Beberapa hari ini dan
akan datang, sambil terus mengumpulkan sumber daya logistik, partai politik
peserta Pemilu 2014 riuh ramai merekrut calon legislator. Hal itu untuk
tujuan administratif berupa Daftar Calon Sementara (DCS) ke KPU maupun
bentuk usaha vote getter (pengepul suara) melalui rekrutmen figur-figur
yang dapat menarik perhatian publik. Tujuan yang terakhir itulah yang
disebut dengan kandidasi karbit.
Walhasil, layaknya
penggunaan karbit untuk mempercepat pematangan buah, kandidasi karbit
dilakukan untuk mempercepat naiknya elektabilitas partai, baik dalam survei
maupun pemilu. Artinya, figur populer maupun tokoh dengan jejaring massa
yang luas bak karbit yang berfungsi mengakselerasi efek elektoral bagi
partai. Akhirnya, migrasi artis atau tokoh populer yang marak pada kalender
pemilu, khususnya penyusunan dan penetapan calon anggota Dewan, hari-hari
ini hampir dilakukan oleh semua partai politik. Dalam perspektif partai,
artis adalah vote getter (pengepul suara), sedangkan dalam perspektif diri
artis, kandidasi calon legislator adalah aktualisasi dan eksplorasi politik
sekaligus "jalan lain" di tengah semakin kuatnya arus kompetisi
jagat hiburan.
Berkaitan dengan hal ini,
riset analisis media yang dilakukan oleh Pol-Tracking Institute menunjukkan
bahwa, dalam penelusuran tema kandidasi, PKS dan PDIP adalah partai yang
cenderung mencalonkan calon legislator dari dalam atau internal (baca:
kader). Hal ini dapat dijelaskan oleh karena seleksi ideologi yang
cenderung lebih ketat dalam rekrutmen kader atau calon legislator, sehingga
setiap calon legislator diharapkan sudah mempunyai political career path
baik secara struktur maupun kultur politik di dalam partai.
Sedangkan Golkar adalah
partai ketiga yang juga lebih memilih kandidat dari internal dibanding dari
luar. Hal ini dijelaskan oleh karena tingginya tingkat elektabilitas yang
juga cenderung stabil dalam beberapa survei. Sehingga kalkulasi artis dan
tokoh populer sebagai pengepul suara tidak banyak berkontribusi pada
perolehan suara partai. Apalagi Golkar menerapkan sistem kaderisasi ketat
dengan mengharuskan calon legislator dapat menunjukkan sertifikat pelatihan
kader yang diselenggarakan di internal partai. Sementara itu, partai-partai
di luar PKS, PDIP, dan Golkar cenderung memanfaatkan serta membuka akses
kandidasi artis dan tokoh populer non-kader sebagai vote getter. Non-kader
adalah tokoh masyarakat yang mempunyai gerbong massa, sehingga mampu
menciptakan migrasi elektoral yang berimbas terhadap elektabilitas partai.
Dalam analogi yang
sederhana, artis dan tokoh non-kader adalah doping atau minuman berenergi
bagi partai yang efeknya langsung bisa dilihat karena kandidasi dilakukan
tanpa "metabolisme" yang panjang di tubuh partai seperti
bentuk-bentuk internalisasi dan ideologisasi partai dan tangga karier politik
yang berjenjang hierarkis. Sedangkan dalam analogi yang sama, kader adalah
makanan "nasi-sayur" yang memerlukan kaderisasi agak lama,
intensif, dan berjenjang sebagai metabolisme di tubuh partai, sehingga
tidak bisa langsung diusung atau berefek. Sehingga memang, kader di sini
tidak bisa langsung "dinikmati" oleh partai untuk mendapatkan
insentif elektoral sebagaimana artis atau figur berpengaruh non-kader.
Fenomena kandidasi karbit
terjadi karena ada tiga pola rekrutmen politik yang terjadi dalam partai
menjelang pemilu. Pertama adalah rekrutmen masif di mana partai membuka
akses yang luas dengan mempublikasikan peluang kandidasi kepada khalayak
publik atau non-partai. Pola pertama ini dilakukan secara masif melalui
media layaknya promosi peluang kerja seperti yang dilakukan Partai Gerindra
dan diikuti Partai Demokrat. Kedua adalah rekrutmen pasif, yaitu rekrutmen
politik yang menetapkan proporsi non-kandidat dalam kandidasi anggota
Dewan, seperti 20 persen pada Partai Golkar. Sedangkan pola yang ketiga adalah
rekrutmen aktif yang berupa partai melakukan jemput bola ke beberapa artis
atau tokoh dan mempublikasikannya sebagai kandidat partai terkait jauh hari
sebelum agenda kampanye pemilihan legislatif. Hal ini jamak dilakukan oleh
PAN, Hanura, dan PKB.
Kandidasi karbit seperti
ini pada dasarnya menunjukkan terkomodifikasinya popularitas ke dalam
selebritas politik. Artinya, kandidasi karbit adalah usaha
"pencangkokan" popularitas figur yang tinggi seperti di jagat
hiburan ataupun jagat pengajian terhadap tubuh organisasi partai dengan
elektabilitas rendah. Fenomena ini juga menjelaskan bahwa politik Indonesia
justru semakin kuat sebagai politik figur, bukan politik partai. Sebab,
rekrutmen karbit yang kuat oleh partai mengakui nalar migrasi pemilih
mengikuti figur atau artis idola, bukan partai dengan platform atau
ideologinya.
Dalam konteks kepartaian,
fenomena kandidasi karbit oleh partai menunjukkan kuatnya pendulum nalar
partai elektoral yang kuat dalam konstelasi politik di Indonesia. Partai
elektoral hanya berurusan dengan perolehan suara, sehingga perilaku partai
baik sikap politik parlemen, program sosial, maupun rekrutmen politik yang
ditampilkan off air maupun on air berakhir pada perhitungan numerik hasil
pemilihan.
Terkait dengan partai
elektoral, Indonesia mengikuti fenomena di beberapa negara yang sudah
menunjukkan gejala business firm model dalam pengelolaan organisasi partai
(Hopkin, 1999). Yaitu, partai yang dikelola layaknya model lembaga bisnis
dengan membiayai staf dan jabatan tertentu di dalam organisasi partai dan
juga membiayai calon anggota Dewan dari partai. Partai seperti ini memang
berpotensi menang dalam pemilu, tapi bersumbu pendek karena jaringan akar
rumput dibangun melalui mekanisme distribusi sumber daya, bukan nilai.
Walhasil, kita mafhum dengan fakta politik Partai NasDem yang menderita
kusta politik dengan berpisahnya banyak kader dari level pusat sampai
cabang, dan kegaduhan sporadis di Partai Demokrat.
Akhirnya, partai yang
terlalu jauh dan masif memanfaatkan artis dan publik populer sebagai vote
getter (baca: kandidasi karbit) karena alasan elektoral (baca: menuju
Pemilu 2014) akan mempunyai tingkat kolaps yang lebih tinggi daripada
partai yang lebih mengutamakan kader yang sudah terinternalisasi. Namun
figur populer seperti artis menjadi sah dan menjadi "gizi" partai
jika rekrutmen yang dilakukan tidak didorong oleh keterdesakan agenda
elektoral plus kondisi kritis partai. Sehingga figur publik di luar dimensi
jagat politik menjadi kader partai karena adanya periode internalisasi
ideologi.
Walhasil, figur publik dan artis berfungsi ganda:
sebagai vote getter dan juga terutama sebagai kader partai. Jika tidak,
mereka akan terjebak dan kaget pada nalar kerja politik seperti kasus
Angie. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar