Senin, 11 Maret 2013

Kandidasi Karbit


Kandidasi Karbit
Arya Budi  ;   Manajer Riset Pol-Tracking Institute, Jakarta;
Anggota Indonesian Interdisciplinary Institute, Yogyakarta
KORAN TEMPO, 11 Maret 2013

  
Beberapa hari ini dan akan datang, sambil terus mengumpulkan sumber daya logistik, partai politik peserta Pemilu 2014 riuh ramai merekrut calon legislator. Hal itu untuk tujuan administratif berupa Daftar Calon Sementara (DCS) ke KPU maupun bentuk usaha vote getter (pengepul suara) melalui rekrutmen figur-figur yang dapat menarik perhatian publik. Tujuan yang terakhir itulah yang disebut dengan kandidasi karbit.
Walhasil, layaknya penggunaan karbit untuk mempercepat pematangan buah, kandidasi karbit dilakukan untuk mempercepat naiknya elektabilitas partai, baik dalam survei maupun pemilu. Artinya, figur populer maupun tokoh dengan jejaring massa yang luas bak karbit yang berfungsi mengakselerasi efek elektoral bagi partai. Akhirnya, migrasi artis atau tokoh populer yang marak pada kalender pemilu, khususnya penyusunan dan penetapan calon anggota Dewan, hari-hari ini hampir dilakukan oleh semua partai politik. Dalam perspektif partai, artis adalah vote getter (pengepul suara), sedangkan dalam perspektif diri artis, kandidasi calon legislator adalah aktualisasi dan eksplorasi politik sekaligus "jalan lain" di tengah semakin kuatnya arus kompetisi jagat hiburan.
Berkaitan dengan hal ini, riset analisis media yang dilakukan oleh Pol-Tracking Institute menunjukkan bahwa, dalam penelusuran tema kandidasi, PKS dan PDIP adalah partai yang cenderung mencalonkan calon legislator dari dalam atau internal (baca: kader). Hal ini dapat dijelaskan oleh karena seleksi ideologi yang cenderung lebih ketat dalam rekrutmen kader atau calon legislator, sehingga setiap calon legislator diharapkan sudah mempunyai political career path baik secara struktur maupun kultur politik di dalam partai.
Sedangkan Golkar adalah partai ketiga yang juga lebih memilih kandidat dari internal dibanding dari luar. Hal ini dijelaskan oleh karena tingginya tingkat elektabilitas yang juga cenderung stabil dalam beberapa survei. Sehingga kalkulasi artis dan tokoh populer sebagai pengepul suara tidak banyak berkontribusi pada perolehan suara partai. Apalagi Golkar menerapkan sistem kaderisasi ketat dengan mengharuskan calon legislator dapat menunjukkan sertifikat pelatihan kader yang diselenggarakan di internal partai. Sementara itu, partai-partai di luar PKS, PDIP, dan Golkar cenderung memanfaatkan serta membuka akses kandidasi artis dan tokoh populer non-kader sebagai vote getter. Non-kader adalah tokoh masyarakat yang mempunyai gerbong massa, sehingga mampu menciptakan migrasi elektoral yang berimbas terhadap elektabilitas partai.
Dalam analogi yang sederhana, artis dan tokoh non-kader adalah doping atau minuman berenergi bagi partai yang efeknya langsung bisa dilihat karena kandidasi dilakukan tanpa "metabolisme" yang panjang di tubuh partai seperti bentuk-bentuk internalisasi dan ideologisasi partai dan tangga karier politik yang berjenjang hierarkis. Sedangkan dalam analogi yang sama, kader adalah makanan "nasi-sayur" yang memerlukan kaderisasi agak lama, intensif, dan berjenjang sebagai metabolisme di tubuh partai, sehingga tidak bisa langsung diusung atau berefek. Sehingga memang, kader di sini tidak bisa langsung "dinikmati" oleh partai untuk mendapatkan insentif elektoral sebagaimana artis atau figur berpengaruh non-kader.
Fenomena kandidasi karbit terjadi karena ada tiga pola rekrutmen politik yang terjadi dalam partai menjelang pemilu. Pertama adalah rekrutmen masif di mana partai membuka akses yang luas dengan mempublikasikan peluang kandidasi kepada khalayak publik atau non-partai. Pola pertama ini dilakukan secara masif melalui media layaknya promosi peluang kerja seperti yang dilakukan Partai Gerindra dan diikuti Partai Demokrat. Kedua adalah rekrutmen pasif, yaitu rekrutmen politik yang menetapkan proporsi non-kandidat dalam kandidasi anggota Dewan, seperti 20 persen pada Partai Golkar. Sedangkan pola yang ketiga adalah rekrutmen aktif yang berupa partai melakukan jemput bola ke beberapa artis atau tokoh dan mempublikasikannya sebagai kandidat partai terkait jauh hari sebelum agenda kampanye pemilihan legislatif. Hal ini jamak dilakukan oleh PAN, Hanura, dan PKB.
Kandidasi karbit seperti ini pada dasarnya menunjukkan terkomodifikasinya popularitas ke dalam selebritas politik. Artinya, kandidasi karbit adalah usaha "pencangkokan" popularitas figur yang tinggi seperti di jagat hiburan ataupun jagat pengajian terhadap tubuh organisasi partai dengan elektabilitas rendah. Fenomena ini juga menjelaskan bahwa politik Indonesia justru semakin kuat sebagai politik figur, bukan politik partai. Sebab, rekrutmen karbit yang kuat oleh partai mengakui nalar migrasi pemilih mengikuti figur atau artis idola, bukan partai dengan platform atau ideologinya.
Dalam konteks kepartaian, fenomena kandidasi karbit oleh partai menunjukkan kuatnya pendulum nalar partai elektoral yang kuat dalam konstelasi politik di Indonesia. Partai elektoral hanya berurusan dengan perolehan suara, sehingga perilaku partai baik sikap politik parlemen, program sosial, maupun rekrutmen politik yang ditampilkan off air maupun on air berakhir pada perhitungan numerik hasil pemilihan.
Terkait dengan partai elektoral, Indonesia mengikuti fenomena di beberapa negara yang sudah menunjukkan gejala business firm model dalam pengelolaan organisasi partai (Hopkin, 1999). Yaitu, partai yang dikelola layaknya model lembaga bisnis dengan membiayai staf dan jabatan tertentu di dalam organisasi partai dan juga membiayai calon anggota Dewan dari partai. Partai seperti ini memang berpotensi menang dalam pemilu, tapi bersumbu pendek karena jaringan akar rumput dibangun melalui mekanisme distribusi sumber daya, bukan nilai. Walhasil, kita mafhum dengan fakta politik Partai NasDem yang menderita kusta politik dengan berpisahnya banyak kader dari level pusat sampai cabang, dan kegaduhan sporadis di Partai Demokrat.
Akhirnya, partai yang terlalu jauh dan masif memanfaatkan artis dan publik populer sebagai vote getter (baca: kandidasi karbit) karena alasan elektoral (baca: menuju Pemilu 2014) akan mempunyai tingkat kolaps yang lebih tinggi daripada partai yang lebih mengutamakan kader yang sudah terinternalisasi. Namun figur populer seperti artis menjadi sah dan menjadi "gizi" partai jika rekrutmen yang dilakukan tidak didorong oleh keterdesakan agenda elektoral plus kondisi kritis partai. Sehingga figur publik di luar dimensi jagat politik menjadi kader partai karena adanya periode internalisasi ideologi.
Walhasil, figur publik dan artis berfungsi ganda: sebagai vote getter dan juga terutama sebagai kader partai. Jika tidak, mereka akan terjebak dan kaget pada nalar kerja politik seperti kasus Angie. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar