
spiritualitas, dan Tuhan. Sementara itu, ideologi merupakan visi
komprehensif atau sistem pemikiran abstrak untuk melakukan perubahan
masyarakat. Para pemimpin otentik itu memahami agama yang dipeluk dan
ideologi yang dianut sebagai mata air gerakan untuk mengubah nasib rakyat
dan bangsanya, termasuk di bidang ekonomi.
Chavez bukanlah ekonom jenius yang bisa merancang kesejahteraan
ekonomi negaranya, tapi teolog dan ideolog yang mencoba membongkar
ketidakadilan (ekonomi/politik). Pada awal dia menjadi presiden (1998),
Venezuela dihantam krisis ekonomi sehingga pada 1999 pertumbuhan ekonominya
anjlok minus 6 persen, yang kemudian melesat menjadi 10,3 persen (2005) dan
turun lagi menjadi 4,2 persen (2011). Inflasi 1999 sangat tinggi (23,6
persen) dan pada 2011 justru naik menjadi 26,1 persen. Pengangguran dapat
diturunkan dari 14,5 persen (1999) menjadi 8,2 persen (2011). Keberhasilan
yang lumayan bagus adalah menurunkan kemiskinan dari 48,7 persen (1999)
menjadi 31,9 persen (2011) dan meningkatkan pendapatan per kapita dari USD
4.105 (1999) menjadi USD 10.809 (2011) [World Bank, 2013]. Pendapatan per
kapita rakyat Venezuela itu tiga kali lipat daripada Indonesia (yang
berkisar USD 3.562,6, BPS).
Banyak pemimpin negara berkembang lain yang berhasil membuat kinerja
ekonomi lebih bagus dari Chavez. Namun, tampaknya, kebesarannya justru
bukan terletak dari hasil ekonominya. Pertama,
Chavez adalah segelintir pemimpin dunia yang lantang menolak liberalisasi
ekonomi ketika wabah globalisasi menyapu hampir semua negara di dunia. Bagi
Chavez, liberalisasi ekonomi merupakan sumber dari ketidakadilan dunia. Kedua, hasratnya yang besar
untuk meningkatkan martabat ekonomi bangsa dan kecintaan kepada tanah air
dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Venezuela.Ketiga,
kebijakan ekonomi domestik yang berporos kepada kesejahteraan rakyat, misalnya
perumahan murah dan pengobatan/pendidikan gratis. Keempat, kerja sama
internasional via kebijakan populis untuk membantu kaum miskin di AS,
Bolivia, Ekuador, dan lain-lain dengan berbagi minyak yang dijual murah.
Minyak Murah
Bersama dengan Mahmoud Ahmadinejad (Presiden Iran), Chavez adalah
juru bicara negara-negara berkembang di forum PBB. AS, Inggris, dan
negara-negara maju lain yang dianggap pemicu ketidakadilan global merupakan
muara kecaman yang dilontarkan oleh Chavez. Banyak pemimpin negara
berkembang sendiri yang sinis dengan Chavez, tapi rakyat di negara
berkembang justru merasakan kebenaran dari pidato tersebut dan merasa
dialah pembela yang sesungguhnya. Pada 2007, dia melunasi utang kepada IMF,
segera setelah itu keluar dari IMF dan Bank Dunia. Sikap ini dia ambil
karena keyakinan bahwa kedua lembaga multilateral itu merupakan agen
imperialis yang mendesain disparitas kesejahteraan ekonomi global. Dia
memberikan teladan bahwa setiap pemimpin harus memiliki sikap tegas yang
bersumber dari keyakinan sehingga setiap kebijakan selalu dalam satu garis,
tak pernah abu-abu.
Kebijakan domestik dan internasional Chavez merupakan puncak dari
keyakinan teologi ekonominya terhadap pembelaan kaum papa. Dia bangun
kesadaran komunitas di kampung-kampung agar paham kondisi sosial dan
politik sehingga mereka menjadi warga yang berdaya.
Venezuela adalah negara pemilik cadangan minyak terbesar di antara
negara anggota OPEC (sebesar 296,6 miliar barel) atau 20 persen cadangan
minyak dunia (Arab Saudi yang kedua, 264 miliar barel, 18 persen). Chavez
menjual minyak murah kepada negara yang memerlukannya. Ini tentu berbeda
dengan perdagangan bebas (free trade) yang justru
"membunuh" negara miskin. Selebihnya, Chavez adalah pemimpin
dengan banyak cacat, tapi warga Venezuela dan dunia tak mengingat itu
karena tertutup oleh hasratnya untuk membela kemanusiaan (bukan hanya
membela keluarga atau partainya).
●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar